ZAHRA
SEPERTINYA AKU TERLALU banyak melamun, hingga ketika bu Aini menutup kelasnya, aku masih terbengong-bengong dengan catatan yang kosong. Risa yang duduk di sampingku melirikku dengan pandangan heran, kemudian kembali melirik kertas kosong di hadapanku. Aku hanya mengangkat bahu dengan mimik ragu, lalu menghela nafas panjang dan menyandarkan punggungku ke sandaran kursi, kembali menatap hujan yang belum juga mereda.
Kebanyakan dari teman-teman satu kelasku adalah orang-orang yang sudah berkeluarga, hingga ketika aku bertemu dengan Andhini dan Hana aku langsung merasa ‘klop’ karena kebetulan kami memiliki nasib yang sama, tiga-tiganya gadis lajang. Ketika aku melihat sosok Risa yang duduk sendiri satu minggu yang lalu, aku mendekatinya. Aku tau dia sudah menikah, namun umurnya tidak terpaut jauh dari kami, hanya berbeda satu tahun di atasku, 23 tahun, dan baru saja menikah 4 bulan yang lalu. Dan sepertinya, meski ia sudah menikah ia masih belum bisa bergabung dengan ibu-ibu yang mendominasi kelas non regular kami.
Aku tinggal di sebuah rumah sewaan tidak jauh dari kampus bersama Hanna dan Andhini, meski dalam seminggu kami hanya memiliki tiga hari jadwal kuliah; jum’at, sabtu, dan minggu. Dan sisanya ku habiskan di bandung untuk membantu bibi mengurus panti asuhan yang kini sudah merambah menjadi madrasah, dan sekolah SMP dengan guru-guru terpercaya atas bantuan seorang kakek Darmawan yang kebetulan memiliki nama Darmawan juga.
Hari ini hari minggu, itu artinya aku akan pulang ke Bandung dan kembali lagi ke Jakarta pada jum’at pagi. Namun untuk pertama kalinya aku tidak ingin pulang ke panti. Well, konyol memang, tapi aku lebih memilih tinggal di rumah sewaan kami di sini dari pada harus pulang di antar pemuda sialan itu.
Ah tapi, dia pasti sudah pulang karena bosan. Aku melirik jam dinding yang tertempel di atas white board. Sudah tiga jam berlalu, bahkan hampir empat jam. Mustahil rasanya jika pemuda itu tetap berada di bawah. Lagi pula ini kan bukan FTV!
“Kau mau menginap di sini?” tegur Andhini. Aku terkesiap dari lamunanku dan langsung memasukan barang-barangku dengan asal ke dalam tas. Ketiga sahabatku menunggu di ambang pintu. Risa berdiri di depan lorong dengan ponsel di telinganya.
“Damar sudah datang?” tanyaku ketika berjalan di sampingnya. Risa memasukan teleponnya ke dalam saku gamisnya dan mengangguk.
“Di bawah,” katanya sambil melirik hujan dari jendela di sampingnya. Kami berjalan dalam diam menuju lift. Hanna membuka bungkusan cokelat di sampingku ketika lift bergerak turun, dan mengunyahnya dengan santai. Aku menggeleng-geleng pelan sambil menatapnya. Andhini menggeram di samping Risa dan merebut coklat itu dari Hanna.
“Kau bilang mau diet!” pekiknya. Aku bersyukur hanya ada kami berempat di dalam lift, kalau tidak… aku tidak yakin bisa menahan malu melihat kelakuan teman-temanku.
Pintu lift terbuka. Andhini dan Hanna masih saling melanjutkan genjatan senjata mereka. Dhini menggenggam erat coklat Hanna, membuat gadis subur di sampingku bersidekap dengan wajah yang menunjukan kekesalannya. Langkah kami terhenti ketika melihat sosok Damar berjalan perlahan ke arah kami. Seperti biasa ia selalu terlihat rapih dan mempesona, dengan stelan kemeja dan celana bahannya yang berwarna abu-abu. Ia adalah seorang head officer salah satu bank syariah di Jakarta, dan istimewanya lagi, ia selalu menyempatkan diri untuk menjemput Risa.
Aku tersenyum santun kepadanya ketika ia menyapa kami setelah menyapa Risa. “Wah, romantis yah…” gumam Hanna dengan wajah yang sedikit konyol, Dhini menyikut lengan kanan gadis itu perlahan.
“Sudah selama ini, dan kau baru menyadari keromantisan mereka,” cibir Dhini.
Hanna mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan menatap gadis itu dengan pandangan siap beperang. “Bukan Risa dan Damar. Well, mereka memang romantic, tapi ya aku sudah tau sejak lama. Tapi dia, pemuda itu!” Hanna menunjuk ke depan dengan telunjuknya yang tampak seperti ibu jari milikku atau Risa, dan jelas tampak seperti dua ibu jari Dhini jika di satukan.