Delapan

17.8K 1.2K 17
                                    

Matahari begitu terik siang ini, seakan jaraknya begitu dekat dengan bumi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari begitu terik siang ini, seakan jaraknya begitu dekat dengan bumi. Orang-orang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Rallyn merasa malas kala ia harus terjebak dalam kemacetan di tengah hari dengan terik matahari yang membakar kulit. Sampai akhirnya Rallyn bernapas lega, setelah sekitar setengah jam di dalam taxi, akhirnya Rallyn sampai di suatu gang yang ia tuju. Rallyn turun dari taxi setelah membayar ongkosnya. Siang ini, ia sudah kembali berada di luar. Bukan di tempat nyaman pria tampan nan sholeh itu. Ia berjanji untuk pulang pagi-pagi pada pria itu, dan jelas saja pria itu setuju. Ia juga mengizinkan Rallyn meminjam pakaiannya karena tak mungkin Rallyn berkeliaran dengan seragam yang ia pakai semenjak tiga hari yang lalu.

Tok tok tok

Rallyn mengetuk pintu sebuah ruangan di lantai dua sebuah gedung tua dan kusam. Di mana rumah keduanya berada. Tak lama pintu terbuka dan muncullah seorang teman yang sudah lama tak Rallyn lihat. Vanya. Gadis itu terbelalak dan langsung memeluk Rallyn. Rallyn meringis ketika merasakan sakit di tubuhnya terasa lagi karena dekapan sahabatnya. Vanya yang menyadari itu segera melepaskan pelukannya dan mengajak Rallyn masuk.

Teman-teman Rallyn yang lain sama terbelalaknya seperti Vanya ketika melihat Rallyn. Apalagi melihat beberapa bekas luka di wajahnya dan tangan kanannya yang diperban. Mereka semua langsung menghampiri Rallyn.

"Rall, lu kemana aja?" tanya Givan tak sabaran.

"Lu dimana selama tiga hari ini, Rall?" timpal Aris.

"Lu abis ngapain sampe babak belur gitu? Berantem ama bokap?" sahut Yugo. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus keluar dari mulut teman-temannya. Rallyn hanya memijat pelipisnya karena rasa nyeri yang tiba-tiba menyerang kepalanya.

"Udah udah, kita biarin Rallyn istirahat dulu, kalau udah baikan nanti kita tanya lagi dia," perintah Askar. Yang lain mengangguk patuh dan kembali pada aktivitasnya kecuali Givan. Rallyn duduk di sofa diikuti Givan dan Askar. Sementara Vanya mengambilkan segelas air untuk Rallyn.

Rallyn masih bungkam. Ketika Yugo mengatakan kata 'bokap' tadi Rallyn jadi kembali mengingat Ayahnya. Sakit di dalam hatinya yang kemarin mulai tertutup lagi kini perlahan terbuka kembali. Hal yang paling ingin Rallyn alami sekarang hanyalah amnesia.

Rallyn menyandarkan kepalanya di bahu Bang Askar. Dia adalah sosok kakak sekaligus Ayah bagi Rallyn. Satu-satunya pria yang bisa memerintah Rallyn, membantah Rallyn, dan menghentikan apa yang Rallyn lakukan. Rallyn terisak dalam diam. Ia tak mau menangis lagi, tapi air matanya terus mendobrak meminta untuk keluar.

"Udah, Rall, jangan ditangisin terus. Abang udah tahu semuanya dari Vanya. Lo mau minta kita apain bokap lo? Kita jabanin." Rallyn menggeleng lemah mendengar kalimat Askar. Rallyn tak mau melakukan apapun pada Ayahnya. Biarkan ia berkarya semaunya, sekarang Rallyn hanya ingin kembali tak peduli seperti dulu.

"Gue cuma pengen nangis, Bang. Sebentar aja. Biar gue ngerasa lega," jawab Rallyn dengan suara seraknya.

"Yaudah lo puas-puasin aja nangis kalau emang itu bisa bikin lo lega." Askar melirik Givan yang tengah menatap Rallyn. "Ada bahu di sebelah lo yang siap buat lo sandarin," lanjut Askar dengan bisikan. Rallyn mendongak menatap Askar bingung. Ia menoleh ke sebelah kirinya dan mendapati Givan tengah menatapnya tak kalah bingung.

Bismillah [completed] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang