Masaki's POV
Kami duduk berhadapan. Hanya diam satu sama lain tanpa ada yang memulai.
"Untuk apa kau kemari? Kita sudah tidak ada apa-apa lagi."
"Masaki, maafkan aku. Ternyata dia hanya memanfaatkanku. Dia meninggalkanku sekarang."
Aku mendengus. "Terlalu terlambat sekarang."
Aku menoleh ke arah Satoshi yang sedang membuat kopi di belakang. Entah apa yang dia pikirkan saat situasi ini terjadi. Aku tidak bisa menebak ekspresinya.
Dia lalu berbalik dan tersenyum seperti biasanya lali mengantarkan kopi kami.
"Maaf lama." Ucapnya lalu meletakkannya di atas meja.
"Kau ini...siapa ya?" Tanya Sho. Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya.
"Aku Satoshi. Temannya."
Aku terkejut mendengar jawaban itu.
Teman?! Bagaimana mungkin ia berkata seperti itu?
Sho tersenyum. "Aku Sakurai. Senang bertemu denganmu?"
"Keluarga? Pacar? Teman? Apa yang membawamu sampai sejauh ini dari Tokyo?"
"Aku...tunangannya. Dulu." Jawabnya. Aku membelalakkan mataku.
Bagaimana mungkin dia bisa menjawabnya seperti itu dengan entengnya. Apa dia tidak ingat yang pernah dia lakukan padaku?
"Ah! Maaf terlalu banyak tanya. Aiba-san, kenapa kau tidak bilang kalau sudah punya tunangan? Aku kan jadi tidak enak mengganggu kalian disini. Maafkan aku, Sakurai-san. Kemarin ada badai, jadi aku terpaksa menginap disini."
"Ah! Tidak masalah kok."
Aiba-san? Siapa yang dia panggil seperti itu?
Jujur aku terkejut dengan perubahannya. Dia kemudian mengambil tasnya.
"Kalau begitu aku pulang dulu. Maaf mengganggu."
Dia kemudian menatapku dan tersenyum.
Aku menghela napas melihat senyum itu.
Karena senyuman itu adalah...lambang kekecewaan dan rasa dikhianati.
Dia lalu melangkah keluar. Aku mengejarnya.
"Tunggu!" Cegahku sembari menahan lengannya. Dia terbalik. Masih dengan senyum yang sama.
"Kenapa malah kemari? Kembalilah. Dia pasti ingin bicara sesuatu padamu."
Aku terkejut. "Bagaimana mungkin kau bisa jadi seperti ini? Apa maksud semuanya? Kau bertindak aneh."
"Semuanya memang sudah aneh dari awal bukan?"
"Ayolah! Aku bahkan tidak menyangka akan seperti ini. Ini sama sekali tidak diinginkan."
"Tapi takdir menginginkannya bukan? Itu mutlak. Takdir ingin kau kembali padanya."
"Apa yang sedang kau bicarakan? Jangan membuatku khawatir seperti ini."
Dia tersenyum. "Kembalilah. Dia sudah jauh-jauh datang untukmu. Jangan tolak dia. Itu akan menyakitkan untuknya." Ucapnya. Dia lalu melepaskan tanganku dan berbalik.
"Oh ya." Ucapnya lalu berbalik.
"Jika urusanmu belum selesai. Jangan pernah berikan harapan untuk orang lain. Itu...menyakitkan!" Sambungnya lalu tersenyum.
Dadaku terasa sesak. Tidak tahu harus bagaimana.
"Selamat tinggal." Ucapnya lalu berbalik.
Dadaku terasa sakit. Mendadak seluruh tubuhku menjadi dingin dan lututku serasa lemas. Aku begitu kaget dengan semua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cup of Feelings
FanfictionMasaki Aiba, seorang novelis terkenal tiba-tiba saja mengalami kebuntuan dalam menulis. Bahkan editornya yang terkenal bermulut pedas, Kazunari Ninomiya, menyebut bahwa tulisannya tidak lebih hebat daripada karya tulis anak SD. Dari situlah ia kemud...