Satoshi's POV
Aku masuk ke dalam bilik pengakuan dosa setelah giliranku tiba.
"Nak, bagaimana kabarmu?"
"Aku baik, bapa. Kapan bapa kembali dari rumah sakit?"
"Kemarin. Ngomong-ngomong terima kasih kopinya."
"Hm."
"Jadi...apa yang sebenarnya mengganggumu, nak?"
"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini. Entah bagaimana aku harus mengatakannya..."
Aku menghela napas. "Aku...memikirkan seseorang yang tak boleh kumiliki."
"Seseorang yang dulu pernah ada di hidupku." Sambungku.
"Nak, terkadang rasa seperti itu memang muncul di pikiran kita. Aku mengerti. Dulu sewaktu aku di seminari aku kadang memikirkan Lucia, cinta pertamaku yang keburu menikah dengan orang lain sebelum aku sempat mengungkapkan perasaanku. Dan tiap kali rasa itu timbul pasti akan selalu menimbulkan perdebatan kecil dalam hidupku. Well, sedikit pengakuan juga padamu. Awalnya aku memutuskan untuk masuk ke seminari karena itu. Tidak ada yang kucintai selain dia."
"Jadi aku harus bagaimana bapa?"
"Well, kau harus belajar mengikhlaskan, memaafkan dirimu sendiri, dan memaafkan masa lalumu. Aku juga melakukannya. Dan sedikit demi sedikit bebanku terangkat."
Aku termenung sejenak. Apa aku yakin bisa melakukannya?
"Terima kasih, bapa. Mungkin aku harus mencobanya."
"Jangan hanya dicoba. Tapi benar-benar dilakukan. Karena jika hanya mencoba...biasanya akan gagal."
Aku merenungi kata-kata bapa Pedro yang barusan. Aku...pasti bisa! Dan harus bisa!
"Terima kasih, bapa. Saya pergi." Ucapku lalu keluar dari bilik itu.
Aku menghela napas dan melihat ke langit-langit.
Tuhan, berikanlah aku kekuatan.
☕☕☕☕
Aku baru saja sampai di rumahku setelah dari Gereja tadi sore.
Seperti biasa, terlihat nonna sedang menyiapkan makan malam kali itu. Dan nonno sedang berlayar setelah 'bebas' dari semua bebannya.
Aku menghampiri nonna. "Kau masak apa kali ini?"
"Napoletano pasta saja. Aku sedang malas masak yang aneh-aneh hari ini. Bisakah kau bantu aku buat sausnya? Tanganku agak kotor karena adonan pastanya." Ucapnya. Aku mengangguk lalu melepaskan tasku dan menggantungnya di gantungan mantel lalu bersiap membantu nonna di dapur.
"Oh ya. Tadi pagi ada tukang pos datang mengantarkan kiriman untukmu. Aku meletakkannya di atas meja depan TV."
Aku mengerutkan dahi. "Dari siapa?"
Nonna mengangkat bahunya. "Entahlah! Tulisannya aneh. Aku tidak bisa membacanya. Biar kau saja yang lihat nanti."
Aku mengangguk mengerti sembari membantu membuat saus.
☕☕☕☕
Setelah selesai dengan urusan dapur, aku lalu menuju ruang tengah dan melangkah menuju meja di depan TV.
Aku mengamati paket yang lumayan ringan itu. Dilihat dari tulisannya, ini pasti dikirim dari Jepang.
Aku lalu tertegun melihat nama yang tertera di bagian pengirim dan jenis kiriman.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cup of Feelings
FanfictionMasaki Aiba, seorang novelis terkenal tiba-tiba saja mengalami kebuntuan dalam menulis. Bahkan editornya yang terkenal bermulut pedas, Kazunari Ninomiya, menyebut bahwa tulisannya tidak lebih hebat daripada karya tulis anak SD. Dari situlah ia kemud...