Biasakan vote sebelum membaca ya^^
Author POV
Bugh!
"Pukulan pertama karena buat adek gue nangis."
Bugh!
"Pukulan kedua karena buat adek gue sakit hati."
Bugh!
"Pukulan ketiga karena buat adek gue terpuruk."
Bugh!
"Pukulan keempat karena buat adek gue jatuh cinta sampai saat ini."
Jantung Stevani kini berhenti berdetak. Dia menelan ludahnya dengan susah payah dan menghampiri Bian yang sudah babak belur wajahnya akibat serangan Bryan. Sementara Bryan hanya melihat mereka dengan tangan terkepal.
"Bian? Lo nggak apa-apa?" Tanya Stevani sambil memegang sisi wajah yang sudah mengucurkan darah.
Bugh!
"Dan itu pukulan buat lo karena udah mukulin anak orang," Stevani meninju pelan lengan cowok itu. "Lo sama aja berniat bunuh orang, bodoh. Atau lo berniat bunuh orang?"
Bibir cowok itu mengerucut sebal. "Lo kok belain cowok brengsek ini, ketimbang gue yang jelas-jelas abang lo, sih."
Stevani menghembuskan napas jengah. Dia tidak percaya dengan cowok di hadapannya yang masih berkelakuan seperti anak kecil. Sudah jelas dia sudah memiliki anak dan istri. Dasar cowok aneh.
"Lo udah tua dan udah punya anak, bang. Jangan kayak anak kecil yang setiap ada masalah diselesaikannya dengan adu jotos. Gue juga udah gede dan tau mana yang bener dan salah." Gerutu Stevani dengan tatapan yang masih terarah pada cowok tersebut.
Cowok itu hanya memandang Stevani sekilas dengan tatapan keras kepalanya. Rahangnya terlihat mengeras. "Gue emang tua, Stev. Tapi lo tetaplah adek gue sampe kapanpun. Dia pantas dapetin yang jauh lebih sakit karena udah berani sakitin lo." Geram cowok itu semakin rendah dan menegaskan bahwa dia sangat marah.
Please, Bryan!! Jangan pukul Bian lagi!" Teriak Stevani dengan nada frustasi. "Please, berhenti, bang." Lanjut Stevani dengan tatapan sendu.
Bryan menutup matanya sejenak dan menghembuskan napasnya secara perlahan. Dilihatnya adik kesayangannya secara intens.
"Okey, gue minta maaf. Harusnya, lo gue buat patah tulang sekalian, karena pergi tanpa kabar dan menghancurkan hati adek gue. Biar pun gue udah dewasa, tapi gue masih ada tanggung jawab menjaga Stevani. Sampe lo bikin nangis adek gue, gue nggak akan tinggal diem." Ucap Bian dengan suara tenang.
Stevani menghembuskan napas lega dan mengelap keringat yang keluar. Setidaknya Bryan tidak jadi membuat Bian patah tulang.
Stevani membalikkan badannya untuk menolong Bian yang sudah terkapar.
"Stev ..." panggilannya dengan suara pelan, membuat Stevani meringis kesakitan.
"Sini gue bantu lo bangun, Yan." Stevani mengulurkan tangannya kepada Bian yang sudah tidak berdaya, karena pukulan Bryan.
Bian menerima uluran tangan Stevani dengan senang hati. Walaupun dirinya merasakan pukulan yang sangat keras, setidaknya cewek di depannya ini perduli dan membelanya.
"Lo mau gue obati juga, bang?" Tanya Stevani kepada Bryan yang masih menatap dirinya.
Bryan tersenyum tipis dengan mata yang masih menatap mereka berdua. Dia tau keputusan yang diambil oleh adiknya memang benar.
"Nggak usah, dek."
........
Stevani membersihkan dan mengobati luka-luka Bian dengan telaten di taman belakang rumahnya. Taman ini begitu indah dan luas untuk ukuran sebuah rumah. Bian duduk di tepi kolam renang bersama Stevani. Sesekali Bian mengerang kesakitan saat Stevani mengobati lukanya. Sedangkan Stevani hanya mendecak sebal saat mendengar ringisan dari cowok itu.
"Bian, bisa diem nggak sih?! Mau di obati, nggak?!" Stevani menatap tajam Bian yang sejak tadi memalingkan mukanya.
Bian mengangguk layaknya anak kecil penurut. "Mau."
"Makanya diem, Bian."
Setelah mengobati luka cowok itu, Stevani memberikan sebuah teh hangat kepadanya.
Seketika keadaan canggung dan yang terdengar hanya suara air di kolam renang.
"Makasih, babe." Bian tersenyum ketika Stevani memberikannya.
Stevani membulatkan kedua matanya saat Bian mengucapkan kata 'babe'. Darahnya berdesir cepat dan Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasa. Apakah efek Bian sangat dahsyat untuk kesehatan jantungnya?
Konyol memang. Namun siapa sangka, satu kata itu bisa merusak kerja jantung Stevani yang sebelumnya baik-baik saja.
Bian tersenyum jahil saat melihat pipi cewek di hadapannya ini. Dia tidak menyangka efek perkataannya sangat dahsyat. Harusnya sejak dulu saja dia menggunakan panggilan sayang untuk perempuan ini.
"Ciee... pipi lo kenapa merah?" Tanya Bian dengan senyuman jahil yang masih melekat pada wajahnya.
Dipukulnya lengan Bian yang terluka dengan sangat pelan. "Siapa yang suka sama muka datar kayak lo?" Ucapnya dengan kesal.
Bian tertawa geli sendiri melihat kesalahan pada ucapan Stevani. Dia tidak menyangka, Stevani sangat ceroboh. "Emangnya gue nanya lo suka ke gue? Gue cuma tanya, kenapa pipi lo merah, Stev."
Stevani menganga lebar. Bagaimana bisa dia keceplosan tentang pertanyaan itu. Jelas-jelas Bian hanya menanyakan mengapa pipinya merah. Lalu, bagaimana bisa dia mengeluarkan suara hatinya?
Stevani merasakan kelembutan tangan Bian yang mengusap puncak kepalanya. "Nggak apa-apa kalo lo suka gue, Stev. Lagian, perasaan gue juga sama kayak lo, Stev."
Stevani terkejut mendengar ucapan Bian. Tetapi, dia tidak terlalu memikirkannya, untuk saat ini biarkan dia dan Bian merasakan damai berdua dan menikmati waktu bersama.
Bian terkekeh geli melihat wajah Stevani yang semakin memerah akibat perlakuannya. Dia tau Stevani menyukainya, namun dia malu dan takut untuk mengungkapkan.
Mungkin, sekarang bukan waktu yang tepat buat lo bales perasaan gue, Stev.
"Gue punya pertanyaan buat lo, Stev." Bian mengalihkan pembicaraan tentang perasaan perempuan tersebut. "Lo mau ke Istanbul lagi, nggak?"
Stevani terpaku di tempatnya karena ajakan dari Bian. Jantungnya kembali
berdetak cepat seiring kembalinya memori kenangan yang sangat indah disana.Tanpa Stevani sangka, Bian menangkup kedua pipinya sehingga wajahnya harus menatap cowok itu.
Sebuah senyuman terukir di bibi Bian saat menyadari, Stevani juga menatapnya. "Jadi? Lo mau nggak, Stev?"Stevani mengerjapkan kedua matanya. Sepertinya ide Bian mengajaknya ke sana bukanlah hal yang buruk. Apalagi, saat ini dirinya tidak terlalu disibukkan dengan tugas dan pekerjaannya. "Gue terima tawaran lo, deh. Mungkin, gue bisa istirahat sejenak dari semua pekerjaan."
Bian melingkarkan kedua tangannya di pinggang Stevani dan memeluknya erat. Dia tidak perduli dengan luka ditangannya, saat ini dia hanya ingin
meluapkan rasa bahagianya."Yan?" Bisik Stevani. "Kenapa lo peluk gue?"
Bian semakin mengeratkan pelukannya pada Stevani. "Karena gue bahagia saat bersama lo, Stev."
Tunggu kejutan dari gue buat lo, Stev.
Voment ya^^ .
KAMU SEDANG MEMBACA
Stephanie [End]
Teen Fiction#169 in Teen Fiction - 25 Agustus 2016 #140 in Teen Fiction - 28 Agustus 2016 #133 in Teen Fiction - 2 september 2016 [Jangan ada yang copas ini cerita. Gue bikin sendiri dengan hasil pemikiran gue sendiri. Kalo ada yang sama atau gimana pun bentukn...