Pelangi Hitam Putih -26- Raihan

737 24 0
                                    

RAIHAN

BRUK!

“Dia yang kau inginkan!” teriakan itu menyadarkanku. Aku mengerjap beberapa kali untuk menjernihkan pandanganku, mencoba memandang sosok yang kini terbaring lemah di lantai, tidak jauh dari tempatku terikat. Mataku terbelalak lebar ketika menyadari siapa gadis itu. Aku meronta-ronta dalam ikatan itu, mencoba berteriak sekuat tenaga, meski pada akhirnya yang keluar dari mulutku yang disumpal hanya sebuah suara-suara samar.

Lucky melirik sinis kepadaku, kemudian berpaling kepada sosok lain di belakangku. Sosok yang kini terbujur lemah tak berdaya. Terikat sama sepertiku. Ia menggeleng perlahan sambil terus menangis.

“Lepaskan adikku! Kau salah menangkap orang, bukan Christine yang dicintainya. Tapi gadis ini!”

Tepat pada saat itu Zahra membuka matanya. Sejenak aku mendesah lega ketika menyadari bahwa gadis itu masih hidup. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian mencengkram kepalanya, mungkin berusaha meraih kesadarannya. Aku sangat merindukan gadis itu. Gadis angkuh yang tidak pernah bisa membuatku berhenti memikirkannya. Melihatnya di saat-saat terakhir sebelum aku mati adalah impianku yang muncul sejak beberapa saat yang lalu. Namun kini, ketika menyadari betapa bahayanya keberadaannya di sini, aku mulai mengutuki do’aku. Aku ingin memintanya untuk segera lari keluar dari gudang ini. Aku tidak ingin mereka semua mengenalinya, kemudian mengincarnya.

Aku melirik gerombolan berkemeja hitam di sebelah kananku, mungkin mereka berjumlah belasan, aku tidak terlalu yakin. Mereka berdiri tepat di belakang seorang pria yang lebih tua. Lima orang di antara mereka mengangkat senapannya tepat kepadaku, sedangkan yang lainnya membidik Lucky dan Zahra.

Aku berteriak kalut ketika melihat Zahra berdiri dengan susah payah. Penembak-penembak itu semakin memfokuskan sasaran bidikan mereka. Dan aku tau, satu tembakan saja, maka aku akan mati. Bukan hanya dia, tapi aku. Bahkan mungkin sakit yang ku rasakan akan lebih perih jika di bandingkan dengan sakitnya.

Gadis itu menatapku dengan pandangan tidak percaya, kemudian air mata mulai mengalir dari kedua pelupuk matanya yang indah. Aku bisa merasakan kepedihan dan ketakutan dari tatapannya, dan bahkan rasa rindu yang tersembunyi dengan rapat itu pun mulai terlihat. Aku menatap pasrah wajah cantiknya, mencoba mengutarakan kata maaf atas apa yang kini terjadi kepadanya.

Aku membenci diriku. Ya, semua orang membenci diriku. Ibu dan kakek membenciku karena seluruh ketololan yang telah membuat ibu masih terbujur lemah di rumah sakit; Anna dan Raka jelas membenciku karena sudah melibatkan putri mereka dan anak-anak berprestasi itu  menjadi bayaran untuk apa yang sudah ku dapatkan dari kelompok itu, memanfaatkan mereka sebagai senjata untuk menghancurkan kakekku sendiri; Bahkan kini Lucky juga membenciku karena pada akhirnya ia tau, aku tidak akan pernah bisa kembali mencintai adiknya seperti dulu, dan malah membahayakannya seperti ini.

Aku menggeleng keras ketika Zahra berjalan mendekatiku dan Christine. Tidak, dia tidak boleh terlibat. Ia harus tetap hidup!

Bidikan senapan itu tampak semakin nyata, tak terlihat namun jelas terasa. Mengunci seluruh udara hingga membuatku sesak karena takut. Aku tidak pernah takut pada kematian, tapi melihat mereka semua membidik wanita yang paling ku cintai, membuat hatiku merasakan takut yang teramat sangat. Seakan mereka sedang mencengkram jantungku, dan siap menariknya kapanpun bila aku bergerak sedikit saja.

Aku mulai berteriak-teriak  semakin gila, merasakan sebuah kekalahan yang sangat nyata. Aku sangat mencintainya, dan kini aku hanya membahayakannya, aku bahkan tidak bisa menjaganya. Yang ku lakukan hanya menebar perih di kehidupannya. Maafkan aku…

Aku terus memintanya untuk lari, dan pergi. Namun gadis itu tidak bergeming, ia malah berjalan semakin mendekat, kemudian dengan perlahan menoleh pada sosok tua yang kini tampak begitu pucat.

“Kakek…” bisiknya teramat pelan. 

Pelangi Hitam PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang