Duapuluh sembilan

12.7K 844 17
                                    

Azzam duduk di kursinya dengan tenang ketika Pak Yudis—guru bahasa Inggrisnya—tengah menjelaskan pelajaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Azzam duduk di kursinya dengan tenang ketika Pak Yudis—guru bahasa Inggrisnya—tengah menjelaskan pelajaran. Duduknya memang tenang, tapi hatinya mana tenang ketika yg ia tahu Rallyn tak masuk kelas hari ini. Apalagi mengingat kejadian kemarin membuat Azzam khawatir akan keadaan gadis itu. Azzam mulai mengeluarkan ponselnya di bawah meja, mendial nomer Rallyn, menyimpan ponselnya lagi, mendial nomer Rallyn lagi, menyimpan ponselnya lagi, terus berlangsung seperti itu sampai Dandi menghentikannya.

"Ngapain sih, Zam, dari tadi buka hp matiin lagi, buka lagi, gak ada kerjaan?" Azzam kembali menyimpan ponselnya di kolong meja dan menggeleng. Dandi tak tahu masalahnya sekarang, hanya Azhar dan Giffarilah yg tahu.

Kemana kamu, Rall?

Batin Azzam tak tenang. Yg ia khawatirkan sebenarnya adalah apa yg tengah Rallyn lakukan sekarang? Khawatir gadis itu melakukan hal berbahaya seperti saat keluarganya sedang kacau-kacaunya dan saat adiknya masuk rumah sakit.

Sementara itu di rumahnya, Rallyn tengah terbaring lemah di kasurnya dengan demam tinggi. Ayahnya sampai tak berangkat kerja karena khawatir pada kondisi Rallyn. Rallyn tak menceritakan perihal kemarin pada Ayahnya kawatir sang Ayah akan terpancing emosi dan melukai Azzam. Rallyn tak ingin marah pada Azzam, ia tahu Azzam melakukan ini bukan karena keinginan hatinya. Tak mungkin Azzam meninggalkannya sementara pria itu sangat menyayangi Rallyn. Kemungkinan terbesar adalah keluarganya yg sangat taat agama itu.

Rallyn sudah menceritakan semuanya pada Helen dan gadis itu berhasil tersulut emosinya. Maka dari itu Rallyn tak ingin menceritakan apa yg terjadi pada Givan, khawatir pria itu akan melukai Azzam. Bagaimanapun Rallyn masih menyayangi Azzam dan tak mau Azzam terluka.

Rallyn mendengar ketukan pintu, tak lama pintu terbuka dan menampilkan Ayahnya, tapi yang membuat Rallyn terkejut adalah kehadiran seseorang yg sangat Rallyn rindukan. Rivat, dia sudah sembuh dan diizinkan pulang dari rumah sakit, namun kini ia masih memakai kursi roda karena kakinya yg belum juga pulih dan masih harus melakukan beberapa terapi. Rallyn ingin bangun namun Ayahnya melarangnya, jadi Ayahnya mendorong kursi roda Rivat untuk mendekat.

"Kak, Rivat sembuh kenapa kakak sakit?" tanya pemuda itu. Suaranya serak, sepertinya masih menyesuaikan karena pemuda itu tak bicara selama lebih dari sebulan karena komanya.

"Gue gak sakit kok, cuma ngantuk," canda Rallyn seraya pura-pura menguap, namun kompres di dahinya tidak bisa membodohi Rivat bahwa Rallyn memang sedang sakit.

Rivat menggenggam tangan Rallyn yg panas, dari tadi pagi demamnya belum juga turun.

"Pah, kenapa kak Rallyn gak dibawa ke rumah sakit?" Baru Ayahnya ingin menjawab, Rallyn sudah memotong. "Lebay ah, gue gak apa-apa kok, Riv. Iya gak, Pah?" Terpancar keceriaan di wajah Rallyn namun suaranya yg lemah tak bisa membohongi siapa pun bahwa keadaan Rallyn tengah drop.

"Papa udah panggil dokter kok tadi, kamu sekarang ke kamar yuk, kak Rallyn mau istirahat, kamu juga harus istirahat. Papa pengen lihat kalian berdua sembuh, oke?" Rivat mengangguk dan meninggalkan Rallyn yg memaksa matanya untuk tertidur. Benci, Rallyn benci memejamkan matanya. Karena, di kegelapan ketika ia menutup matanya hanya Azzamlah yg ia lihat.

***

Keesokan harinya Rallyn datang terlambat ke sekolah—kebiasaanya dulu—namun sekarang bedanya gadis itu diantar ke sekolah oleh Ayahnya. Ayahnya sudah meminta Rallyn untuk istirahat beberapa hari lagi karena kondisinya yg belum terlalu membaik, namun gadis itu bersikeras untuk sekolah dengan alasan waktunya tinggal satu bulan lagi menuju Ujian Nasional. Tentu alasan itu tak bisa membuat Ayahnya membantah.

Rallyn masuk ke kelas seakan tak terjadi apa-apa—seperti biasa, gadis itu masuk dan duduk setelah diizinkan oleh sang guru yg tengah mengajar saat itu. Ketika Rallyn melewati bangku Azzam, gadis itu sama sekali tidak menoleh maupun melirik, ia berjalan seakan tak pernah menyadari kehadiran Azzam.

Baguslah, setidaknya untuk hari pertama tanpa Azzam gadis itu masih bisa mengontrol emosinya.

***

Saat istirahat, Rallyn dan Helen tidak keluar untuk istirahat di kantin. Mereka hanya duduk seraya menunggu makanan yg sudah Helen pesankan pada salah satu nerd di kelas. Dengan kebetulan, Azzam dan teman-temannya juga tidak pergi ke kantin setelah melaksanakan sholat dhuha, karena mereka tengah melaksakan ibadah puasa—dari yg Helen tahu dari Dandi.

"Lo kemaren kenapa gak sekolah?" tanya Helen pada Rallyn yg terlihat lesu. Jujur, gadis itu sebenarnya tengah menahan pening yg tiba-tiba menyerang kepalanya.

"Sakit," jawabnya ringan.

"WHAT? LO SAKIT CUMA KARENA DITINGGAL COWOK KAYAK GITU? HELLAW RALLYN, COWOK TUH BANYAK YAH, UDAHLAH YG LABIL SAMA PERASAANNYA KAYAK DIA TUH GAK USAH DIGALAUIN, APALAGI SAMPE SAKIT KARENA MIKIRIN COWOK ITU? BIG NOOO." Rallyn ingin bersuara namun Helen menahannya dengan isyarat yg menyuruhnya untuk tetap tutup mulut. Rallyn melirik tempat Azzam duduk, pria itu tengah mengobrol dengan Giffari, namun Rallyn yakini Azzam pasti mendengar semua kalimat Helen barusan.

Helen memang sengaja mengatakan itu keras-keras, tujuannya supaya Azzam tahu bahwa Rallyn sakit setelah kejadian kemarin, dan itu berhasil. Azzam tiba-tiba diam dalam percakapannya dengan Giffari kemudian saling pandang dengan Azhar yg notabennya lebih tahu hal ini dibanding dua teman Azzam yg lain.

Dia sakit gara-gara kemarin?

Tanya Azzam dalam hatinya. Kini pemuda tampan itu tengah dilanda kekhawatiran.






TBC
Happy ending or sad ending?

Bismillah [completed] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang