ZAHRA
Kau tidak perlu menjelaskan.
Kita semua tau apa yang terjadi di sini, kita semua tau.
Hanya saja, ku harap kau tidak lagi melaukan hal itu,
Cukup aku yang tersakiti, cukup aku…
*sepenggal surat kecil untuk – takdir*
Brak.
Tubuhku ambruk begitu saja ketika pintu kafe itu tertutup di belakang punggungnya. Hilang sudah seluruh kekuatanku, hilang sudah… Air mataku perlahan menetes, membanjiri setiap relung hatiku yang terasa begitu pedih. Aku menangis sesenggukan di kursiku, entah menangisi apa, namun jelas semuanya terasa begitu menyakitkan.
“Zahra… sst… tenanglah…” bisik Risa di sampingku. Ia meraih pundakku, menahanku agar tetap tegar. Hanna menggenggam jemariku, sedang Andhini membelai bahuku. Aku tau mereka semua berada di balik konter kasir sejak tadi, aku yang meminta mereka untuk datang. Dan itu membuatku sedikit merasa tenang.
“Aku melakukan hal yang benar, bukan?” tanyaku perih ditengah isakanku. Risa mempererat rangkulannya, mengucapkan beberapa kata yang menenangkan. Namun suara hujan itu terlalu deras, membuatku tidak bisa mendengar apapun kecuali kesunyian dan rasa perih itu.
“Zahra…” bisik Hanna, air matanya perlahan menetes.
“Ya Allah… bunuh saja aku, bunuh aku…!!”
“Zahra istigfar, kau tidak boleh berkata demikian…”
Mungkin aku memang tidak boleh berkata demikian, tapi aku tidak memiliki doa lain yang ingin ku katakan, tidak ada satu permintaanpun yang ingin ku utarakan, kecuali kematian itu.
Maafkan aku, maafkan aku karena berkata demikian. Kau tidak tau bagaimana perihnya itu. kau tidak pernah tau. Kau benar, aku mencintaimu, kau adalah pria teristimewa, yang dengan mudahnya memutar balikan hidupku. Membuat semuanya kembali berwarna. Kau adalah pria itu.
Aku mencintaimu, bahkan meski kau melarangku, aku tidak bisa berhenti mencintaimu. Setiap hal dari dirimu membuatku bertekuk lutut pada rasa yang selalu ku hindari. Semuanya, tanpa terkecuali.
Melihatmu terluka, menangis seperti itu, adalah hal yang tidak pernah terlintas dalam benakku. Kau tidak pernah tau bagaimana kata-kata itu juga menyakiti hatiku. Membunuh jiwaku. Maafkan aku, tapi hanya dengan ini aku bisa membuatmu berhenti di sini. Aku tau kau mencintaiku, aku tau. Dan aku berterima kasih atas hal itu. Tapi kisah kita hanya sampai di sini. Maafkan aku.
***
“Kau bisa ikut denganku.” Ujar Andhini ketika hari menjelang sore. Setelah puas menangis lima jam tanpa henti, akhirnya kini aku bisa lebih tenang. Kami masih duduk di kursi yang sama. Masih dengan cangkir yang sama sejak beberapa jam yang lalu, masih dengan luka yang sama.
Aku menggeleng dan tersenyum tipis kepadanya. “Kau sedang dipingit bodoh, aku baik-baik saja. Justru hari ini aku merasa benar-benar tidak enak kepadamu karena membuatmu merusak acara pingitan itu.”
“Jangan bodoh! Ketika kau seperti ini, meski itu adalah hari pernikahanku, aku pasti akan menemanimu.”
“Terima kasih,” bisikku tulus. “Tapi aku akan baik-baik saja. Lagi pula aku sudah puas menangis. Aku hanya membutuhkan sedikit waktu saja, lalu aku akan baik-baik saja seperti sedia kala. Kalian tau siapa aku, kan? Aku bukan gadis selemah itu. tapi terima kasih banyak atas hari ini, kalian benar-benar membuatku merasa lebih baik.”