Duapuluh lima

13.6K 862 10
                                    

Akhirnya setelah dua puluh menit menyusuri jalanan kota kembang, Azzam, Rizka dan Ayahnya tiba di rumahnya dalam keadaan selamat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akhirnya setelah dua puluh menit menyusuri jalanan kota kembang, Azzam, Rizka dan Ayahnya tiba di rumahnya dalam keadaan selamat. Ibunya menyambut mereka di depan rumah, betapa senyuman yg mengembang di wajahnya itu Azzam rindukan. Sudah tiga bulan lamanya Azzam tak bertemu dengan sang Ibu.

Di sebelah kanannya terdapat seorang gadis manis yg terlihat seumuran dengan Azzam. Tubuhnya sedikit lebih pendek dari Azzam, rambut hitam legamnya terurai hingga ke bahu, gadis itu memasang senyum menyambut Azzam. Dia Fani, sahabat kecil Azzam.

Di sebelah kiri Ibunya terdapat seorang gadis yg tak kalah cantik dari Fani, Alia. Dengan hijabnya yg menutupi auratnya, senyum juga ia kembangkan untuk Azzam.

"Assalamualaikum," salam Azzam, Rizka dan Ayahnya bersamaan. Dijawab juga oleh ketiga wanita cantik itu secara bersamaan. Gita—sang Ibu—langsung menghambur ke pelukan Azzam, betapa ia merindukan anak sulungnya ini. Kemudian wanita yg sudah mencapai kepala empat itu beralih memeluk Rizka.

Azzam masuk terlebih dahulu, sebelum masuk ia tersenyum pada Alia dan menatap Fani, menunggu apa yg akan gadis itu lakukan. Benar saja, Fani langsung menghambur ke pelukan Azzam, namun dengan secepat kilat Azzam mampu menghindar.

"Masih gak mau di peluk, nih? Gak kangen apa sama gue?" protes cewek tomboy itu. Azzam hanya tertawa dan merangkul bahu Fani, mengajaknya masuk, sementara Alia menatap mereka dengan tatapan tak terbaca.

"Kak Alia, masuk yuk," ajak Rizka membuyarkan pandangan Alia. Alia mengangguk dan berjalan mengikuti langkah Rizka.

"Gimana kabar lo di Jakarta? Masih jomblo aja lo," ujar Fani di ikuti tawanya. Kini ia dan Azzam tengah berada di ruang tamu, melepas rindu dengan saling berbagi kisah.

"Kayak yang gak jomblo aja lo," balas Azzam jahat.

"Siapa bilang gue jomblo? Gue punya pacar tau," aku Fani.

"Siapa? Paling juga tukang sayur yg lewat tiap pagi depan rumah," ledek Azzam.

"Ih jahat banget lo, bukanlah, nanti kapan-kapan gue kenalin sama lo." Azzam mengedikkan bahu dan menyandarkan diri di kepala sofa. Tiba-tiba Alia datang dari arah dapur.

"Azzam, Fani, dipanggil Ami, katanya makan dulu," ujar Alia. Azzam menoleh dan melihat kecanggungan di sana. Azzam mengangguk dan menarik lengan Fani yang mau tak mau mengikuti langkah Azzam dengan gontai. Beruntung Fani yang sudah sangat dekat dengan Azzam sehingga tak ada lagi kecanggungan di antara mereka untuk kontak fisik. Azzam sudah menganggap Fani sebagai adiknya sendiri.

Di ruang makan sudah terdapat Ami, Abi, Rizka dan Alia yg sudah duduk di meja makan. Azzam dan Fani duduk bersebalahan dan mulai menyantap makanan yg dihidangkan Ami. Fyi, Ami adalah panggilan untuk Ibu Azzam, sementara untuk Ayah adalah Abi.

"Gimana sekolah kamu di Jakarta, kak?" tanya Ardia—Abi Azzam—yang tentu saja pada Azzam.

"Allhamdulillah, lancar-lancar aja, Bi." Ardia mengangguk kemudian beralih menanyakan hal yang sama pada Rizka.

"Rizka juga lancar-lancar aja kok, Bi. Oh iya, Abi sama Ami ada salam dari Tante Ala sama Om Eko," sampai Rizka.

"Waalaikumsalam," jawab Abi dan Ami serempak. Acara makan berlanjut diiringi cerita Rizka tentang pengalaman-pengalamannya di Malang. Minggu depan gadis itu harus kembali lagi ke Malang untuk kembali bersekolah, juga karena sebentar lagi SMP akan melakukan Ujian Nasional.

Acara makan selesai. Azzam langsung bangkit setelah diizinkan dan naik ke kamarnya, sementara Fani juga ikut mengikuti langkah Azzam. Hanya Fani sejauh ini yang berani keluar masuk kamar Azzam tanpa izin setelah Ami dan Rizka, itu karena Azzam yg mengizinkannya. Sayang Alia tak bisa, dan ia merasa iri.

Azzam berdiri di balkon kamarnya seraya melihat pemandangan di depan. Rumahnya tidak berada di pinggir kota melainkan berada di tempat yg jauh dari kota. Suasananya yg masih asri, persis seperti villa-villa di puncak, rumah Azzam dikelilingi berbagai macam tumbuhan besar. Setiap rumah tidak bersebelahan layaknya di Jakarta, namun pasti dipisahkan dengan berbagai macam pepohonan dan pagar yg tinggi. Sementara di pinggir sebelah kanan rumah Azzam adalah rumah Fani.

"Ngelamun mulu dari tadi, lagi galau ya?" Azzam terkekeh ketika Fani datang dan menyodorkan pertanyaan retoris.

"Nggak," bual Azzam. Namun bukan Fani jika percaya begitu saja pernyataan Azzam.

"Bohong. Orang dari tadi gue perhatiin lo ngelamun mulu, ninggalin apa sih di Jakarta?"

"Ninggalin cinta," jawab Azzam sekenanya dan itu merubah Fani menjadi antusias.

"Hah? Demi apa, Zam? Azzam, lo punya cewek di Jakarta? Siapa? Kok gak ngasih tau sih lo? Kenapa gak lo bawa ke sini? Padahal gue pengen liat," ucap Fani berbondong-bondong. Azzam hanya tertawa menanggapinya.

"Azzam, siapa sih? Gue penasaran tau," katanya lagi.

"Becanda elah, lo gitu aja dipercaya," balas Azzam. Ekspresi Fani berubah kecewa, sebenarnya ia ingin melihat Azzam punya pacar, namun jika ditilik dari keluarganya yg super islami, mana mungkin hal itu terjadi.

Sementara Azzam kini sedang gelisah. Ia ingin menghubungi Rallyn namun tak tahu dengan apa. Azzam sama sekali tak hafal nomer telpon Rallyn, lagi pula untuk apa Azzam hafalkan, mana tau dia hal ini akan terjadi. Lagi-lagi pertanyaan yang sama terulang di pikiran Azzam. Lagi apa dia?

***

Sementara itu di Jakarta, sepulang sekolah, Rallyn berniat ke apartemen Azzam untuk memastikan bahwa pemuda itu ada di sana. Namun ketika sampai di apartemennya dan menekan bel berkali-kali, tak ada respon dari dalam. Rallyn bingung, kemana perginya Azzam? Lalu kenapa ia tak menghubungi Rallyn sama sekali?

Dengan nekat Rallyn menelpon Azzam dan berharap pemuda itu mengangkatnya. Namun hasilnya seperti yg sudah ia duga, nomor Azzam masih tak aktif. Rallyn galau, benar-benar galau hari ini, seharusnya setidaknya Azzam mengabari Rallyn ia di mana, sehingga tak membuat Rallyn khawatir.

Tapi kenapa Azzam harus ngabarin gue dimana dia?

Gue 'kan bukan siapa-siapanya.

Lagian emangnya kenapa kalo Azzam tiba-tiba pergi tanpa bilang-bilang?

Bukannya emang harusnya kayak gitu?

Memikirkan itu membuat Rallyn down. Ia merasa bahwa hadirnya di hidup Azzam hanyalah sebatas orang asing yang mampir di hidup Azzam tanpa ada artinya. Rallyn baru menyadari bahwa hadirnya tidak berpengaruh apa-apa pada Azzam. Hanya Azzamlah di sini peran utamanya, yang mengobrak-abrik kehidupan Rallyn dan membuatnya begitu berarti di hidup Rallyn.

Rallyn kembali dengan perasaan kesal bercampur sedih. Kemana ia sekarang? Tak mungkin ia terus-terusan menginap di rumah Helen. Ibu Helen sangat tidak menyukai Rallyn karena disangka Rallynlah penyebab kenakalan anaknya sekarang. Tak ada pilihan, Rallyn harus kembali pulang ke rumah. Rivat masih di rumah sakit dan belum juga sadarkan diri. Jadi mau tak mau Rallyn kembali merasa kesepian di mansion mewahnya.

Tanpa Rivat dan tanpa Azzam. Dua orang yg paling Rallyn sayangi di dunia ini melebihi ia menyayangi dirinya sendiri.













TBC
Jadi ceritanya ada yg request juga minta dimasukin karakter namanya Fani, sebenernya bukan Fani sih tapi Fanny. Yaudahlah gapapa ya, Fan, gue ganti jadi Fani, biar kerasa Bandungnya wkwkw. Udah dikabulkan ya.
Pliss jgn ada yg req mnta di masukin karakter lg, krna gue butuh pemikiran ekstra supaya si karakter berhubungan sma cerita.
Maaf ya karena ga jadi double update kemaren, krna ada sedikit problem, jd gajadi, hehe maaf maaf bgt. See ya :*

Bismillah [completed] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang