"Tao, bisakah kau membawakanku segelas air?" Aku merajuk pada Tao. Tubuhku kubiarkan terbaring diatas ayunan taman. Tao sendiri sedang duduk sambil membaca koran. Persis seperti aktivitas mendiang ayahku ketika pagi hari.
"Dingin atau hangat?" Tanya Tao. Ia melipat korannya dan mulai berdiri.
"Mm, hangat saja" ujarku. Tao mengangguk.
"Tao!" Wanita ular itu memanggil dari sisi taman bagian utara.
Tao menghentikan langkahnya. Ia menoleh sebentar. Wanita ular itu merangkul erat lengan Tao.
"Bantu aku menanam mawar mawar itu. Aku tak bisa menanamnya sendiri. Biasanya kau mau membantuku, bukan?" Wanita ular itu bergelayut manja di lengan Tao.
Aku segera berdiri dan memisahkan kontak mereka. Aku memutar tubuh Tao agar menghadap ke arahku. Aku tersenyum palsu.
"Kapan kau akan mengambilkanku minum?" Aku bertanya pada Tao.
Tao menggaruk pelipisnya. Ia mengangguk mengerti dan berjalan menjauh. Sialnya, lengan Tao ditahan oleh wanita ular itu.
"Ayolah Tao, bantu aku. Bagaimana jika jariku tertusuk duri duri tajam itu?" Wanita ular itu mulai menunjukkan ekspresi menyedihkan sekaligus menjijikan di mataku.
Tao mulai bimbang. Matanya bergerak liar menatapku mau pun wanita ular yang berdiri disampingku ini.
Otakku mulai berpikir keras. Bahkan mungkin sudah ada asap yang mengepul di atas kepalaku.
"Aku yang akan membantu wanit- maksudku Sung Rin. Aku juga suka menanam bunga. Kau ambilkan saja minum untukku." Ucapku antusias.
Wanita ular itu menatap tak suka ke arahku. Aku bahkan mendengar ia mendengus kasar. Ia terlihat seperti banteng jika begini. Aku hampir terkikik geli jika tak mendapat tatapan tajam dari wanita ular itu.
"Baiklah. Aku akan mengambil minum untukmu"
Tao berjalan menjauh. Setelah Tao menghilang dari balik pintu, wanita ular itu membalik tubuhku dengan kasar. Ia melotot ke arahku.
"Ku peringatkan padamu. Tao akan tetap menjadi milikku meskipun kau pasangan takdirnya. Aku lebih dahulu mengenalnya dibandingkan dirimu. Maka, menjauhlah darinya" ucap wanita ular itu dengan sinisnya.
Aku terkekeh. Apa ia tak mengenalku? Baiklah, ia menantangku rupanya.
"Seharusnya kau sadar. Aku pasangan takdirnya, kami tak akan terpisah oleh apa pun. Takdir yang mempersatukan kami. Kau hanya bagian dari masa lalunya. Dan masa lalu tak akan pernah dibawa bawa hingga sekarang maupun masa depan. Berkacalah, apa aku perlu membelikanmu sebuah kaca yang sangat besar?" Ucapku menyindir dengan pedasnya.
"Kematian. Kalian bisa terpisah jika kematian menjemputmu. Aku hanya menunggu perang tiba dan Bam! Dalam sekejap aku bisa mendapatkan Tao. Jadi, rawatlah nyawamu hingga perang nanti, nona" wanita ular itu berjalan menjauh dan menghilang.
Aku terdiam di tempatku. Ucapan wanita ular itu terngiang di kepalaku.
Kematian? Apa benar kalau kematian adalah salah satu jalan untuk memisahkanku dari Tao? Lalu bagaimana jika aku mati di perang nanti?
Khawatir yang berlebihan membuat tubuhku bergetar hebat. Rasanya nyawaku baru saja keluar dan kembali lagi ke dalam ragaku. Kedua tanganku saling meremas.
Tepukan pada bahu ku membuatku terkejut. Aku membalikkan badanku dengan cepat. Aku tersenyum tipis ketika Tao berada di hadapanku. Ia memegang sebuah cangkir dengan uap yang mengepul diatasnya.
Tao mengedarkan seluruh matanya ke penjuru taman. Ia mengerenyit bingung.
"Dimana Sung Rin?"
Cih, dia menanyakan wanita ular itu? Bisa bisanya pria ini membicarakan wanita lain di depanku?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Time Control
FanfictionVampir. Apa yang ada di benak kalian tentang itu? Benar, makhluk penghisap darah yang paling menjijikkan yang pernah ku tahu. Ku tarik ucapanku. Setelah bertemu dengannya, dunia benar benar menjungkirbalikkan fakta itu. Takdir? Aku? Dengannya? Mimp...