BAB 9

227 18 1
                                    

"Okey Sweetheart, jadi siapa namamu? Apa warna kesukaanmu?" Tanya Shora pada Blair.

"Oh, namaku Blair, aku suka warna... ehm putih," jawabku

"Yakin, putih saja? Ekormu akan cepat kotor jika berwarna putih polos," Shora membalik-balikkan tubuhku berputar ke kanan dan ke kiri.

"Blair suka warna biru juga Shor," kata Paul tiba-tiba. Aku mendelik ke arahnya. Mengapa dia lancang sekali, bahkan aku belum bilang warna apa lagi selain putih yang aku suka.

"Tentu saja aku boleh lancang, aku lebih tua darimu,"
Plaakk!! Aku menepuk jidatku. Lagi-lagi dia membaca isi hatiku. Tapi aku memang suka warna biru. Dan aku heran, bahkan aku belum bilang dalam hatiku sekalipun warna selain putih yang aku suka. Namun Paul sudah bisa menebaknya. Ah, dasar anak ini. Darimana dia punya kemampuan ini?

"Tentu aku tahu karena aku tahu kau suka laut, laut warnanya biru, maka kau suka warna biru,"

Lagi-lagi tebakannya tepat. Aku pura-pura memasang wajah sebal, karena mau tak mau aku sebenarnya kagum juga pada kemampuannya itu.

"Tak usah berpura-pura, aku tahu kau kagum pada kemampuanku,"

Astaga... aku jengkel sekali padanya. Dengan segera, aku menyeret Paul keluar dari ruangan berselimut bulu-bulu hijau ini. Tak peduli kekehan dan tawa-tawa tertahan, bahkan cie-cie'an dari Jack, Emma, Elle, Syhara, dan Shora. Aku benar-benar kesal saat ini.

"Oke, ayo kita lanjutkan pemilihan ekor yang bagus untukmu. Kulitmu putih, alismu tebal, rambutmu pirang, dan kau menyukai warna putih dan biru. Hm... menarik,..."

Aku hanya bisa mendengarkan Shora bergumam kecil saat ini. Dan dari tadi ia memutar-balikan tubuhku ke kanan dan kiri. Aku hanya bisa pasrah dibuatnya. Setelah beberapa saat shora berjalan menuju kursi berwarna putih besar. Saru-satunya warna putih yang ada di ruangan bernuansa merah-emas ini. Kursi iru berbalut bulu-bulu putih lembut- oh tidak- aku tidak mencobanya hanya saja terlihat saat Shora sedang duduk, tubuhnya mental beberapa centi ke udara dan bulu-bulu itu berterbangan. Sambil terkekeh pelan, ia menarik meja di depannya dan menggambar sesuatu.

"Selesai," gumamnya sambil menarik kertas yang barusan ia gambar dan menarikku ke suatu tempat. "Kita mau ke mana?" Tanyaku sambil tetap mengikuti Shora. "Ikuti saja aku,"

Ia membawaku ke tempat berwarna merah terang dan di sana terdapat sebuah pintu berwarna emas. "Ruangan apa itu?" Tanyaku penasaran. "Ini adalah ruangan kerjaku, diam, dan lihat saja apa yang akan kulakukan," perintah Shora kepadaku. Aku mengangguk dan mundur beberapa langkah ke belakang untuk memberi jarak.

Kemudian Shora memasukkan sebuah kertas yang tadi ia gambar. Sempat kulirik sebentar tadi apa yang ia gambar di kertas tersebut. Sebuah ekor? Yeah, ia menggambar sebuah ekor. Untukku? Tentu saja bodoh! Ekor itu untukku. Untuk siapa lagi memangnya? Oke aku mulai meracau tidak jelas.

Shora meremas kertas itu menjadi bola kecil lalu melemparnya ke dalam pintu emas itu. "Masuk," katanya sambil menunjuk pintu emas itu. Aku mengernyit bingung, "Untuk ap-"
Belum selesai aku bicara Shora sudah mendorongku ke dalam ruangan berpintu emas itu. "Heyy!! Shora! Buka pintunya! Kau tak akan membunuhku kan?" Pikiranku mulai kacau. Berbagai spekulasi negatif muncul satu persatu dari pikiranku. Lalu, aku mendengar Shora bergumam. Entahlah, mungkin membaca mantera.

'Fushumutarakantakomasukbyo.....
'Mutarakantafushufushu....'

'Blashh' aku menyipitkan mataku karena tiba -tiba ruangan ini menjadi sangat terang. Setelah yakin cahaya itu sudah hilang, aku perlahan-lahan membuka mataku, mengerjapkannya beberapa kali, baru pupilku benar-benar terbuka. Lalu pintu itu terbuka, dan aku keluar. Aku kaget sekali saat aku keluar aku merasa kakiku tak bisa digerakkan. Lalu aku menengok ke bawah. Ekor?

BLAIR POV END

***

EDWARDS POV

"Kami menemukan sepasang sepatu, serpihan pesawat, serta bangku penumlang diduga milik maskapai penerbangan America Airlains boeing 777. Semua upaya sudah dilakukan aparat pemerintah terutama bagian Tim Sar dan Tentara AL serta terdapat bantuan dari negara singapore, Japan, serta korea Selatan dalam pencarian maskapai penerbangan ini. Tapi mengingat kondisi yang berada di 158 mil menjauhi titik aman ke arah segitiga bermuda, operasi evakuasi sulit dilakukan. Tapi seluruh upaya~"

"ARGHH" Aku membanting remote TV hingga baterai terlepas dan tutupnya pecah. Masa bodoh sudah berapa barang yang kurusak. Sudah ada 4 remote control, 2 radio yang rusak karena tendanganku, dan lampu kamar yang kupecahkan karena frustasi.

Iya, aku ini memang Edwards. Yang tak pernah bisa mengontrol emosi. Hanya dia, hanya dia satu-satunya orang yang tau cara untuk menenangkanku, dan dia tidak di sini sekarang.

Bagaimana aku tidak gila? Satu-satunya orang yang paling mengerti aku melebihi orangtua yang bercerai dan pulang malam sampai berbau alkohol. Blair, orang yang tak bisa ku deskripsikan dengan kata-kata.

Blair ibarat basa yang selalu menetralkab asam. Sama seperti dia menetralkan aku. Dia yang membuatku tenang, dia yang meredakan emosiku, dia yang cerdas dan penasaran menangani masalah "the hole of segitiga bermuda", sekarang malah terbunuh oleh kecintaannya sendiri.

Ingin aku berteriak "hey laut! Tak tau kah kamu? Aku sering iri padamu, karena kau bisa membuat Blair lebih mencintaimu dibandingkan aku. Tapi kenapa sekarang kau membunuhnya?"

Aku benci ini. 12 hari tidak ada kabar. Aku muak mendengar segala tentang Atlantic ocean dan sekitarnya.

Blair, aku hanya ingin bilang. Kau hidup ataupun mati, aku tetap ingin menikahimu.

A.T.L.A.N.T.I.CTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang