22

1.8K 149 24
                                    

Kepingan 22

AKU BERSANDAR PADA DINDING GOA. Helen tertidur dipangkuanku, dan cowok yang menemaniku sampai di sini--Raph--tertidur disebelahku.

Rambut pirangnya bergoyang mengikuti irama angin. Dengkurannya nyaris tidak kudengar. Mulutnya yang kecil terbuka sedikit. Mungkin hidungnya tersumbat sehingga tidak bisa bernapas dengan baik jika menggunakan hidungnya. Kedua tangannya menjadi bantalan kepalanya. Dia terlihat lelah sekali, karena dinginnya udara tidak membuatnya bergerak sedikitpun.

Tetesan ai dari langit-langit goa membasahi gaun hijauku. Kupikir, flatshoes hijau yang kupakai sekarang sangat menggangguku. Jadi kulepas sepatuku, lalu meletakkannya di samping Raph.

Tubuhku ingin sekali untuk membaringkan dirinya dan menutup mata. Tetapi otakku menghalau semua keinginan tubuhku yang menjadi keingianku juga. Aku tidak bisa tidur, karena di hari ulang tahunku, hal yang buruk terjadi.

Kepulan uap air masih dapat kulihat walau sang raja cahaya mengintip dari lubang-lubang goa yang berada di langit-langitnya. Ah, sudah berapa lama aku berdiri di sini, menyadari kalau ini bukanlah mimpi, tapi ini kenyataan. Pamanku tidak ada. Orangtuaku juga. Ratu dan Magisterium akar dari semua ini.

Tetapi tetap kuyakinkan diriku, harapan masih ada. Takkan pernah pudar.

Raph mulai menggerakan tangannya yang sedang ditindih oleh kepalanya. Bulu matanya bergerak-gerak, bibirnya mulai bergetar. Mungkin tubuhnya sudah merasakan kedinginan, sebab dari tadi kulihat dia tidak merasa kedinginan sejak dia tidur.

Dia membuka matanya. Dia mengangkat kepalanya, menemukanku yang sedang menatap mulut goa yang ada beberapa langkah di depanku.

"Hey," sapaku tanpa memandangnya.

Dia duduk dan menyilangkan kakinya. Celana panjangnya telah basah akibat tetesan air goa. "Kau tak tidur?"

"Otakku menolak untuk tidur," jawabku.

Dia terbelalak. "Bagaimana bisa kau bertahan semalaman tanpa tidur? Terlebih lagi kau pasti lelah berlarian kesana ke sini menjauhi Verciel."

"Entah," jawabku singkat. "Lagipula, aku tidak mengantuk. Mungkin Verciel mengutukku dengan kutukan anti tidur."

"Aku tak pernah mendengar kutukan anti tidur."

"Aku bahkan tidak peduli tentang itu," sahutku.

Dia berdiri, lalu duduk di sebelahku. "Masih kepikiran paman?"

Aku mengangguk pelan. Aku menunduk ke bawah. "Aku takut terjadi sesuatu padanya."

"Kita harus temukan Order kurang dari seminggu," jawabnya. "Mungkin tiga sampai empat."

"Kapan kita pergi dari sini?"

"Tunggu adikmu bangun. Aku prihatin kepadanya. Dia lelah sekali."

Aku menyibakkan rambut lurus hitam adikku itu. Dia terlihat pulas, dengkurannya tidak seperti Raph tadi, tetapi terdengar keras di telingaku. Dia meletakkan tangannya pada pahaku. Aku membelai-belai kepalanya.

"Seharusnya kutitipkan dia pada Erie. Aku tak mau dia kenapa-kenapa."

Dia terdiam sejenak. "Jadi, pamanmu yang ditangkap ya? Lalu orangtuamu?"

"Orangtuaku mengalami nasib yang sama dengan paman," aku menghela napas. "Sebelas tahun yang lalu."

"Oh Maaf," katanya menyesal.

"Tak apa. Aku tak mau kehilangan orang yang kusayangi kedua kalinya."

"Baiklah. Aku sudah sering mendengar perkataanmu itu walau aku baru kenal denganmu hanya beberapa jam," katanya mendesah.

Sinar mentari kini telah tampak melalui lubang di langit-langit goa. Aku bisa melihat cahayanya merambat lurus, menyinari muka adikku. Ada banyak lubang di atas sini. Sinar mentari juga menyinari lumut di dinding goa.

"Hari semakin siang saja." Dia beangkit berdiri, meregangkan tubuhnya, lalu keluar dari goa. "Ayo cari udara segar!" ajaknya

"Nanti saja, Helen belum bangun," jawabku.

Sinar mentari semakin terang dan menghangatkan wajahnya. Membuat alisnya mengerut, mulutnya terbuka sedikit, lalu aku mendengar desahan. Lalu, matanya terbuka. Pas sekali Raph menghilang dari mulut goa.

"Merasa enakan?" tanyaku.

"Hm...," jawabnya sambil menggeleng.

Dia tersenyum. "Berapa lama aku tidur?"

"beberapa hari," candaku.

"Oh ya?" tanyanya meledek. "Kupikir Verciel akan menemukan kita sebelum aku tidur kembali."

Kami tertawa berbarengan.

Tetapi kami berhenti sebelah Raph berteriak dari luar. "Alice! Alice! Kemari deh!"

"Apa?" sahutku dengan volume tinggi.

"Sudahm kemari saja!"

Baiklah. Raph memang aneh ya. Aku berjalan menuju mulut goa. Menuju lelaki berrompi hitam itu. Dia membelakangiku. Kepalanya tertunduk. Sepertinya dia sedang melihat sesuatu.

"Apa?" tanyaku. Helen menyusulku dari belakang.

Dia berbalik, mukanya kaget. "Ini," dia menyerahkan tangan kanannya yang memegang sebuah surat perkamen.

"Apa itu?" tanyaku sambil memandang kertas itu.

"Entah. Sebuah burung merpati mengantarkannya, lalu aku melihat namamu pada pita yang menggulung perkamen itu."

Aku melihat pita putih yang menggulung perkamen itu dengan tulisan dari tinta warna hitam. Ada tulisan dengan ukiran yang bagus. Aku sepertinya kenal tulisan ini.

Untuk Alice Woodsman.

Tentu aku tahu siapa yang mengirim surat ini. Aku merampas perkamen itu dari tangannya.

"Santai saja, dong," protesnya. Tetapi aku tidak memedulikannya.

Ini surat dari Paman Aron.

The Hidden CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang