Andre yang tengah fokus mengerjakan pekerjaan kantor seketika terhenti kala ponsel yang ada disampingnya berdering nyaring. Ingin mengabaikan, namun takut ada hal penting yang terjadi. Tangannya terulur mengambil ponsel tersebut tanpa melihat nama kontak, kemudian menempelkan ke sebelah telingnya dijepit dengan bahunya, sedang tangannya kembali melakukan kegiatan mengetik yang sedari tadi ia kerjakan.
"Ya, Halo Assalamualaikum?" Sapa Andre
"Assalamualaikum, Mas Andre?"
Merasa tidak asing dengan suara tersebut, ia menjauhkan ponsel untuk melihat siapa yang menelfonnya, "Iya ini Mas. Ada apa Rat?"
Ratih adik kedua Andre Papa Diana menelfon dari Jogja. Memang Andre berasal dari Jojga, seluruh keluarganya kecuali dirinya menetap disana. Ia sendiri yang memilih untuk merantau tinggal di Jakarta. Supaya lebih mandiri pikirnya. Terlebih ia sendiri laki-laki dari keluarganya.
Seketika fikirannya tertuju pada adiknya satu lagi. Oca. Orang tua mereka yang memang sudah meninggal sejak Oca masih duduk dibangku SMA, membuat ketiga kakak beradik itu terbiasa untuk hidup mandiri. Di antara Ratih dan Oca, menurutnya Oca lah lebih sangat mandiri, kuat, tidak banyak mengeluh, bahkan selalu berusaha untuk membuat orang-orang disekitarnya merasa bahagia.
Sekarang gadis itu tengah sibuk bekerja di salah satu perusahaan impiannya di bidang design, sedangkan Ratih sudah menikah sejak beberapa tahun lalu. Beberapa kali Andre mencoba mengajak Oca untuk tinggal bersamanya di Jakarta, begitu juga Ratih terus berusaha untuk mengajak adiknya itu untuk tinggal bersama, namun Oca yang keras Kepala serta terbiasa untuk hidup mandiri memilih ngekos yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempatnya bekerja.
Ah sekarang dia merindukan kedua adiknya.
Terdengar suara tangis dari sebrang sana, perasaannya mendadak tidak karuan ketika mendengar tangis adiknya.
"Rat kamu kenapa? Jangan bikin Mas panik!"
"Hiks hiks,"
"Ada masalah sama suami kamu? Atau anak kamu sakit?"
Ratih menggeleng pelan meski Andre tidak bisa melihatnya, "Bukan. Ta-tapi Oca Mas hiks hiks,"
Andre masih tidak mendengar dengan jelas, "Tarik nafas dulu, abis itu kamu ngomong yang jelas!"
Ratih mengikuti instruksi dari sang kakak, "Oca kecelakaan Mas!"
"Gak mungkin! Kamu bohong kan? Pasti dia yang nyuruh kamu buat jailin Mas, biasanya kan dia gitu. Jailnya gak ketulungan."
"Aku serius! Hiks Tadi siang dia kecelakan dan sekarang kondisinya kritis."
Cukup ada jeda di antara panggilan tersebut. Rasanya seluruh organ tubuhnya melemas, bayang-bayang wajah Oca seketika melintas di fikirannya.
"Rat," Ucap Andre lemah
"I-iya mas?"
"Tolong kasih kabar terus, Mas secepatnya kesana."
"Pasti. Aku tutup dulu. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Bagai petir di siang bolong, hati Andre mencelos. Fikirannya sudah kemana-mana. Dengan tergesa Andre bangkit kemudian membereskan meja kerjanya. Langkahnya membawa ke ruangan atasannya sekaligus teman akrabnya sejak masuk kuliah. Mereka berdua lah yang membuat perusahaan ini bersama-sama meskpiun bukan termasuk perusahaan yang raksasa. Ia membuka pintu ruangan tersebut tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
"Ndre, besok-besok bisa kali ketuk pintu dulu. Kan bahaya kalo gue lagi ada tamu penting." Protes Adit dengan wajah sebal
"Gak sampet." Balas Andre sekenanya