Tiga

22.9K 1.2K 17
                                    

Matahari semakin condong ke arah barat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari semakin condong ke arah barat. Cuaca panas yang sedari tadi melengkapi hari kian menyusut merendah. Beberapa menit yang lalu Rallyn baru saja bangun dari tidurnya, namun sekarang ia sudah duduk santai di sofa tua yang sudah lapuk. Rallyn yang kini tengah melamun tiba-tiba bangkit ketika mengingat sesuatu.

"Apaan sih, Rall? Ngagetin aja," pekik Vanya, sahabat terdekatnya. Jika Rallyn diminta memilih 2 orang di hidupnya untuk dibawa bahagia, maka Rallyn akan memilih Rivat dan Vanya.

Rallyn beranjak menuju pintu keluar.

"Mau kemana, Rall?" tanya Vanya setengah berteriak.

"Pulang," jawab Rallyn santai. Ia menekan ujung rokoknya pada tembok kemudian membuangnya ke tanah dan menginjaknya hingga tak menyisakan api yang menyala.

"Ikuuut," rengek Vanya kemudian berlari mengejar langkah Rallyn.

"Tumben lu balik? Ngapain?" tanya Vanya di tengah-tengah perjalanan. Ini benar-benar perjalan karena mereka berjalan kaki menuju mansion mewah Rallyn.

"Nengok Rivat."

"Emangnya kenapa adek lu?"

"Gue ninggalin dia tadi pagi, ya gue khawatir aja."

Vanya mengangguk mengerti. Dia berjalan beriringan dengan Rallyn tanpa banyak membuka suara.

Akhirnya mereka sampai di rumah mewah milik orangtua Rallyn. Rumah besar yang halamannya saja cukup untuk dijadikan lahan kontrakan. Rumah itu dilindungi gerbang tinggi menjulang. Dari luar sini rumah Rallyn terlihat indah dan menyenangkan, tapi tak ada yang tahu betapa kacaunya keadaan di dalam.

"Pak Dani, buka gerbangnya, Pak!" teriak Rallyn dari luar gerbang. Vanya juga ikut-ikutan membantu dengan memukul-mukul gerbang rumah Rallyn. Rallyn hanya menggeleng melihat tingkah bodoh sahabatnya.

Orang yang disapa Dani tadi akhirnya keluar dan membukakan gerbang otomatis itu. Rallyn dan Vanya masuk kemudian disambut dengan ocehan penuh kekhawatiran dari pak satpam.

"Non Rallyn dari mana aja, Non? Bapak sampai khawatir." Begitu kalimat yang langsung Rallyn dengar. Rallyn tersenyum kemudian menyalami tangan pria penuh aura kebapakan itu. Bagaimanapun ia telah menganggap Dani sebagai orangtua keduanya.

"Nggak kemana-mana kok, Pak. Rallyn gak kenapa-napa," jawab Rallyn lembut kemudian masuk ke dalam mansion megahnya. Rallyn dan Vanya segera menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar Rallyn yang super besar.

"Kenapa lo suka banget kabur, Rall? Padahal rumah lo nyaman banget," ujar Vanya seraya memandangi seisi kamar Rallyn. Ia sudah sering ke rumah Rallyn, hanya saja sampai sekarang Vanya masih tak percaya bahwa ada rumah sebesar dan semewah ini di dunia nyata. Vanya hanya pernah melihatnya di tv.

Bagaimana tidak percaya, Vanya hanyalah gadis yang kabur dari panti asuhan dan tinggal menetap di rumah kedua semenjak ia berusia 15 tahun.

"Siapa bilang rumah gue nyaman?" Rallyn bertanya sinis. Kini ia tengah mempersiapkan baju untuk ia pakai setelah mandi.

Vanya tahu betul apa maksud Rallyn. Bagaimana pun ia adalah manusia kedua yang paling tahu bagaimana kehidupan Rallyn, setelah dirinya sendiri.

Baru saja Rallyn masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu, tiba-tiba terdengar suara histeris mendekat.

"Neng Rallyn! Ai Neng Rallyn dari mana aja? Bibi teh khawatir, masyaallah Neng Rallyn."

Wanita yg hampir berumur lima puluh tahun itu berteriak histeris kemudian langsung memeluk Vanya yang tengah duduk di atas kasur king size Rallyn. Gadis itu terkejut setengah mati kemudian berusaha melepaskan pelukan pembantu Rallyn itu.

"Bi—Tiam—ini V—Vanya gak—bisa—nafas," teriak Vanya tertahan karena tak bisa bernafas akibat pelukan wanita baya yang akrab disapa Tiam itu.

"Loh Neng Vanya? Neng Rallynnya mana?" tanya bi Tiam polos setelah melepaskan pelukannya, tak lupa dengan aksen sundanya. Vanya menghela nafas lega kemudian bergeser mundur karena takut menjadi sasaran salah target lagi.

"Rallyn lagi mandi," jawab Vanya.

"Oh Neng Rallyn lagi mandi. Aduh hampuranya, Neng. Bibi salah target," ucap Tiam dengan wajah bersalah.

"Iya gak apa-apa, Bi."

"Neng Vanya udah makan belum? Neng Rallyn juga belum makan 'kan? Bibi siapin makanan dulu atuh ya di bawah." Baru saja Vanya ingin menjawab antusias, namun ia sudah di dahului oleh sang empunya kamar.

"Gak usah, Bi. Kita makan di luar aja," jawab Rallyn sembari menggosok rambutnya dengan handuk.

"Neng Rallyn jangan keluar terus, yah, Bibi teh jadi khawatir. A Rivat juga khawatir kalo Neng keluar terus," racau Tiam.

"Bilang sama Rivat Rallyn gak apa-apa. Malem ini Rallyn mau nginep di tempatnya Vanya ya, Bi," izin Rallyn pada Ibu keduanya, bermaksud tidur di rumah kedua malam ini.

"Aduh jangan atuh, Neng. Nanti Ibu sama Bapak marah sama Bibi. Nanti juga Den Rivat gak bisa tidur gimana? Tidur di sini aja, Neng. Neng Vanya aja yang nginep di sini," bujuk Tiam. Selalu seperti ini, Tiam selalu khawatir jika Rallyn keluyuran di luar rumah. Apalagi bolos sekolah seperti ini, terkadang Tiam suka kena semprot kedua orangtua Rallyn.

"Gak usah khawatir, Bi. Di rumah Vanya banyak yang jagain Rallyn kok. Bilang juga sama Rivat jangan khawatir, dan jangan bolos sekolah, besok Rallyn sekolah kok. Nih Rallyn bawa seragam." Rallyn menunjukkan tasnya yang sudah terisi oleh baju seragam dan beberapa buku. Tiam tak bisa membantah, memang Rallyn tak bisa dibantah. Dia selalu melakukan apapun yang ia inginkan, tak peduli betapa salahnya hal itu.

Setelah memakai pakaiannya, Rallyn dan Vanya beranjak menuju restoran tak jauh dari rumah kedua. Pakaian Rallyn sudah manusiawi sekarang. Ia menggunakan kaos tipis dan dipadukan lagi dengan kemeja tanpa dikancing, tak lupa celana jeans juga sneakersnya. Vanya juga, ia sudah mandi di rumah Rallyn dan meminjam pakaian Rallyn yang tentu saja Vanya tak mampu membelinya. Baju Rallyn itu mahal-mahal dan bagus-bagus, begitu pikir Vanya.

Setelah puas makan di salah satu restoran di pusat kota, Rallyn dan Vanya mampir ke salah satu kafe tak jauh dari tempatnya makan tadi. Jelas sekali bahwa Rallyn memiliki banyak uang. Dia tak pernah kekurangan uang, keinginannya terhadap barang selalu ia dapatkan dengan mudah. Satu hal yang disayangkan, kasih sayang dari orangtua tak dapat dibeli dengan uang.

***

Rallyn kembali meneguk hazelt nut coffeenya. Langit malam gelap bersarang di iris yang kini bergerak-gerak menelusuri seantero jalanan di luar kafe. Menatap orang-orang yang berlalu lalang di tengah kepadatan kendaraan yang berseliweran. Rallyn suka pemandangan kota di sore hari. Melihat orang-orang yang kelelahan setelah melakukan kegiatan mereka seharian.

Setelah selesai menghabiskan minumannya Rallyn memanggil seorang pelayan untuk mengantarkan billnya. Tak lama datanglah seorang pelayan pria yang umurnya terlihat sebaya dengannya dan Vanya. Dengan acuhnya Rallyn membayar sesuai angka yang tertera dalam bill kemudian bergegas keluar bersama Vanya.

"Bukannya dia temen sekelas lo ya?" tanya Vanya ketika mereka sudah cukup jauh dari kafe.

"Gak peduli," jawab Rallyn acuh kemudian menghentikan taxi dan masuk ke dalamnya, diikuti oleh Vanya.

Sedangkan pelayan tadi yang tak lain adalah Azzam masih terpaku di tempatnya. Rallyn meninggalkan ponselnya di atas meja. Apa yang harus Azzam lakukan?



TBC
Gak bosen bosen buat minta vote dan comment:)

Bismillah [completed] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang