Epilog

7.7K 303 1
                                    

16 tahun kemudian






Seorang remaja menuruni tangga dengan semangat. Hari ini merupakan hari yang sangat ia tunggu-tunggu. Kalian tahu itu apa? Ya, remaja itu akan masuk ke sekolah barunya. Saat ini ia sudah mengenakan seragam sekolah putih abu lengkap dengan sweater yang disampirkan di sebelah bahunya.

Saat menuruni tangga terakhir, terdengar suara yang tidak asing bagi dirinya. Ia langsung berbalik untuk melihat orang itu.

"BANG REVO! KENAPA LO TINGGALIN GUE?!" Teriak seorang gadis yang juga mengenakan seragam sekolah yang sama.

"Terus, gue harus apa?" Tanya Revo yang sekarang sibuk mengusap usap telinganya.

Gadis tersebut hanya menatap Revo dengan sinis. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa dirinya memiliki kembaran yang sangat menyebalkan.

Merasa dirinya dipandang oleh gadis tersebut, Revo menoleh ke arahnya. "Kenapa lagi sama gue, Revana? Fine, gue minta maaf."

Revana yang memdengar ucapan Revo langsung memeluknya. Ia sangat bersyukur memiliki kembaran sekaligus abang yang hanya berbeda waktu 10 menit saja. "Makasih abang gue yang ganteng banget. Gue gemes deh sama pipi lo, bang."

Revo tersenyum tipis saat adik kesayangannya mencubit pipinya. Ia langsung merangkul Reva menuju meja makan.  Sesampainya di sana, kedua orangtua nya sudah berkumpul. Revo menarik kursi tepat di sebelah Revana yang berhadapan dengan sang ibu.

"Tadi di tangga kenapa lagi, Evo?" Tanya sosok wanita cantik yang sedang sibuk mengolesi selai cokelat.

"Itu bun, si Eva teriak - teriak gitu. Orang Evo tadi aja bangunnya telat. Eh, Eva marah - marah sama Evo." Jawab Evo tanpa memperhatikan wanita itu.

"Evo, kalo bunda bicara liat dulu dong." Ucap seorang pria yang sekarang tengah asik mengaduk kopinya.

"Iya, yah. Maaf ya, bundaku. Evo lagi konsentrasi sama makanan buatan bunda." Jawab Evo tersenyum.

"Bang Revo jangan senyum deh. Sebel gue kalo liat lo senyum." Ucap Reva dengan nada sebal.

Revana memang sejak dulu selalu sebal saat melihat senyuman abangnya. Menurutnya, senyuman Revo sangat mirip dengan salah satu idolanya.

"Lo kenapa, sih? Masih sebel gara - gara senyum gue mirip Zayn Malik? Udah sih, dek. Harusnya lo bahagia punya abang yang mirip Zayn Malik." Ucap Revo sambil mencolek dagu adiknya.

"Siapa juga yang sebel sama lo, bang. Udah tau gue sebel liat lo senyum aja, bang." Jawab Reva dengan sebal.

"Bun, anak kamu nih pada ribet." Kata seseorang yang masih asik melihat kedua anaknya bertengkar.

Wanita yang dipangil bunda tersebut melirik sinis kearah laki-laki itu. "Ih, Bian. Ini kan anak kamu juga. Jadi ini salah cuma anak aku aja? Emamg bener ya, kalo cowok cuma mau enaknya aja." Jawab Wanita cantik tersebut sambil memberenggut kesal.

Bian menatap wajah sang istri dengan kekehan. "Iya, iya, Stev. Masa bercanda aja kamu sensi. Udah, ah jangan cemberut gitu dong, sayang." Jawabnya sambil mengusap kepala Wanita cantik tersebut.

Revana dan revano hanya bisa geleng-geleng kepala saat mendengar keributan yang dibuat oleh kedua orangtuanya. Mereka berdua sudah sangat hafal dengan kelakuan kedua orangtuanya.

"Bun, yah, udah ya? Nanti aja  pacarannya pas Evan sama Evo pergi sekolah, okay?" Suara itu membuat kedua orang tersebut berhenti untuk berdebat.

"Anak ayah tau aja, deh. Ayah pengen pacaran dulu sama bunda. Udah sana berangkat." Ucap Bian kepada kedua anaknya yang langsung mendapat pelototan dari Stevani.

Reva dan Revo menatap kedua orangtuanya dengan wajah ditekuk. "Iya, deh."

Stevani yang sejak tadi hanya menatap tajam kearah Bian, kini mulai menyuarakan isi pikirannya. "Siapa juga yang mau pacaran sama kamu? Udah mending kamu pergi kerja deh, Yan. Revo sama Reva sekalian kamu anterin ke sekolahnya. Okay, Yan?"

Perkataan Stevani membuat Bian ingin membantahnya. Namun, saat melihat wajah Stevani yang menurut Bian sangat menyeramkan membuat Bian mengangguk dengan pasrah. "Siap, kanjeng ratu kidul yang cantik."

Revo dan Reva hanya bisa menatap jengkel kedua orangtuanya yang selalu bermesraan seperti ini.

"Papa pergi dulu ya, kanjeng ratu. Hati-hati dirumah. Jangan lupa kunci rumah, pintu samping, pintu belakang, semua pintu yang ada dirumah ini. Kalo ada orang gajelas bilang aku, hubungin pak farhan, kasih tau bik Inah, sama lapor polisi. Okay?"

"Iya, pak. Bawel banget, sih. Lagian, tiap kamu pergi kerja ngomongnya ulang terus. Berasa kaset rusak." Jawab Stevani dengan nada gemas.

Bian yang mendengar ucapan Stevani hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku cuma takut aja kamu diculik, Stev."

"Cie, yang takut aku diculik." Goda Stevani dengan menaik turunkan alisnya. Sontak Revo dan Reva tertawa saat melihat pipi Bian memerah.

Bian yang hanya bisa menghembus napasnya. Dia selalu jadi korban pembully-an saat sedang berkumpuk seperti ini. "Terus aja bully ayah sepuasnya." Ucap Bian dengan nada kesal.

"Ayah udah tua. Jangan kayak anak kecil, deh. Masa mukanya ditekuk gitu." Reva terkekeh geli denga tingkah Bian.

"Udah, udah. Sekarang udah jam setengah tujuh dan kalian harus berangkat ke sekolah." Stevani mukai menginterupsi Reva dan Revo untuk menghentikan tawanya.

"Iya, bun. Kalo gitu Evo berangkat dulu ya, bun." Jawab Revo sambil mencium tangan perempuan tersebut.

"Eva juga ya, bun."

"Iya. Hati-hati dijalan ya, sayang. Selamat hari pertama sekolah di sma." Jawab Stevani.

"Aku juga pergi dulu ya, Stev. Awas kamgen sama aku ya, Stev." Ucap Bian dengan nada menggoda.

Satu hal yang selalu Bian dan Stevani harapkan, kebersamaan untuk menghabiskan waktu bersama.

-_-_-_-_-_-_-













Stephanie [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang