ZAHRA
“Kakek…” bisikku pelan. Terguncang oleh seluruh luka itu. “Kakek…” ulangku perih, kini aku tidak lagi bisa menyembunyikan apapun. Aku lelah, jiwa dan raga. Aku memandang sosok tua itu tanpa berkedip, berusaha menjaga air mataku tetap diam tergenang di sana, tak menetes sedikitpun. Entah sudah berapa lama aku tidak melihat sosoknya, mungkin seribu tahun lamanya. Karena saat ini, ketika akhirnya aku menatap wajah itu, aku merasakan rindu yang teramat sangat di dalam dadaku. “Aku merindukan kakek… sangat merindukan kakek…” tambahku. Dan itu benar adanya. Rasa rindu itu sangat besar untuknya, membuatku hampir saja mati karena perasaanku sendiri.
Aku merindukan seluruh kehangatannya, dekapan eratnya, belaian lembutnya, bahkan canda tuanya yang tak pernah bisa ku mengerti. Tapi ia sudah lama menghilang, hingga serindu apapun ayah pada kakek, kami hanya bisa melihat rekaman candanya dari video-video milik ayah. Ayah selalu berkata bahwa ia sudah berubah, tapi di mataku… ia tetap sama, tetap menjadi kakek yang paling ku sayangi… ku rindukan, sampai saat ini…
Tapi pria itu tidak bergeming. Ia hanya menatapku tanpa berkata-kata. “Aku kehilangan semuanya kek. Ayah dan bunda sudah meninggalkanku. Aku sendirian. Selama ini aku selalu berharap bahwa suatu saat nanti kakek akan mencariku, menjemputku, menawarkanku kehangatan yang lain. Bahkan sampai saat ini aku masih menyimpan harap itu. Aku sebatang kara kek…” isakku. “Dan aku terluka…”
“Maafkan kakek, Zahra…” bisiknya lembut.
“Kakek mengenaliku…” gumamku pelan, “Aku sudah memaafkan kakek. Sudah sejak awal. Aku tau kakek menyayangiku, hanya saja kakek terlalu sibuk hingga tidak bisa mencariku, tapi aku sudah memaafkan kakek untuk itu. Aku sendirian kek, bagaimana mungkin aku bisa membenci satu-satunya keluargaku. Sejak kecil, aku tidak pernah berhenti mengagumi kakek. Aku mencintai kakek.” Aku menyeka air mataku dengan punggung tanganku. Berharap bisa menghapus perih yang menghimpit dadaku semudah itu. “Aku bahkan tidak pernah membenci kakek karena telah membuat ayah dan bundaku pergi.”
Kakek tampak tersentak mendengar perkataanku. Mata tuanya memandangku dengan tatapan perih, namun ia tidak mengelak. “Aku tau apa yang terjadi. Tapi aku tidak ingin mengungkitnya. Aku takut, jika kakek masuk penjara, maka aku akan benar-benar sendirian. Maka harapanku untuk merasakan kehangatan itu akan menghilang, lenyap dibalik sirine mobil polisi. Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku takut kehilangan kakek…
“Tapi hari ini. semuanya berubah. Kakek… pria ini…” aku mengulurkan tanganku yang gemetar untuk menunjuk Raihan, “Pria ini, Pria yang akan mati kapan saja kakek menganggukan kepala kakek, adalah pria yang paling ku cintai. Satu-satunya pria yang membuatku ingin terus bertahan untuk tetap hidup. Dia bukan pria yang baik, memang bukan. Ia melakukan banyak kesalahan. Banyak sekali, hingga aku lelah menghitungnya, tapi dia mencintaiku apa adanya. Membuatku merasa seperti seorang putri, merasa dicintai. Merasa kembali memiliki alasan untuk hidup.
“Aku sudah mengalami berbagai kepahitan hidup kek. Berkali-kali tercampakan oleh cinta dan takdir, dipermainkan sedemikian kerasnya oleh hidup. Dan dia satu-satunya yang bersedia merangkulku, menawarkanku cinta yang lain. Aku lelah jatuh cinta kek. Tapi ketika bersamanya, rasa itu muncul begitu saja. Begitu manis… begitu mempesona…
“Jika kakek ingin membunuhnya, maka perintahkan mereka juga untuk membunuhku…”
“Zahra!”
“Kakek tega membunuh kedua orang tuaku, maka membunuhku tidak akan menjadi hal yang sulit, bukan?” air mataku perlahan menetes, namun kini gemuruh hatiku sudah mulai lebih tenang. “Aku kesepian kek. Sebanyak apapun aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja, tapi itu sama sekali tidak benar. Aku terluka luar dan dalam. Aku tidak pernah tau apa itu arti kata bahagia. Selalu hujan dan hujan yang ku temui, dan ketika matahari kembali hadir untuk menciptakan pelangi, Tuhan selalu menariknya kembali.
“Bersama pria ini, aku banyak belajar tentang kehidupan, tentang kegigihan, tentang cinta, tentang rasa sakit, tentang kerinduan. Ia tidak seperti pria lain yang menjanjikanku pelangi berwarna indah. Ia hanya sosok yang menawarkanku sebuah pelangi hitam putih yang penuh kesunyian. Tapi karena itulah aku mencintainya, karena di balik pelangi hitam putih yang dibawanya aku bisa merasakan berjuta warna kemilau yang tidak akan bisa ku temukan dengan sosok lain.
“Hidup dan matiku hanya sekedar wacana kek… cepat atau lambat…” bisikku seraya terus maju mendekati Raihan yang tidak lagi meronta. Aku tersenyum tipis ketika melihat tatapan matanya yang penuh cinta. Ah… pria angkuh ini memang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Aku mencintainya ya Allah…
“Zahra! berhenti di sana. Kau tidak boleh mendekat. Ada bom yang tertanam di sekeliling mereka!” teriaknya. Aku menoleh pada kakekku dengan cepat, merasakan perih yang teramat sangat. Namun aku tidak takut sama sekali. Disinilah tempatku, di samping pria yang ku cintai. Jika Tuhan harus mencabut nyawaku, maka inilah tempat yang ku inginkan. Tepat berada bersamanya.
Aku menatap Raihan dengan pandangan yang menyiratkan seluruh kerinduanku. “Aku mencintaimu.” Bisikku pelan. Kemudian berpaling pada Christine, “Maafkan kami…” bisikku tulus. Gadis itu mengangguk pelan, aku tidak bisa melihat jelas mimik wajahnya yang juga di sumpal kain hitam. Namun aku yakin kini ia tengah tersenyum manis, menyerahkan diri pada seluruh takdir Allah.
Mungkin saat ini kami akan mati, mungkin semuanya akan selesai di sini, tapi aku tidak lagi menyesali semuanya, tidak ingin. Begitu banyak kesalahan yang sudah ku perbuat, dan kini, di detik-detik kehidupanku, aku tidak ingin menambah kepingan dosaku.
Aku gadis yang keras kepala, aku tau, yang entah bagaimana selalu menutup diri dari kisah indah yang digoreskan Tuhan untukku. Aku sudah banyak menyakiti berbagai hati, hingga meski aku mengabdikan diriku untuk mengucapkan beribu kata maaf sekalipun, kesalahanku tidak akan pernah terhapuskan. Aku mencintai mereka semua, aku mencintai orang-orang yang selama ini berada di sekelilingku. Dan aku harap mereka tau itu. Bibi, ayah, bunda, Anna, Raka, Arya, Amy, Andhini, Risa, Hanna, kakek Darmawan, tante Luna, Aisyah, Anisa, anak-anak panti itu… bahkan Raihan…
Aku harap mereka tau betapa aku sangat mencintai mereka.
Aku mencengkram pundak Raihan dengan sangat erat, kemudian memejamkan mataku sendiri. Tepat sebelum aku mendengar sebuah suara dentuman yang sangat besar. Lalu semuanya hilang, penuh kabut dan asap.
Innalillahi wa inailaihi rajiun… hamba ikhlas ya Allah…