ZAHRA
CINTA-MASA LALU-HIDUP BAHAGIA... Itu adalah tiga kata yang terus berputar-putar di dalam benakku. Aku mempercayai tentang cinta sejati, bukankah sudah tertulis dengan jelas di dalam Al-Qur’an, jika manusia diciptakan secara berpasang-pasangan, jadi untuk apa aku kembali mempertanyakannya.
Di samping itu aku juga sudah melihat kisah cinta sejati yang begitu indah, meskipun saat itu aku tidak terlalu memperdulikannya. Tapi setidaknya, cinta orang tuaku tidak pernah menghilang, bahkan hingga akhirnya mereka meninggal karena kecelakaan tragis beberapa tahun yang lalu. Hanya saja, sekali lagi, aku pikir semua cinta itu akan berakhir indah, mungkin yang paling buruk adalah ketika akhirnya sepasang kekasih itu mati, dan meninggalkan kenangan cinta mereka di dunia ini. Tapi toh, mereka akan tetap bersama di surga nanti. Aku hanya belum memikirkan kemungkinan tentang cinta yang tidak pernah tersampaikan. Cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Aku memang bukan sosok yang popular semasa SMP dan SMA, namun aku tidak pernah sampai harus mengemis cinta pada pemuda manapun. Aku adalah gadis yang keras kepala, yang menganggap bahwa cinta itu hanyalah sebuah bagian remaja yang ke kanak-kanakan. Aku memang pernah berpacaran dengan beberapa siswa, namun itu hanya sebuah permaian bagiku. Tidak lebih. Aku menikmatinya seperti aku menikmati permainan game di handphoneku. Dan ketika, sebagian besar siswi kelasku menangisi kisah cinta monyet mereka, aku malah sibuk dengan segudang ekstrakulikuler yang ku ikuti selama ini. Mungkin tidak salah jika aku mendapat julukan gadis dingin semasa SMA. Tapi itu sama sekali tidak menjamin, bahwa sepanjang hidupku, selama nafasku berhembus, aku tidak akan pernah menangis karena cinta itu, karena pada akhirnya, siapapun bisa melihat air mata menjijikan tentang kisah cinta yang tak pernah termiliki.
“Kak Zahra!!” teriakan itu menghentakan tubuhku, cengkraman Raihan yang sempat mengendur di tanganku kini benar-benar menghilang. Aku tidak ingin menahan tangannya tetap menggenggam tanganku, aku tidak berhak. Tapi ketika ia melepaskannya, aku mulai merasa takut, terlebih ketika aku menyadari bahwa aku sendirian.
Tangan kecil Aisah terbuka lebar, menawarkan sebuah pelukan hangat. Aku turut membuka lebar tanganku, jatuh di atas lututku ketika akhirnya tubuh mungil gadis itu sampai ke pelukanku. Aisah membenamkan kepalanya di balik bahuku, memeluk tubuhku dengan sangat erat, dan saat itulah aku merasa kehilangan semuanya, kehilangan hidupku.
Tangisan gadis itu sama sekali tidak mengalahkan isakkanku. Air mataku terus menetes di pundaknya, membuat bulatan-bulatan kecil di kerudung ungu muda yang dikenakannya.
Aku ingin bahagia… aku ingin tersenyum untuk saat ini, dan seharusnya aku memang tersenyum, seharusnya aku berbahagia ketika melihat bahwa pria itu kini bahagia bersama cinta sejatinya, jodoh yang dituliskan oleh sang khalik untuknya. Tapi nyatanya hanya air mata itu yang menghiasi hariku, hanya kegelapan yang kini menyelimutiku. Tapi aku tidak bisa membiarkan siapapun melihat luka itu, sederas apapun air mataku menetes. Aku akan menunjukan bahwa aku baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja, aku harus…
Keningku sedikit berkerut ketika merasakan isakan Aisah terasa begitu menyakitkan. Ia menangis tergugu di pundakku, jemari kecilnya mencengkram kerudungku dengan sangat keras, menunjukan luka yang selama ini ia simpan, dan sejujurnya hal itu membuat otakku bertanya-tanya. Aku mengangkat wajahku ketika melihat sosok lain keluar dari dalam mobil. Seorang wanita dengan gamis putih yang berhiaskan gambar-gambar angsa kecil di bagian kirinya. Seorang wanita yang menautkan kedua tangannya dalam kegelisahan. Seorang wanita yang terlihat begitu ketakutan namun tampak tengah berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikannya.
Aku mengangkat tubuh mungil Aisah dalam dekapanku, menggendongnya seakan dia hanya sosok gadis berumur lima tahun yang tengah menangis karena kehilangan boneka kesayangannya. Kemudian dengan perlahan aku melangkah mundur, membenamkan wajahku ke jilbab gadis kecil itu dan akhirnya berjalan masuk ke dalam gedung utama panti yang kosong.