Bagian 12 END

599 42 6
                                    

ENJOY!!!
* * *
Tangan itu saling menggenggam dengan erat. Duduk berdampingan dengan tubuh yang saling menempel. Seperti tidak ingin jauh dari pasangan. Kedua sejoli itu menatap lurus ke depan, tapi senyum tidak pernah lepas dari wajah mereka. Sepertinya mereka sedang berbahagia.
Salah satu sosok itu tampak menghela nafas panjang. "Aku tidak menyangka jika menyiapkan sebuah pesta pernikahan akan sesibuk ini."
"Kau lelah?" Tanya sosok yang satu lagi.
"Hmm... lebih lelah dari mengurus sebuah butik." Wajah itu memang tampak lelah, meski tak dipungkiri wajah cantik itu juga tampak berseri-seri. Menanti hari bahagianya, ah, bukan, menanti hari bahagia mereka.
"Gwe..."
Sosok yang dipanggil itu menoleh.
"Bersandarlah!" Menepuk-nepuk pelan bahu kirinya. Mengisyaratkan pemilik nama Gweboon itu untuk bersandar di bahunya.
Gweboon tersenyum sebelum menjatuhkan kepalanya di bahu sosok yang duduk disampingnya. "Terimakasih, Jinki oppa."
Laki-laki yang dipanggil Jinki itu hanya tersenyum. Mengeratkan genggaman tangan kirinya pada tangan kanan wanita itu. Sedangkan tangan kirinya mengusap lembut kepala Gweboon.
"Kau ingin tidur?" Tanya Jinki.
"Tidak."
"Kau bisa tidur sebentar jika ingin." Saran Jinki.
"Tapi aku tidak mungkin tidur disini, oppa."
"Kenapa? Tidurlah! Aku akan menjagamu."
"Tidak mau. Jika aku tidur, aku tidak bisa melihat wajah tampan oppa." Pipi Gweboon bersemu merah setelah mengatakannya.
Senyuman di wajah Jinki semakin lebar. Betapa manisnya calon istrinya itu. Sisi lain dari Gweboon yang baru dia ketahui beberapa pekan terakhir. Dan tentu dia menyukainya.
"Aku baru tahu jika seorang Kim Gweboon pandai merayu."
"Tidak. Aku hanya menirukan apa yang sering oppa lakukan kepadaku." Bela Gweboon.
Jinki tertawa lebar. Ah, itu benar. Sejak Gweboon menerima lamaran Jinki, laki-laki itu tak segan-segan untuk merayunya, menggodanya, memeluknya, bahkan menciumnya di depan karyawan kantornya. Dan itu membuat Gweboon malu, tapi Jinki tak peduli. Dia hanya terlalu gemas pada calon istrinya itu. Dimata Jinki, Kim Gweboon, semakin hari terlihat semakin cantik. Oh, betapa beruntungnya Jinki bisa memiliki Gweboon.
"Dan juga...." Gweboon kembali bersuara.
"Apa?"
"Jika aku tertidur, aku tidak bisa lagi merasakan nyamannya bersandar di bahu oppa." Pipi itu masih saja merona merah. Tapi dia tak peduli, selama dia tidak menatap langsung mata sipit itu, dia masih bisa mengatakan apa yang dirasakannya. Sekalipun setelah itu dia akan malu sendiri. Tapi terbuka kepada Jinki tentang perasaannya itu membuatnya senang.
"Jadi kau mencintai oppa karena itu?"
"Tentu saja tidak. Aku mencintai oppa karena berbagai alasan."
"Apa itu?" Tanya Jinki penasaran.
"Karena oppa baik kepadaku, menyayangiku, memberiku perhatian lebih, menerima segala kekurangan dan kelebihanku, dan yang paling penting karena oppa tulus mencintaiku. Juga karena aku merasakan kebahagiaan saat bersama oppa dan juga Eunsook."
"Jadi karena itu? Aku sedih mendengarnya."
"Eh?"
"Karena alasan kita mencintai berbeda."
"Benarkah? Lalu apa alasan oppa?"
"Alasanku mencintaimu adalah karena kau, karena kau adalah Kim Gweboon, bukan orang lain."
Gweboon yang mendengar itu bukannya senang justru mengerucutkan bibirnya kesal.
"Cih, apa itu? Oppa menggodaku, eoh?"
"Tidak. Aku sungguh-sungguh, Gwe."
"Itu bukan alasan oppa."
"Lalu?"
"Itu hanya bualan oppa semata." Meski Gweboon protes akan alasan yang berikan Jinki, tapi nyatanya wanita itu tersenyum lebar dalam dekapan hangat Jinki.
"Jinki oppa..."
"Hmm..."
"Dingin..." Rengek Gweboon.
Jinki melepaskan pelukannya, membuat Gweboon refleks mengangkat kepalanya. Dilihatnya apa yang dilakukan laki-laki itu. Jinki tampak melepas jaketnya, menyampirkan jaket itu di bahu Gweboon. Memeluk tubuh Gweboon dengan sebelah tangannya. Pelukan itu dirasakan Gweboon begitu erat.
"Apakah masih dingin?" Tanya Jinki.
"Tidak." Gweboon menyandarkan kembali kepalanya di bahu Jinki.
"Gwe..."
"Ya?"
"Apa kau bahagia?"
"Tentu saja. Terimakasih Jinki oppa."
"Seharusnya aku yang berterimakasih kepadamu, Gwe. Terimakasih karena telah datang padaku."
* * *
"Gwe?"
"Oppa..." Air mata gadis itu terus saja mengalir dari pipi mulusnya.
Jinki berdiri dari duduknya, berjalan perlahan menghampiri Gweboon.
"Kau tidak apa-apa?"
Lee Jinki, bodoh! Tentu saja Gweboon tidak baik-baik saja. Tidakkah kau lihat air mata gadis itu? Tidakkah kau lihat tatapan mata gadis itu penuh kesedihan dan.... kerinduan?
"Aku..." Gweboon tidak sanggup berbicara. Entahlah. Semua yang ingin dia katakan kepada Jinki seolah menguap begitu saja setelah melihat wajah laki-laki yang dirindukannya itu.
Jinki mengangkat tangannya, ingin menghapus air mata gadis itu. Tapi sebelum tangan itu mencapai pipi Gweboon, gadis itu lebih dulu memeluk Jinki.
Terdiam. Mereka berdua tidak mengeluarkan sepatah katapun. Jinki mengeratkan pelukannya. Menyusupkan wajahnya ke leher Gweboon. Mereka berdua terus berpelukan. Seakan mengobati rindu yang masing-masing mereka rasakan. Baik Jinki maupun Gweboon tidak berniat untuk sekedar menanyakan kabar, atau mengatakan seberapa rasa rindu itu mereka rasakan. Hanya pelukan itulah yang mengisyaratkan seberapa besar rindu itu menyiksa mereka.
* * *
Mobil itu berhenti di depan rumah Jinki. Dua orang tampak keluar dari mobil. Jinki memutari mobil itu, dan berdiri tepat dihadapan pemilik mobil, Kim Gweboon.
"Terimakasih sudah mengantarku, Gwe. Maaf merepotkan." Sesal Jinki sambil menyerahkan kunci mobil kepada Gweboon.
"Tak masalah. Aku tidak merasa direpotkan."
"Eum... kau tidak ingin mampir?" Tanya Jinki basa-basi.
"Lain kali saja, oppa. Sudah malam." Tolak Gweboon halus.
"Tapi Eunsook pasti akan senang jika melihatmu."
"Dia pasti sudah tidur sekarang, benar bukan?"
"Ah, kau benar."
"Kalau begitu oppa masuklah. Aku pulang dulu." Berbalik dan bersiap melangkahkan kakinya, tapi dia merasakan seseorang menahan tangannya.
Menoleh ke belakang dan menatap bingung ke arah Jinki yang menatapnya sayu. Oh, jangan katakan jika Jinki ingin meminta jawaban darinya. Ya. Seharusnya Gweboon tahu itu, seharusnya Gweboon sudah mengatakan itu sejak tadi. Tapi Gweboon takut, dia tidak tahu harus memulai darimana. Dan dia....
"Gwe..." Panggilan itu. Nada putus asa jelas sekali terdengar saat Jinki memanggil namanya.
"Ya?"
"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu kepadaku?"
Gweboon terdiam. Menundukkan kepalanya. Mata itu mulai berkaca-kaca. Masih bisakah dia menangis sekarang setelah seminggu terakhir ini air mata itu selalu keluar dari mata kucingnya?
Jinki melepaskan genggaman tangannya di pergelangan tangan Gweboon. Mendekat ke arah Gweboon, meraih kedua bahu gadis itu dan menatapnya sayu.
"Gwe, apakah waktu yang kuberikan padamu masih kurang?" Tanya Jinki dengan nada menuntut.
Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya pelan.
"Lalu?" Tanya Jinki.
"Apakah aku bisa mempercayai oppa?" Gweboon mendongakkan kepalanya, menatap mata sipit itu dengan matanya yang memerah.
"Tentu, Gwe."
"Apakah oppa akan menjaga hatiku dengan baik?"
"Aku akan melakukannya, Gwe. Kau bisa mempercayaiku. Aku akan menjaga hatimu dengan hatiku. Selalu mencintaimu selama aku masih bisa bernafas. Memberikan apapun yang kau inginkan termasuk hatiku... hanya untukmu." Jinki menatap mata Gweboon dengan lekat. Berusaha meyakinkan wanita itu melalui tatapan matanya.
"Oppa, maukah berjanji satu hal kepadaku?"
"Apa?"
"Jangan pernah menyembunyikan apapun dariku. Jangan pernah membohongiku. Jangan pernah melakukannya dengan alasan apapun, sekalipun itu untuk kebahagiaanku. Bisakah?"
"Tentu." Jinki menarik Gweboon ke dalam pelukannya. Kedua sudut bibirnya membentuk senyuman.
Gweboon memposisikan kepalanya di dada bidang Jinki. Betapa pelukan Jinki begitu nyaman dan hangat.
Setelah beberapa saat Jinki melepaskan pelukannya, menatap mata Gweboon dengan lembut. Mendekatkan wajahnya dengan Gweboon. Mengecup kening gadis itu lama, Gweboon memejamkan matanya. Jinki tersenyum pada Gweboon sebelum kembali mencium hidung dan kedua pipi Gweboon.
Pipi Gweboon bersemu merah, begitu juga dengan Jinki. Tak peduli seberapa merona pipi mereka, seberapa detak jantung mereka yang berpacu lebih cepat, tak peduli akan sensasi menggelitik yang dirasakan perut mereka, tak peduli akan dinginnya udara sekitar, kedua wajah itu mendekat secara perlahan. Memejamkan mata masing-masing sebelum kedua bibir itu benar-benar bertemu untuk kedua kalinya.
Dan rasa itu masih sama. Manisnya bibir Gweboon, hangatnya bibirnya Jinki. Dan rasa kecanduan untuk lebih lagi merasakan bibir satu sama lain membuat mereka memperdalam ciuman itu. Menyesapi bibir atas dan bawah itu bergantian. Merasakan hangat saat Jinki memainkan lidahnya di rongga mulut Gweboon.
* * *
"Gwe..." Panggil Jinki.
"Hmm..." Gweboon masih tetap nyaman dengan posisinya yang bersandar di bahu Jinki.
"Apa kau tidak merasa kesulitan?" Tanya Jinki.
"Kesulitan?" Gweboon justru balik bertanya.
"Iya, mempersiapkan pernikahan kita."
"Tidak. Aku justru senang, karena aku bisa membuat pesta pernikahan seperti yang aku impikan." Gadis itu tersenyum cerah.
"Aku juga senang, Gwe. Bisa ikut andil dalam mempersiapkan pernikahan kita. Dan sejujurnya ini pertama kalinya aku akan merasakan pesta pernikahan yang begitu meriah seperti ini."
"Eh? Pertama kalinya? Lalu saat menikah dulu?" Gweboon bertanya dengan heran.
"Dulu saat menikah semua diurus oleh kedua orangtua kami. Dan pernikahan itu begitu sederaha. Tanpa ada pesta dan hanya dihadiri oleh keluarga dekat. Tapi sekarang berbeda. Dan sejujurnya aku begitu gugup menanti saat-saat seperti itu."
"Aku juga. Rasanya setiap hari jantungku berdetak lebih cepat karena terlalu gugup."
"Bagaimana jika nanti kita bergandengan tangan, yah... setidaknya mengurangi rasa gugup kita." Saran Jinki.
"Untuk mengurangi gugup atau karena oppa ingin mengambil kesempatan?" Tuntut Gweboon.
"Kenapa? Tidak boleh?"
"Bukan begitu. Hanya saja oppa seperti ingin memanfaatkan keadaan." Gweboon mengerucutkan bibirnya kesal.
"Memanfaatkan keadaan bagaimana?" Jinki mengerutkan keningnya heran.
Gweboon hanya mengedikkan bahunya. Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap Jinki.
"Jika aku ingin mengenggam tanganmu aku bisa melakukannya sekarang." Mengenggam tangan Gweboon dengan erat.
"Jika aku ingin memelukmu aku bisa melakukannya sekarang." Memeluk tubuh mungil Gweboon.
"Dan jika aku ingin menciummu, aku bisa melakukannya sekarang." Melepaskan pelukannya dan mengecup bibir tipis Gweboon dengan lembut.
Pipi gadis itu bersemu merah. Oh, haruskah Jinki melakukan ini? Dan setiap Jinki melakukannya kenapa gadis itu begitu malu? Dan kenapa jantungnya selalu berdetak dengan cepat?
"Oppa, hentikan!" Pinta Gweboon.
"Kenapa? Kau malu?"
Gweboon tidak menjawab, hanya menundukkan kepalanya malu.
Jinki tersenyum melihatnya. Memeluk Gweboon dengan erat.
"Aku mencintaimu, Gwe."
"Aku juga, oppa."
Senyum itu terlukis di wajah bahagia mereka.
* * *
"Gweboon-ah, bagaimana persiapan pernikahan kalian?" Tanya Nyonya Lee saat Jinki dan Gweboon menjenguk Eunsook di rumah orangtua Jinki.
Ya, Nyonya Lee menawarkan diri untuk merawat Eunsook selama Jinki dan Gweboon mempersiapkan pesta pernikahan mereka. Semula Nyonya Lee berniat membantu, tapi baik Gweboon maupun Jinki menolaknya, terlebih Gweboon. Gadis itu berdalih ingin merasakan tantangan saat mempersiapkan pernikahannya sendiri. Dan sebagai gantinya Nyonya Lee membantu mereka merawat Eunsook. Dan ini sudah 3 minggu sejak Eunsook menginap di rumah orangtua Jinki. Itu berarti tinggal seminggu pesta pernikahan mereka akan dilangsungkan.
"Semuanya lancar, eomma." Jawab Gweboon.
"Maafkan eomma, Gweboon-ah. Eomma tidak bisa membantu kalian." Sesal Nyonya Lee.
"Tidak apa, eomma. Dengan merawat Eunsook eomma sudah membantu kami." Jinki menenangkan eommanya.
"Appa, aku punya satu permintaan." Tanya Eunsook yang duduk dipangkuan Jinki. Tapi tangan gadis kecil itu menggenggam erat tangan Gweboon yang duduk disamping Jinki. Tanpa mereka sadari Nyonya Lee tersenyum melihat kedekatan mereka bertiga.
"Sookie ingin meminta apa?" Tanya Jinki menatap lembut putrinya itu.
"Bolehkah aku memanggil Gweboon eonni dengan sebutan eomma?" Gadis kecil itu bertanya dengan polos.
Gweboon tampak terkejut, Jinki tertawa lebar, sedangkan Nyonya Lee tampak terkikik geli. Oh, jika melihat ekspresi Nyonya Lee, sepertinya permintaan Eunsook berkaitan dengan beliau.
"Tentu saja boleh." Jawab Jinki.
"Tapi oppa..." Gweboon sedikit enggan, tapi melihat wajah Eunsook yang menatapnya penuh harap membuat wanita itu menghentikan perkataannya. Menghela nafas sejenak. "Baiklah, Sookie boleh memanggil eonni dengan eomma."
Oh, kalian tidak akan bisa membayangkan bagaimana wajah Eunsook tampak senang. Mata sipit itu berbinar-binar dan senyum diwajahnya semakin lebar.
"Appa..."
"Ada apa, sayang?"
"Aku ingin minta satu lagi." Mata itu kembali menatap Jinki dengan tatapan memohon.
Jinki mengerutkan keningnya heran.
"Apa itu?"
"Aku ingin punya adik laki-laki."
Dan permintaan Eunsook membuat Jinki, Gweboon dan Nyonya Lee terkejut. Terlebih Gweboon, gadis itu sampai menundukkan kepalanya karena malu. Oh, ternyata Jinki dan Eunsook sama saja. Suka sekali membuat Gweboon malu. Sepertinya Eunsook tertular sifat appanya.
* * *
Seperti yang diharapkan. Pesta itu tampak meriah dan berjalan lancar. Seluruh keluarga dan tamu undangan tampak berbahagia untuk kedua mempelai. Apalagi Eunsook yang tidak pernah melepaskan genggaman tangannya pada Jinki dan Gweboon. Kemanapun mereka berdua berjalan, Eunsook akan mengikutinya. Bukankah ini manis? Tapi ada kalanya itu merepotkan bagi Jinki dan Gweboon.
"Oppa, apakah tidak apa-apa menitipkan Eunsook pada mereka?" Gweboon menatap Jinki yang sibuk melepas jas dan kemeja yang dikenakannya saat pesta tadi.
"Bukankah mereka yang memaksanya?"
"Tapi aku merasa tidak enak, oppa. Eunsook sudah sebulan disana, dan setelah pernikahan kita selesai, haruskah Eunsook tinggal disana lagi?" Gweboon menyingkirkan pakaian kotor mereka. Memasukkannya ke dalam keranjang yang terletak di dekat pintu kamar mandi di kamar mereka.
"Tidak apa, lagipula Eunsook itu cucu mereka. Dan Eunsook sendiripun tidak keberatan menginap di rumah mereka." Jinki menenangkan Gweboon.
"Baiklah." Gweboon tampak menghela nafas kecewa.
Jinki yang mengetahuinya menatap istrinya itu dengan heran. "Kenapa?"
"Tidak. Aku hanya sedikit kecewa saja."
"Kecewa?"
"Hmm... Padahal aku berencana ingin tidur bersama Eunsook malam ini. Aku sangat ingin kita tidur bersama. Aku, Eunsook dan juga Jinki oppa."
Jinki tersenyum, mengampiri Gweboon yang masih sibuk dengan kegiatannya. Memeluk istrinya itu dari belakang.
"Kau tidak ingin tidur bersamaku?" Tanya Jinki setengah berbisik.
Nafas hangat Jinki dapat Gweboon rasakan di sekitar pipinya. Oh, bukankah ini malam pertama mereka?
"Bukan begitu... hanya saja aku..." Sebelum Gweboon sempat menyelesaikan perkataannya, dia merasakan bibir Jinki mengecup lehernya lembut. Hanya sebatas mengecup dan sesekali menjilat leher putihnya.
"Oppa..."
"Gwe, masih ingatkah dengan permintaan Eunsook?" Jinki bertanya di sela-sela ciumannya.
"Adik laki-laki?" Tanya Gweboon memastikan.
"Hmm... jadi ayo kita kabulkan permintaannya." Jinki menggigit daun telinga Gweboon dengan lembut.
"Tapi..."
"Gwe, ijinkan aku memilikimu malam ini.... seutuhnya." Membalikkan tubuh Gweboon. Menatap mata Gweboon dengan penuh cinta sebelum mempertemukan bibir mereka bedua dengan lembut.
* * *
"YA! LEE KIBUM! KAU INGIN MATI DITANGANKU, HAH?"
Teriakan seorang gadis disusul suara gaduh membuat Jinki dan Gweboon menoleh ke dalam rumah. Gweboon memutar bola matanya jengah, sedangkan Jinki hanya mengedikkan bahunya saat Gweboon menatapnya. Wanita itu menghela nafasnya lelah.
"Oppa, sepertinya mengabulkan permintaan Eunsook waktu itu bukanlah pilihan yang tepat." Kata Gweboon tiba-tiba.
'Kenapa?" Jinki menatap Gweboon yang masih tetap cantik meski usianya telah menginjak 38 tahun.
"Mereka membuatku pusing. Ini lebih melelahkan daripada mengurus Taemin dan Taeyeon."
"Bukankah dengan begitu rumah kita jadi ramai?"
"Huh! Oppa bisa bilang begitu karena oppa hanya dirumah saat pagi dan malam hari saja, coba jika oppa yang berada di posisiku. Pasti oppa akan setuju dengan perkataanku."
"Ta-"
"EOMMA! APPA! CEPAT TANGKAP KIBUM!" Perkataan laki-laki yang masih tetap tampan di usianya yang menginjak 43 tahun itu terpotong oleh teriakan gadis remaja itu.
Sedetik kemudian, bocah laki-laki berusia 10 tahun tampak meminta perlindungan pada mereka berdua.
"Eomma, appa! Lindungi aku dari macan yang kelaparan itu." Kata bocah laki-laki yang dipanggil Kibum itu.
"Macan kelaparan? YA! LEE KIBUM!"
Kibum memeluk Gweboon, meminta perlindungan pada eommanya. Sedangkan Eunsook yang berniat memukul Kibum segera dihentikan oleh Jinki.
"Apa lagi sekarang?" Tanya Jinki menatap Eunsook.
"Kibum menyebalkan, appa!"
"Kau nakal lagi, Bummie?" Kali ini Gweboon yang bertanya. Mata wanita itu menatap tajam ke arah Kibum, menuntut penjelasan pada putranya.
"Tidak. Aku hanya bertanya kepada noona kenapa dia tampak jelek di foto ini." Jawab Kibum dengan wajah polosnya sambil menyerahkan selembar foto pada Gweboon.
Ah, itu foto mereka seminggu yang lalu. Saat merayakan ulang tahun Taemin dan Taeyeon yang ketujuh.
"YA! Aku tidak jelek, Lee Kibum! Aku bahkan sudah menjadi primadona sejak masuk universitas." Bela Eunsook.
"Itu hanya perasaanmu saja, noona." Menjulurkan lidahnya ke arah Eunsook.
Eunsook ingin sekali memukul atau setidaknya menyumpal mulut Kibum dengan sepatunya, tapi sebelum keinginannya itu tercapai Jinki menatapnya dengan tajam.
"Huh, appa menyebalkan! Selalu saja membela Kibum." Eunsook mengerucutkan bibirnya kesal.
"Appa bukan membelanya, Sookie."
"Jangan memanggilku seperti itu, aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah dewasa, appa. Jadi panggil aku Eunsook." Protes Eunsook.
"Tapi kau tetap putri appa, Sookie."
"Aish, terserah appa saja." Menatap appanya kesal.
"Kau sudah besar, sayang. Seharusnya kau bisa mengalah dengan adikmu." Nasihat Jinki.
"Aku tidak mau. Untuk apa mengalah dengan adik menyebalkan seperti dia?" Menunjuk Kibum dengan jarinya dan menatap tajam bocah laki-laki itu. Sedangkan yang ditatap hanya menjulurkan lidahnya dan semakin memeluk Gweboon dengan erat.
"Tapi tetap saja kau sebagai kakak harus mengalah, Sookie."
"Bukankah dulu kau sendiri yang meminta adik laki-laki?" Gweboonpun angkat bicara.
"Dan sekarang aku menyesalinya." Menyilangkan tangannya di depan dada dan membuang muka. Terlalu kesal dengan adiknya itu.
"Sekalipun kau menyesal, toh kau sudah mendapatkannya. Dua adik laki-laki dan satu adik perempuan." Sahut Jinki.
"Tapi setidaknya Taemin dan Taeyon tidak menyebalkan seperti dia."
"Bukan tidak menyebalkan, noona. Tapi belum menyebalkan. Karena mereka masih kecil. Jika nanti sudah besar, aku yakin mereka akan lebih menyebalkan daripada aku." Sambar Kibum.
"YA! Jangan meracuni mereka dengan kenakalanmu."
"Aku tidak nakal." Bantah Kibum.
"Baiklah, kau tidak nakal. Tapi menyebalkan!"
"Aku tidak menyebalkan. Hanya saja noona yang terlalu cerewet dan berisik."
"YA! LEE KIBUM!"
Eunsook kembali mengejar Kibum yang sudah berlari memasuki rumah mereka.
"Oh, aku akan menua lebih cepat jika seperti ini." Gweboon memijit kepalanya pelan. Rasanya pening mendengar teriakan Eunsook dan Kibum.
"Tapi mereka adalah kebahagiaan kita, Gwe." Timpal Jinki sambil menatap Gweboon. Merangkulkan sebelah tangannya dan membawa tubuh gadis itu kepelukannya.
Gweboon menyandarkan kepalanya di bahu Jinki. Hal yang paling disukainya saat duduk bersama suaminya itu. Dan Jinki menggenggam erat tangan Gweboon. Senyum bahagia terlukis di wajah mereka.
Bahagia itu sederhana. Dengan menerima kekurangan dan kelebihan satu sama lain, maka tidak akan ada masalah besar yang akan mampu merenggut kebahagiaan itu.
The End | Tamat | Selesai | Kkeut
* * *

I Found You For Me And My Dad | CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang