35

1.6K 117 4
                                    

Kepingan 35

JERITAN PRIA ITU membuatku ngeri sendiri.

Suara mereka tampak sedikit pecah di udara, mereka merintih kesakitan. Entah apa yang dilakukan Magisterium beserta Verciel pada mereka. Mungkin Verciel menggigit mereka, atau mungkin mencakar mereka. Entahlah. Yang pasti, jika tertembak lebih dari sepuluh tongkat sihir, rasanya pasti sangat sakit.

Ah, sudahlah. Aku tak bisa membiarkan mataku tetap tertutup. Kuangkat kepalaku lagi, dan kubuka mataku. Helen dan Raph masih asik menonton perang sungguhan. "Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Magisterium menembak mereka. Membuat mereka terluka."

"Lalu, Verciel?"

"Oh serigala hitam itu," sahut Verciel. "Dia hanya diam saja. Kami tidak melihat pergerakannya selain berdiri diam di situ."

Magisterium itu masih berdiri dengan rapihnya, mereka mengangkat tongkatnya untuk berjaga-jaga. Apapun yang terjadi, aku berharap bahwa perampoklah yang menang. Namun, jika kupikir-pikir lagi, rasanya mustahil, karena mereka tidak punya sihir.

Mereka berlima bangkit dari tumpukan pasir. Masing-masing dari mereka mengibas-ibas kemeja mereka. Lalu mereka melihat serigala tadi. Mataku terpaku sampai-sampai aku lupa untuk berkedip. Verciel memandangi mereka. Aku menebak kalau dia sedang tersenyum sinis, dengan mata yang memandang ke bawah, bibir dengan satu sisi yang terangkat, dan tangannya siap untuk menampar mereka dengan sihirnya.

Aku melihat pria yang paling depan dari empat orang perampok lainnya, memindai sekitar, dan tanpa sadar pandangan kami bertemu. Aku langsung menurunkan wajahku, dan berpura-pura mati lemas dengan posisi terlungkup.

Aku merasakan ada tali-tali tak kasat mata yang menjalar dari kakiku. Awalnya aku merasa geli, namun akhirnya aku merasa ngeri sendiri. Apa Verciel yang memerintahkan sulur-sulur tak kasat mata ini untuk melilitku? Aku mencoba menggerakkan lenganku, namun benar, sulur-sulur ini melilitku. Aku berusaha menggerakkan kakiku, namun aku seperti kaku dan mati rasa. Mulutku bergetar, peluh menetes bak air hujan menetes di jendela.

Wajahku mungkin pucat, lebih pucat dari dandanan badut di Salazen. Aku tak bisa menghentikan bulu mataku yang bergerak ketika sulur-sulur itu menarikku ke atas. Kepalaku kubiarkan terjatuh menghadap tanah, dan kakiku yang memakai flatshoes pada sebelah kakiku lemas diangkat oleh sulur-sulur itu. Aku menutup mata dan berusaha memikirkan apapun.

Namun aku tak bisa.

Jantungku ingin meloncat dari dadaku ketika sulur itu menarikku lebih tinggi lagi. Aku mendengar jeritan anak laki-laki dan perempuan.

"Apa ini? Le—lepaskan aku!" jerit Raph.

"Lepaskan!" Helen menjerit juga.

Jadi bukan hanya aku saja. Aku tebak pasti mereka menggeliat-geliat di udara sekarang. Namun sulur ini lebih kuat dari sebuah rantai besi.

Jantungku mencelos seperti ingin pecah ketika sulur ini menarikku ke arah kiri. Aku mengikuti tarikan sulur itu. Mungkin aku seperti seorang putri tidur yang melayang-layang di udara dan perlahan bergerak ke arah yang ditentukan. Aku merasakan teriknya matahari yang membakar sampai ke tulang-tulangku. Aku bisa saja ketahuan pura-pura mati dengan mengeluarkan peluh. Gawat, usahaku sia-sia.

Setelah melayang agak lama, aku berhenti. Akhirnya. Tidak ada kesempatan untuk mengintip sekarang. Aku tidak bisa memastikan apakah Verciel mengawasiku atau tidak.

"Jadi, mereka ini adalah tawananmu? Atau penjahat yang bersalah?" tanya seorang laki-laki yang bersuara berat itu. Suaranya terdengar dekat denganku. Berada persis di belakangku. Bukan Verciel karena suaranya lembut seperti sutera bukan mendesis seperti ular.

The Hidden CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang