Pelangi Hitam Putih -11-

747 24 0
                                    

ZAHRA

Aku menghela nafas panjang ketika melihat langit kembali terang setelah beberapa saat yang lalu mendung sempat menyelimuti langit pagi itu. Aku tidak pernah menyukai hujan, tidak sama sekali. Hujan selalu meninggalkan jejak lumpur yang menjengkelkan. Namun aku menyukai pelangi, dan aku sadar pelangi itu tidak akan pernah hadir tanpa hujan. Hujan dan pelangi, ah kata klise yang terdengar manis, hujan dengan kekelaman dan lukanya, pelangi dengan warna dan keceriannya.

“Zahra!!!” aku menutup telingaku ketika mendengar teriakan itu. Baru saja aku akan membaca kitab yang sedari tadi memang sudah terbuka lebar di hadapanku, namun teman ‘sepuluh’ ku, andhini dan Hanna, sudah merusak segalanya. Mereka berlari menerubus keramaian kelas kami, dan langsung menjatuhkan diri mereka masing-masing di kursi kosong sekitar kursiku. Aku mengernyit sambil menatap mereka.

“Apa?” tudingku kesal. Hanna memegang dadanya yang tampak masih kesulitan bernafas setelah berlari dari lift sampai ke kelas. Andhini menyeringai lebar sambil menatap wajahku lekat-lekat.

“Mengapa kau tidak pernah mengatakan bahwa dia adalah pangeran kaya raya?!!!” pekik Andhini sambil mengangkat majalah yang ia bawa. Aku mengerutkan keningku tidak mengerti. Siapa yang sedang mereka maksudkan?

“Astaga!! Dia benar-benar sempurna… tampan, dan kaya raya! Kau benar-benar beruntung.” Hanna turut menimpali dengan mata berbinar.

“Tunggu, siapa yang kalian maksud?” tanyaku bingung. Seringaian Andhini mencibir kemudian menunjukan majalah yang di bawanya ke hadapanku.

“Reynaldi dia pangeran yang selalu memaksamu untuk pulang bersamamu kan?!” Andhini menunjuk-nunjuk sebuah foto besar di halaman muka majalah itu. Aku mengernyit dan memalingkan wajahku, merasa jengah dengan apa yang ada di hadapanku. “Kau sangat beruntung…” desisnya tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari majalah itu.

Aku tersenyum sarkastis. “Yang beruntung itu adalah orang-orang yang bisa bersama dengan orang yang dicintainya.” Gumamku pelan, mataku nanar menatap lapangan parkir dari balik jendela kelasku di lantai lima. Andhini memalingkan wajahnya kemudian menarik kursi di sampingku tanpa berkata-kata lagi. Ia mendesah lelah kemudian menyibukan diri dengan majalah yang di bawanya. Gadis yang begitu mudah terpengaruh keadaan.

Hanna meringis menatapku dan Andhini. Ia menarik sebuah kursi di dekatnya dan membalikannya hingga menghadap kami. “Kalau begitu cobalah mencintainya Zahra! Ia adalah pangeran modern, pria yang digila-gilai banyak wanita. Dan hebatnya dia malah MENCINTAIMU!!” tutur Hanna dengan mata berbinar.

“Dia tidak mencintaiku-“

“Hanya orang bodoh yang tidak melihat cintanya kepadamu.” Andhini menimpali dengan gemas. Aku mendengus tak percaya. “Dan mungkin kau memang satu-satunya orang bodoh di sini. Kau pikir untuk apa dia melakukan perjalanan sejauh itu untuk hanya menjemputmu selama ini?!”

“Oke. Oke! Mungkin aku memang bodoh. Mungkin kalian benar, dia mungkin memiliki rasa untukku. Tapi aku sama sekali tidak mencintainya!”

“Zahra, bisakah kau tidak menyia-nyiakan orang yang mencintaimu?!” bentak Andhini, ia menutup majalahnya dengan keras. Kedua mata indahnya menatap tajam mataku.

“Aku…”

“Ini seperti kau harus memilih antara mencintai dan dicintai.” Tutur Hanna lebih lembut. Ia menggenggam tanganku dengan perlahan. Kata-katanya membuatku berpikir sejenak, dan anganku langsung menghampiri sosok yang paling ku cintai. “Tapi akan lebih mudah jika kau hidup dengan orang yang mencintaimu,” tambahnya.

“Aku ingin hubungan yang saling mencintai, bukan dicintai atau mencintai secara sepihak.” Bisikku perih.

“Sakit bukan?!” Tanya Andhini sinis. Aku menatap tidak mengerti kepadanya. “Sakit bukan, ketika kau mencintai seseorang secara sepihak?” ia tersenyum tipis, nada ketus dan mencibir dari suaranya membuatku curiga. “Kau sudah merasakannya bagaimana sakitnya, lalu mengapa sekarang kau malah membiarkan orang lain merasakan sakit itu?!”

Pelangi Hitam PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang