RAIHAN
Tubuhku bergetar hebat ketika akhirnya aku bisa kembali menemukan udara itu. Namun kini, rasanya bahkan bernafas-pun membuat jiwa ragaku begitu perih. Aku tidak yakin dengan alasan kemarahan Arya malam itu. Mungkin karena Christine, atau karena cinta, atau karena merasa terkalahkan. Aku tidak yakin. Bahkan perih yang ditimbulkan oleh pukulannya pun tak lagi terasa. Kepalaku sudah terlalu pening ketika sampai dipanti, kemudian melihatnya di sana, berdiri dengan kemarahan, aku malah merasa senang, merasa lebih baik setelah ia memukulku habis-habisan.
Sejak awal aku memang tidak ingin membalas, aku tidak memiliki alasan untuk membalasnya, lagi pula, sudah ku katakan bukan, bahwa aku sama sekali tidak bisa merasakan sakit atas pukulannya. Karena hatiku kini terasa lebih sakit.
Satu-satunya yang menarik perhatianku saat itu adalah kedatangan gadis cantik itu. aku sangat meirndukannya. Begitu banyak hal yang ingin ku sampaikan kepadanya. Aku sudah lupa dengan kisah memilukan di kafe pagi itu. yang kurasakan saat ini adalah rasa rindu yang tak bisa ku bendung. Aku ingin memeluknya, merengkuh kerapuhannya. Mengatakan bahwa kita bisa memulainya dari awal lagi. Kita bisa meninggalkan ini semua, kita bisa lari bersama. Melupakan mereka semua, kemudian hidup bahagia berdua – selamanya.
Namun melihat mata indahnya yang rapuh, melihat wajahnya yang pucat, membuatku membeku. Aku tidak bisa menyakitinya. Ia berhak bahagia. Ia berhak hidup lebih lama, dan meraih pelangi indahnya.
Ia tidak berhak mati karena kesalahanku. Ia harus pergi dari kehidupanku demi kebaikannya sendiri.
“Aku akan menikahinya, secepat mungkin. melanjutkan pernikahan kami yang sempat tertunda, melanjutkan mimpi indah kami yang sempat gagal beberapa tahun yang lalu. Jadi mulai sekarang, berhenti menyakiti dirimu sendiri dengan mencintainya. Kau tau, aku tidak akan pernah melepaskannya lagi.” Ujarku lantang ketika menyadari keberadaan Christine di hadapanku. Aku bahkan tidak sadar kapan dia datang dan mencoba menjadi tameng untuk diriku. Aku akan menikahinya… kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telingaku. Membuatku hampir gila.
Kemarahan dan perih itu kembali menghujam dadaku ketika melihat tubuhnya tersentak mendengar perkataanku. Bukan, bukan hanya ia yang merasa perih, tapi aku pun merasakan hal yang sama. Semua ini hanya akan membunuh kami berdua. Aku tau itu, tapi aku tidak bisa membiarkan dirinya pergi lebih dahulu. Ia sudah terlalu banyak melewati cobaan hidup, ia harus bahagia sebelum mati. Dan aku akan melakukan apapun agar ia memiliki kesempatan itu. Apapun… meski dengan begitu aku harus membunuh diriku sendiri.
“Aldi… kau baik-baik saja?” tanya Christine sambil menyentuh pelipisku yang berdarah. Aku tidak merasakan sakit, namun melihat kecemasan di wajahnya, ku pikir mungkin Arya mendapatkan nilai 9 di kelas takwondonya.
Aku melirik sekilas kearah pintu, sudah tidak ada siapa-siapa di sana. Dan itu lebih baik, karena rasanya aku sudah mulai lelah bersikap tegar dihadapannya. Aku lelah menahan diriku yang terus ingin memeluknya, melindunginya dengan kedua tanganku sendiri.
“Bagaimana keadaan ibu?” tanya Christine ketika aku hanya diam. Aku menatapnya dengan pandanganan kosong. Ibu masuk rumah sakit, kecelakaan. Dan itu ulahnya, aku tau. Dia sudah bergerak. Tapi aku kehilangan amunisi untuk sekedar bertahan.
“Aku akan ke rumah sakit.”
“Aku ikut.”
“Tidak.”
“Aku juga mengkhawatirkan keadaannya, Aldi…” ujarnya lembut. Aku menghela nafas lelah. Mengapa gadis itu sangat baik. Bukankah lebih mudah jika ia bersikap sebaliknya?
“Tidakkah kau membenci ibuku?” tanyaku sungguh-sungguh. Untuk sesaat wajah gadis itu tampak bingung, namun dengan cepat wajahnya kembali melembut. Ia tersenyum tipis kepadaku, membuatku semakin terpuruk dalam rasa bersalah.
“Atas dasar apa?” tanyanya lembut. “Karena masa lalu? Aku sudah mengerti dan memaafkan semuanya. Hari-hari itu memang sangat memilukan, membuatku lebih berharap mati. Tapi sekarang, aku mengerti. Aku mungkin akan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan ibumu. Aku tidak memiliki satu alasan pun untuk membencinya… sama sekali tidak…”
Aku menatap gadis itu dengan perasaan yang hancur lebur. Terbuat dari apa hatinya?! Aku bahkan tidak akan marah jika saat ini dia membunuhku, tapi mendengar kata-katanya, itu malah semakin menyiksaku. Membuatku muak pada diriku sendiri yang tidak lagi bisa mencintai gadis itu seperti dulu, dan kini malah membahayakan jiwanya, memaksanya menggantikan posisi yang harusnya ditempati oleh Zahra.
Christine terlalu baik, selalu begitu. Dan selalu aku yang menjadi pria brengseknya. Namun sialnya, mata gadis itu seakan selalu tertutup rapat. Hingga tidak pernah bisa melihat keburukan yang menyelimuti diriku. Tuhan, mengapa kau menciptakan gadis sebaik ini? tidakkah kau merasa khawatir jika suatu saat takdir akan melukainya?
“Aku membenci ibuku.” Bisikku lelah. “Andai ia tidak pernah melakukan hal itu, mempalsukan kematian kita, menghancurkan semuanya…”
“Kalau kau ingin membuat perandaian, mengapa kau tidak membuatnya dari awal kisah kita? Andai saja kita tidak pernah bertemu…” ujar Christine perih. “Mungkin tidak akan ada hati yang tersakiti…” tambahnya tanpa menatapku, ia berjalan melewatiku dengan perlahan. “Ayo pergi, luka mu juga harus segera diobati,”
***
Bug!
Sebuah pukulan tepat mengenai rahang sebelah kiriku. Rasa amis langsung menyebar keseluruh penjuru indra pengecapku. Di hadapanku Raka tampak begitu gusar. Ia menggenggam erat gulungan kertas putih di tangan kirinya, sedang tangan kanannya sudah siap untuk meluncurkan pukulan yang lain.
“Apa kau tau apa yang sudah kau perbuat?!” teriaknya keras. Beberapa suster yang berada di lorong rumah sakit itu tampak sedikit terusik karena pertengkaran kami. Aku mengangguk perlahan di hadapannya.
“Itu salahku.”
“Tentu saja,” desisnya geram, “Aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi Raihan. Kau harus tau itu.”
“Aku juga tidak akan membiarkan ini semua terjadi.” Balasku. “Aku akan mempertanggung jawabkannya. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil Aisyah dan anak-anak yang lainnya, tidak akan pernah…” janjiku seraya menatap sosok Anna yang tengah menangis tersedu-sedu di samping Christine. Aku tidak pernah mengerti tentang arti dari kasih sayang itu. Bagiku semuanya sama saja. Atau mungkin otakku terlalu dipenuhi oleh kedengkian, hingga rasanya aku tidak bisa menyentuh memori indahku?
Tapi, ketika akhirnya melihat air mata Anna ketika merasa ketakutan kehilangan putrinya, aku mulai bisa kembali berpikir. Mengingat-ngingat berapa kali aku pernah melihat ibuku menangis seperti itu untukku. Ia masih terbujur koma di dalam ruangan ICU, bertemankan alat-alat bisu yang berbunyi konstan. Mengingatkanku akan keadaan kak Alan beberapa tahun yang lalu.
Akankah ibu berakhir sepertinya?
Meninggalkan kami dalam penantian?
“Aku akan menemuinya.” Ujarku setelah bisa kembali menguasai gemuruh emosi di dalam diriku.
“Aku akan ikut bersamamu.” Ujar Raka tegas. Aku menggeleng tanpa mengalihkan pandanganku dari sosok Anna dan Christine.
“Kalau aku mati, kau harus berjanji untuk menjaga mereka semua.” bisikku sebelum berlalu pergi.