Promosi Jurusan

8.2K 429 66
                                        

Salah satu program kegiatan di Hima (Himpunan Mahasiswa) adalah Promosi Jurusan. Sesuai namanya, Promosi Jurusan bertujuan untuk memperkenalkan kampus dan jurusan gue kepada calon mahasiswa baru. Harus diakui, kampus gue bukanlah seperti kampus negeri yang tanpa promosi sekalipun sudah banyak calon mahasiswa baru yang berduyun-duyun datang mendaftar. Apalagi jurusan gue, Teknik Lingkungan (TL), saat itu masih sangat awam di telinga kebanyakan orang. Contohnya kakak gue, suatu ketika dia nanya,

"Kamu ambil jurusan apa?"

"Teknik Lingkungan."

"Teknik apa?" tanya dia lagi.

"Teknik Lingkungan," jawab gue untuk kedua kalinya.

"Kamu kuliah... buat jadi tukang sampah?"

Sial!

Banyak orang yang belum kenal bahkan bukan tidak mungkin meng-undersetimate jurusan gue lantaran belum sebeken jurusan teknik lainnya. Itulah mengapa Promosi Jurusan menjadi agenda rutin Hima tiap menjelang tahun ajaran baru. Selain untuk memperkenalkan secara benar tentang jurusan Teknik Lingkungan kepada para calon mahasiswa baru, sekaligus sebisa mungkin kami berupaya menjerumuskan mereka untuk masuk ke kampus gue (ketawa setan).

Ternyata nggak mudah untuk mendapat ijin mengadakan Promosi Jurusan di sekolah-sekolah. Beberapa sekolah secara halus maupun terang-terangan menolak proposal yang kami tawarkan. Akhirnya kami mencoba mengganti strategi agar proposal kami dapat diterima, caranya adalah dengan menggunakan hubungan alumni. Dalam hal ini, beberapa teman Hima diminta untuk memasukkan proposal kegiatan Promosi Jurusan di mantan SMAnya masing-masing. Dan taktik ini sukses besar. Ada beberapa sekolah yang akhirnya bisa kami masuki, salah satunya SMUN 6 Kediri.

Tahun 2004. Hari Jumat sore, gue, Tri, Didit, dan beberapa teman Hima lainnya berangkat ke Kediri. Acara Promosi Jurusan di SMUN 6 Kediri sendiri bakal dilaksanakan hari Sabtu pagi. Rencananya kami bakal berangkat ke Kediri menggunakan kereta. Kami berkumpul di kampus untuk pergi bersama-sama ke stasiun Gubeng setelah kegiatan perkuliahan selesai. Untuk sampai ke stasiun Gubeng kami harus naik JTK (nama angkutan umum di Surabaya) dari kampus ke terminal Wonokromo, baru nanti nyambung angkot lain lagi ke stasiun.

JTK yang kami tumpangi dari kampus penuh sesak. Para penumpang saling gencet bahu dan bokong untuk bisa duduk. Herannya sopir JTK belum juga menyalakan mesin mobilnya, dan si kernet masih aja bilang "Yak kosong, kosong, kosong...". Rasanya pengen gue towel si kernet sambil bilang "Mas bro, lo nggak pengen ke dokter mata? mata lo sakit kali, penuh gini dibilang masih kosong". Seakan termakan rayuan si kernet, semakin banyak penumpang yang masuk ke dalam JTK. Aksi saling gencet penumpang supaya bisa duduk makin ekstrem.

Gue sendiri terpaksa harus duduk di bangku tambahan berupa kayu kecil yang berada persis di samping pintu mobil yang terbuka lebar. Itu pun gue masih harus berbagi bangku, yang notabene kecil banget itu, dengan Didit. Rasanya cuma separuh bokong gue yang bisa duduk. Bokong kanan gue kini menggantung bebas. Supaya nggak jatuh, sisa berat badan gue terpaksa ditopang dengan kaki yang mulai berasa kesemutan. JTK ini sudah mengabaikan aspek keselamatan dan kenyamanan penumpang demi mengejar uang setoran.

Salah satu penumpang yang ada di dalam JTK itu adalah seorang ibu-ibu berbadan lebar yang dengan semena-mena telah memakan jatah dua kursi untuk ditempati sendiri. Gue nggak yakin apakah ibu itu juga harus membayar ongkos untuk jatah dua orang sesuai porsi badannya atau nggak. Gue cukup familiar dengan wajah si Ibu. Ibu itu adalah salah seorang dosen di Fakultas gue, kalo nggak dosen Teknik Sipil ya Arsitektur (Fakultas gue terdiri dari tiga jurusan: Teknik Lingkungan, Teknik Sipil, dan Arsitektur), tapi gue nggak kenal dan nggak tau siapa namanya. Jadi, mari kita panggil saja beliau sebagai: Ibu-dosen-yang-berbadan-lebar.

Kampus KoplakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang