Part 1

2K 253 83
                                        


5 Oktober 2010


"Waktu kurang 10 menit," tegur guru kimia kami yang duduk memperhatikan 4 dari 24 siswa di kelas, menunggu dewi keberuntungan datang menolong.

Aku, sendiri hampir selesai tapi belum ingin keluar. Kenapa? Aku hanya tidak ingin saja. Aneh memang, tapi aku suka menjadi yang terakhir keluar saat ujian. Peringatan terakhir dari guru kami, dan untuk kesekian kalinya aku berada di belakang dan melihat tas teman-temanku sudah berlari keluar gedung.

Semua orang di lorong tampak bahagia menyapa setiap orang yang lewat dan terkadang mencium 2 atau 3 orang, euuh. Aku sendiri senang, walau aku pasti akan merindukan teman temanku. Tak pernah dalam 15 tahun terakhir ini aku menjadi satu dari anak anak popular dengan badan bagus, kulit coklat berkilau dengan rambut indah, tapi untungnya aku punya sahabat. Atau bisa dibilang begitu.

Tak sulit menemukan temanku. Mereka sudah menungguku diluar sekolah.

"Aku pikir kau tewas saat tes kimia tadi,"

"Yah, jika aku minum sianida mungkin saja," lalu diikuti tawa dari teman temanku

"Anyway, aku punya ide untuk memulai liburan kita," Blaze dan Courtney membisikkanku ide gilanya, yang tentu saja kami setujui dengan begitu polosnya.

Dan demi tuhan, untuk ke seribu kalinya aku tak akan mengira bahwa ide gila ini akan mengubah hidupku. The thing is will I regret it or cherish it?



5 Oktober 2015

This is it.

Hari dimana anakku bertemu idolanya. Ya dia perempuan berumur 4 tahun, dan walaupun terdengar aneh aku mengajaknya ke konsernya. Well, I am a cool mum, I guess. Tapi, aku bukan tipe Ibu yang senang memanjakan anaknya. Olivia bahkan mati-matian belajar membaca dan menulis agar aku membawanya bertemu idolanya. Dan ajaibnya dia berhasil, walaupun tulisannya masih salah, dia sudah bisa membaca 1 paragraf cerita, aku sendiri tak percaya. Jadi, yah karena dia berhasil aku harus menepati janjiku. Lagipula, aku juga perlu hiburan. Konser terdengar cukup menyenangkan .

Untuk mempersiapkan hari ini aku harus kerja lembur sambil belajar untuk ujian semester kuliahku. Sangat melelahkan mengurus anak, bekerja dan belajar di waktu yang sama. Untungnya, Olivia sudah masuk sekolah, setidaknya ada orang yang menjaganya saat aku kuliah atau kerja.

Kulihat bayanganku sendiri di cermin. Tak ada yang kurang. Mascara sudah dipoles, dan sedikit lipbalm aku oleskan ke bibir. Jeans dan T-shirt yang nyaman ini memang kurang menarik tapi, hey aku tidak akan menyenangkan mata seseorang 'kan? Lagipula siapa yang ingin melihatku. Perempuan atau ....bisa dibilang Wanita 20 tahun sepertiku tidak mungkin menarik perhatian seseorang, belum lagi aku akan pergi ke konser yang isinya penuh dengan gadis remaja, jadi aku merasa cukup puas dengan penampilanku.

Segera kuambil tas dan cardigan serta jaket tambahan untuk jaga-jaga jika kami kedinginan, mengingat bulan seperti ini udaranya sangat tidak baik. Jika aku bilang tas maksudku ransel. Ya, ransel yang isinya snack dan baju hangat Olivia. Aku bukan tipe perempuan pesolek atau semacamnya. Dan aku tidak tomboy atau apapun itu. Aku hanya... aku sendiri.

"Olivia , baby.. are you ready?" panggilku, saat dia berlari memeluk kakiku.

"Yeah.. I meet Loueeh," aku tak bisa menahan tawa saat melihatnya sangat bahagia.

"Have fun, you two," Marissa -teman se-apartemenku- menepuk punggungku .

"Yah, terimakasih, aku hanya akan pergi, well sampai jam 10 malam. Hati-hati dirumah, yah?"

"Iya,iya aku janji tidak akan membakar apartemen kita bertiga," Marissa menggedong Olivia dan mulai mengelitiknya. Marissa terlihat puas melihat anakku tertawa terkulai menggeliat di badannya, memintanya untuk berhenti mengelitiknya.

Anakku. My Daughter

Walaupun terdengar gila, Olivia adalah benar-benar anakku. Biological.

Ayahnya?

Anggap saja dia tewas diinjak sapi gila. Well, he knows but he runaway. Dan ughh, kejadian-kejadian masa lalu hampir saja membuatku ingin menghancurkan sesuatu. Tapi, aku masih dapat menjaga emosiku di depan Olivia.

Marissa menurunkan Oliva dan memasang wajah kita-belum-selesai-gadis-kecil. Olivia menjulurkan lidahnya tak mau kalah.

"Baiklah, selesai disitu gadis-gadis. Kita tak ingin telat menuju konser 'kan?" suaraku cukup untuk membuat mereka berhenti tertawa dan kembali ke posisi awal.

Marissa memberiku pelukan hangat sebelum kami pergi. Dia membungkuk untuk mencium Olivia.

"Hati-hati, aku dengar disana banyak Ayah-ayah yang menemani anak gadisnya ke konser lho,"

"Apa maksudmu?" tanyaku. Lama lama aku pikir dia mulai kehilangan akal

"Bisa saja kau bertemu jodohmu disana," Marissa terwata melihat ekspresi jijik dari air mukaku.

Aku hanya geleng kepala melihat Marissa. Ya dia Cuma 1 tahun lebih tua dariku tapi lihat kelakuannya seperti gadis puber 12 tahun. Aku dan Olivia hanya pergi meninggalkannya di ruangan ini.

"Hey, Jenna," aku menoleh melihat Marissa di depan pintu."I bet 20 pounds, Harry the Styles won't wink at you".

"Dare me," teriakku, menggandeng Olivia turun lewat lift.

"Mum, what's wink?" Olivia bertanya padaku saat kami berdua di dalam lift.

"Uhmm.. kau akan tau sendiri, well nanti," Aku tak bisa menahan senyum di wajahku.

Harry Styles winks at me? 

Menoleh saja tidak mungkin, walaupun aku (tidak mungkin) akan di sampingnya sepanjang konser, dia pasti cuma akan menganggapku sebagai tembok.

Well, 20 pounds nanti akan kuberikan ke Marissa, atau malah aku yang akan menerima uang Marissa.

God only knows.





A/N : terimakasih bagi yang sudah membaca, akan dilanjutkan segera setelah mendapat read(s) vote(s) dan comment(s).

Stay happy, coz harry is super gay, but only be straight for his fans (us) not everyone else.

Indirect to yacht accident, I'm personally not a fan to them.

Baby's Dream // h.sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang