RAIHAN
Aku tersenyum puas pada bayangan di cermin itu. Ia memiliki struktur wajah yang begitu kokoh, yang selalu mendapat julukan tampan dari orang-orang yang melihatnya. Matanya berwarna coklat cemerlang, terbingkai indah dengan sepasang alis yang tebal, namun yang membuat kedua mata itu menarik bukanlah hal itu. Cahaya kehidupan yang kini terpancar dari balik iris coklatnya lah yang membuat semua tampak begitu mempesona. Binar indah yang sudah lama menghilang, binar indah yang ia dapatkan setiap kali tatapannya menangkap sosok cantik itu.
Berhasil, ya aku berhasil memasuki gerbang pertahanannya yang pertama. Dan selama ini aku memang tidak pernah gagal, seakan kegagalan tidak pernah termasuk dalam kamus kehidupanku. Aku adalah seorang pejuang. Sosok yang tidak akan pernah menyerah ketika menginginkan sesuatu. Terlebih gadis itu.
Ide tinggal di panti ini adalah ide yang paling cemerlang yang pernah ku dapatkan. Di tambah lagi dengan kelakuan-kelakuan bodoh wartawan itu, semuanya seakan menyatu bagai pelengkap kamuflaseku untuk mendekatinya. Aku tau Zahra akan sangat marah, namun ia tidak akan mengusirku. Ia tidak akan pernah membiarkanku terpuruk dalam kelumpuhan ini sendirian.
Lumpuh.
Wajah di cermin itu menarik sebelah bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman sarkastis. Kedua tanganku terulur untuk menyentuh lututku di balik selimut tebal berwarna coklat. Aku benar-benar bangga kepada diriku sendiri yang ternyata bisa bertahan sedemikian rupa. Saat itu, aku memang sengaja memisahkan diri dari kelompokku ketika kami sudah menemukan Raka. Sedikit naïf memang, tapi aku bersyukur ia baik-baik saja, dan saat itulah aku memutuskan untuk memberikan apa yang gadis itu inginkan. Kematianku. Untuk kali pertamanya aku merasa begitu terguncang atas penolakan sosok indah itu. kata-katanya tersengar seperti sebuah tantangan dalam benakku, memintaku menjemput kematianku sendiri. Dan aku melakukannya.
Meski pada akhirnya Tuhan berkata lain.
Malam itu, ketika pertama kalinya aku menemukan sosok lain dari gadis itu, aku tau aku sudah melukainya. Aku hampir saja menyerah, karena aku tau segala sesuatu tentang diriku hanya akan membuatnya terluka, hingga aku memutuskan untuk pergi. Ketika ia menahanku, aku tau jika aku masih memiliki sebuah kesempatan. Zahra memang gadis yang keras kepala, ia adalah gadis terangkuh yang pernah ku temui, namun di balik semua itu ia adalah gadis biasa yang begitu rapuh. Seperti yang kakek tua itu katakan. Aku hanya perlu sedikit bersabar, dan tetap berada di sampingnya. Aku akan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia memang mencintaiku.
Ketukan dipintu kamarku sontak membuyarkan sleuruh lamunanku. Aku berbalik dan mendorong kursi rodaku menuju pintu. Anna tersenyum manis ketika melihatku, aku tau ia sudah berusaha keras menyembunyikan tatapan iba yang paling ku benci, namun aku tetap bisa melihat goresan perih di mataku setiap kali ia memandangku. Seakan-akan ia merasa bersalah atas apa yang terjadi pada diriku saat ini.
“Aku dan Raka akan pulang dulu, kami masih harus membereskan kepindahan kami,” ujarnya, suaranya terlalu lembut hingga membuatku merasa muak.
“Ibu akan membantumu.” Ujar ibu yang entah sejak kapan berdiri di belakang Anna.
“Tidak ibu. Aku dan Raka bisa menyelesaikan semuanya, ibu tinggalah di sini bersama Raihan.” Ujarnya. Aku mendengus kesal, apa aku tampak selemah itu? mengapa semuanya tampak begitu memuakan dengan tatapan iba mereka. Seakan aku adalah seorang pria yang tak berguna, yang tidak bisa melakukan apapun.
“Kalian berdua tenanglah. Aku tidak selemah itu. Aku akan baik-baik saja dengan atau tanpa kalian.” Tuturku kesal. Anna tersenyum tipis, namun ibu masih menatapku dengan tatapan khawatirnya.
“Dia akan baik-baik saja,” ujar Kakek tiba-tiba. Wajah tuanya tersenyum penuh arti kepadaku, mau tidak mau itu membuatku tersenyum geli.
“Kami akan menemani paman Raihan di sini…” tiba-tiba segerombolan bocah kecil menghampiriku. Ya Tuhan! Bahkan kini anak-anak kecil itu pun turut menganggap remeh diriku.