ZAHRA
“Zahra ada apa?” Tanya bibi ketika melihatku berjalan mengitari ruang tamu untuk yang kesekian kalinya. Aku memutar-mutar ponsel di tanganku dengan perasaan tidak sabar. Kemudian setelah lelah berseteru dengan perasaan bingung itu, aku duduk di samping bibi. Bibi menatapku dengan kening berkerut, menungguku berbicara.
“Pak Surya tidak bisa datang hari ini. Padahal beliau sudah menjanjikan tanaman baru pada anak-anak.” Keluhku. Bibi termenung sejenak, mencoba memikirkan solusi untuk keluhanku. “Aku sudah kehabisan ide tentang apa yang akan kami lakukan hari ini bi…”
“Bagaimana kalau kau memutarkan film documenter itu lagi?”
“Kami sudah menontonnya minggu kemarin,”
“Membuat kerajinan dari flannel?”
“Anak putra selalu mengeluh, ini pekerjaan putri, dan mereka enggan melakukannya.”
Bibi kembali terdiam sejenak. “Bagaimana kalau kau menyuruh anak putra untuk membuat kerajian dari bubur kertas. Kita memiliki banyak Koran tidak terpakai.” Usul bibi. Aku mengerutkan keningku, bingung. Biasanya kerajian tangan adalah keahlian Amy, dan kini gadis itu belum juga kembali. Hm… aku mulai merindukan keberadaannya. “Sepertinya Amy menyimpan buku tentang pembuatan bubur kertas di kamarnya.” Ujar bibi. akhirnya aku mengangguk setuju kemudian beranjak ke kamar gadis itu. Sebelum memasuki kamar Amy, aku sempat melihat sosok Raihan yang tengah memandangku dengan kening yang berkerut. Aku memalingkan wajahku, tidak memperdulikannya.
Pagi itu, setelah sarapan aku mengumpulkan seluruh penghuni panti, dan membicarakan rencana kami di hari libur kali ini. “Tapi pak Surya bilang kita akan menanam tumbuhan baru hari ini…” protes Angga, bocah kritis yang duduk di kelas 6 ketika aku mengatakan pada mereka bahwa kami akan membuat kerajian tangan hari ini. Aku tersenyum kikuk dan melirik bibi, memohon bantuan.
“Assalamualaikum!” salam lantang Aisah sontak mengalihkan focus anak-anak itu untuk sesaat, dan aku benar-benar merasa bersyukur karenanya.
“Walaikum salam Aisah,” balasku sambil tersenyum tulus. Gadis kecil itu mencium punggung tanganku kemudian berjalan memasuki ruang kelas yang sudah beberapa bulan terakhir kami alih fungsikan menjadi ruang pertemuan. Ruangan itu kosong, dengan hanya sebuah papan tulis yang tertempel di belakangku. Seluruh penghuni panti duduk bersila di atas lantai, bahkan ummi pun ada di sana. Raihan duduk tidak jauh dari pintu masuk. Ia tersenyum lebar ketika Aisah menghampirinya dengan sekantung apel.
“Ini untuk paman,” ujarnya riang.
“Terima kasih,” balas Raihan.
Tak lama kemudian Raka menyusul masuk dengan membawa sepeti apel dan meletakannya di bagian depan kelas. Aku melongo menatapnya, samar-samar aku bisa mendengar decakan tidak percaya dari sosok-sosok kecil di hadapanku.
“Assalamualaikum semuanya, ini kakak bawakan apel untuk kalian semua.” Ujar Raka. Ruangan itu langsung di penuhi sorak sorai. Aku merasa hatiku mulai meleleh ketika melihat sosok tampan Raka yang tengah tersenyum pada sosok-sosok riang di hadapan kami. Pandangannya yang menyejukan mampu kembali membuaiku untuk berlama-lama berada di dalam bayang-bayang pandangannya.
Dengan santai Raka membagi-bagikan buah apel itu ke semua orang di bantu oleh Aisah dan Anisa. Aku tidak bisa menggambarkannya dengan kata-kata, namun pemandangan itu benar-benar membuat tubuhku membeku, terpesona dalam keindahan ciptaan Tuhan. Dengan perlahan aku mengulurkan tanganku, ingin menyentuh sosok tampannya. Menyentuh wajah kokohnya. Merasakan kehangatan dan kebaikannya.
“kak Zahra…” panggilan itu mengejutkanku, menarikku kembali ke dunia nyata yang sejenak ingin ku hindari. Aku mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan fokusku. Sosok mungil Aisah sudah berdiri di hadapanku. Tangan mungilnya membawa sebuah apel berwarna merah sempurna. Wajahnya sedikit berkerut keheranan.