RAIHAN
PRANG.
Mataku menyipit waspada ketika mendengar suara barang pecah itu. Dengan cepat aku menoleh kearah asal suara itu, dan mendapati ibuku berdiri di depan rak hitam yang memajang berbagai foto keluarga kami. Sebuah bingkai berwarna hitam jatuh berantakan di depan kakinya. Matanya nanar menatap foto itu, tubuhnya bergetar entah mengapa. Aku meraih foto itu dan membersihkannya dari pecahan kaca.
“Ibu…” panggilku pelan. Ibu menoleh dengan mata berkaca-kaca, membuatku kembali diliputi rasa bingung. “Ibu aku akan baik-baik saja,” ujarku menenangkan.
Ibu merengkuh wajahku dengan kedua tangannya yang hangat, menatap kedua mataku dengan pandangannya yang menyejukan, namun jelas penuh kecemasan. “Berjanjilah kau akan baik-baik saja.. berjanjilah Raihan. Kau putra ibu satu-satunya, harta terbesar ibu… berjanjilah.”
“Ibu…” bisikku sedikit risih. “Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Aku hanya ingin ibu menjaga diri ibu sendiri. Aku ingin ibu dan kakek lebih berhati-hati. Aku akan baik-baik saja. Aku bisa melindungi diriku sendiri, dan aku juga akan melindungi Zahra bagaimanapun caranya.”
Ibu mengangguk membuat air matanya kembali menetes. “Ibu percaya padamu.” Ujarnya penuh keyakinan, dan aku merasa sudah cukup mendapatkan amunisi untuk diriku sendiri.
“Ibu maafkan aku…”
“Kau tidak pernah melakukan kesalahan sayang. Pergilah, jemput Zahra, lindungi ia. Kau tidak perlu mencemaskan ibu dan kakek.” Ibu memelukku erat, membuat bulir-bulir semangatku kembali terisi penuh. Membuatku kembali yakin pada apa yang ku lakukan. Sekali lagi aku membalas pelukan ibu dengan sangat erat, kemudian mengangguk santun pada sosok kakek yang berdiri di ambang pintu dengan David. Kakek menepuk pundakku perlahan, dan tersenyum ramah.
“Semuanya akan baik-baik saja kek.” Bisikku.
“Kakek tau, sampaikan salam kakek pada Zahra dan yang lainnya. Kakek akan segera menyusul.” Aku mengangguk dan berjalan melewati kakek menuju mobilku.
***
Sudah tujuh toko bunga yang kudatangi, namun aku masih belum bisa menemukan bunga tulip yang diinginkan Zahra. Aku tidak ingin menyerah, namun aku benar-benar merindukan gadis itu. Ah, dia pasti mengerti jika aku tidak membawa bunga yang diinginkannya. toh yang terpenting sekarang adalah keselamatannya. Aku mengangguk setuju ketika pelayan di toko bunga terakhir yang ku datangi menunjukan bunga lily, Zahra pasti menyukainya.
Senyumanku akan kembali terukir jelas setiap kali aku memikirkan gadis itu, memikirkan tingkah lakunya yang keras kepala namun terasa begitu manis, begitu mempesona. Gadisku, belahan jiwaku, satu-satunya sosok yang membuatku tak berkutik.
“Saya senang melihat tuan muda yang seperti ini…” ujar David tiba-tiba. Aku mengernyit, menatap matanya dari kaca spion. “Rasanya seperti kembali ke beberapa tahun yang lalu, ketika nona Christine masih bersama kita.” Tambahnya. Tubuhku menegang ketika mendengar nama itu. “Tapi kali ini cahaya yang terpancar lebih indah.”
Aku menatap lily-lily itu dengan pandangan nanar. Itu adalah bunga kesukaan Christine, satu-satunya bunga yang ku anggap indah. Seindah sosok lemah lembut itu. “Kurasa kita harus membeli bunga lain.” Ujarku pelan. Namun David tidak membawaku ke toko bunga yang lain. Dan aku sama sekali tidak mengatakan apapun lagi, hanya terdiam sambil terus memandang kelopak putih sang lily.
***
Aku menghentikan langkahku ketika sampai di pintu gerbang panti. Hatiku mulai merasakan kelegaan yang luar biasa, aku bahkan hampir sesak kehabisan nafas karena merasa terlalu bahagia. Ku genggam erat-erat buket lily di tangan kiriku, senyuman itu kini benar-benar terukir dengan alasan yang pasti. Sosok itu, sosok cantik yang tengah berdiri di ambang pintu itu adalah satu-satunya alasanku untuk tetap bertahan. Aku tersenyum sambil terus memandangnya, kemudian dengan perlahan bangun dari kursi rodaku. Berdiri diatas kedua kakiku.
Mata indahnya melebar ketika aku melangkah tertatih kearahnya, ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Menangis terharu menatapku. Andai saja aku lebih kuat, mungkin kini aku sudah bisa berlari dan memeluknya, namun aku baru melakukan terapi beberapa kali, hingga otot-ototku masih terlalu keras jika harus dibawa berlari.
Tubuhku mendadak kaku ketika menangkap pandangan Zahra kearah buket lily yang ku bawa. Pada awalnya ia terlihat sedikit terkejut, kemudian tampak terguncang, lalu tertunduk sedih. Aku mulai merasa kesal kepada diriku sendiri yang tidak terus berusaha mencari bunga yang ia inginkan. Kemudian sosok cantik itu berbalik, masuk ke gedung panti tanpa berkata apapun. Aku berjalan tertatih mengikutinya memasuki ruang tamu. Zahra menghentikan langkahnya ketika aku sampai di ambang pintu, kemudian menoleh. Aku tersentak kaget ketika melihat luka di kedua matanya, tangis itu bukan lagi sebuah tangis haru, tapi tangis itu tampak lebih menyakitkan dari pada tangis yang ku lihat beberapa tahun lalu. Tangis yang mampu meluluhkan seluruh jiwaku.
Aku mengulurkan tanganku untuk meraihnya, menanyakan ada apa, dan memeluknya. Namun Zahra tidak bergerak mendekat atau menjauh. Ia tetap berdiri diam di tempatnya, memandang perih kepadaku, menyatakan kata ‘menyerah’ yang tak terdengar. Aku mengernyit tidak mengerti.
“Aldi??” panggilan itu begitu lembut. Hingga sejenak ku pikir itu hanya laga hembusan angin yang mempermainkanku. Tapi air mata gadis itu membuatku takut. Aku tidak ingin melepaskan pandanganku darinya, aku bahkan tidak ingin berkedip, khawatir ketika aku membuka mata nanti sosok cantiknya akan menghilang. “Aldi… kau kah itu??”
Zahra memalingkan wajahnya, tersenyum sarkastis kepada dirinya sendiri. “Aldi…” panggilan itu kembali menggelitikku. Dengan perlahan aku menolehkan kepalaku ke asal suara itu, dan terpaku di sana. Tersentak oleh detak jantungku yang sejenak berhenti. Aku mulai merasa kehabisan udara, otakku pening, tubuhku lemas. Namun aku tidak bisa berhenti berpikir. Dengan cepat sel-sel otakku mulai mencerna apa yang di pandang oleh kedua mataku. Menyatukan gambar-gambar masa lalu, membuka berkas-berkas kenangan yang sudah lama ku buang dalam-dalam, mengorek luka yang baru saja mengering.
“Christine… Amanda Christine??” bisikku tidak percaya, sebagian diriku mulai menertawakan kewarasanku yang masih belum bisa melupakan gadis itu, namun sebagian yang lain mulai merasakan perih yang entah dari mana datangnya.
Aku masih sangat mengingatnya, sosok lemah lembut yang menjadi satu-satunya gadis yang mampu membuatku dimabuk karena cinta. Gadis yang mampu mengubah duniaku, membuatku begitu kuat dan rapuh pada waktu yang bersamaan, gadis yang membuat diriku seperti saat ini. Namun sosok cantik itu sedikit berbeda dengan sosok Amanda Christine yang ku kenal, sosok lugu yang lemah lembut. Ia masih tampak sangat cantik, dengan tatapan lembut yang menyejukan, yang membuat siapapun luluh di hadapannya.
Gadis cantik berkerudung abu-abu itu berjalan mendekat. Ia melirik buket lily di tanganku sekilas, kemudian tersenyum tipis. Wajah cantiknya tampak begitu lelah menghadapi hidup. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajahku. Tubuhku menegang kaku ketika merasakan sentuhan tangannya yang dingin. Ini seperti mimpi. Melihat mata indahnya kembali terbuka, berbinar penuh air mata, wajah cantiknya yang lembut, senyumannya yang menawan. Ini adalah mimpiku, tapi mimpi beberapa tahun yang lalu… mimpi yang kerap ku harapkan menjadi nyata sebelum hari ini.
“Kau masih hidup…” tanyanya tidak percaya. Aku tidak mampu menjawab. Tubuhku sudah terlalu lelah untuk sekedar mengangguk. Terlebih jantungku kini sudah jatuh begitu saja, tepat ketika sosok cantik di sebrang ruang tamu itu berpaling dan berlari pergi.
***