37

1.4K 118 12
                                    

Kepingan 37

AKU MENGAMBIL POSISI BERLUTUT. Kutatap mata Verciel yang membelalak. Kau satu tahu akan hal ini? Aku akan habis. Akan habis. Dia datang dan menjalankan perintah Ratu, untuk mempertahankan derajatnya sebagai tangan kanan Ratu. Namun, sekarang dia terkapar di depanku, dengan robekan belati di jantungnya.

Aku maju selangkah, dan kubelai rambut Verciel. Aku akhirnya menyadari kalau dia benar-benar sudah mati ketika tanganku kuletakkan di atas kepalanya, dan tidak ada pergerakan lawanan. Kepalanya dingin, kulitnya semakin memucat, padahal kulitnya sudah pucat kalau dia masih hidup. Tanganku berjalan ke pipi, dan kurasakan tubuh pucat yang sedingin es batu. Darah yang keluar dari hidung dan mulutnya mulai mengering, ketika aku mendekatkan hidungku ke darahnya ... oh astaga, bau sekali!

"Verciel," bisikku. "Kau takkan bisa merenggut cermin ini darimu."

Tanganku kutarik dari wajahnya, dan aku menyambar kantong jubahnya. Kuambil sesuatu yang tak lama berada di tangan Verciel, cermin itu berkilauan ditempa sinar mentari. Aku melihat bayanganku yang tersenyum ke arahku. Lalu, kumasukkan cermin itu ke dalam tas selempangku.

"Itu sebabnya aku tidak memberikannya padamu," tambahku. "Aku percaya pada apa yang tidak kelihatan. Pamanku mengajarkan hal itu. Dia bilang, bahwa yang tidak kelihatan, belum tentu tidak nyata. Bahkan itu sangat nyata." Aku menjawab semua pertanyaannya padaku.

"Aku telah memberimu kesempatan untuk menyerahkan cermin itu padaku, namun kau selalu membuangnya!" Perkataan itu yang dia lontarkan kepadaku setiap saat. Namun aku diam saja waktu itu.

Kurasakan beberapa orang melangkah ke arahku. Aku sontak menoleh ke belakang ketika jemari-jemari halus menggenggam bahuku. Raph dan Helen melihat mayat Verciel yang sudah terkapar mati karenaku.

"Setidaknya tidak ada lagi yang mengejar kita," ujar Helen.

"Kau hebat Alice," dia tersenyum padaku. "Bahkan perampok bersihir itu, mereka tidak sanggup membunuhnya dengan tongkat sihir. Namun lihatlah dirimu. Kau membunuhnya hanya dengan sebilah belati yang kuberikan padamu di goa kemarin."

"Perampok itu hanya menonton dari belakang kita," tambahnya.

Aku tertawa kecil. "Aku hanya membunuhnya di saat-saat dia mencapai titik terlemah, kau tahu?" kataku, "dia membiarkan dadanya berada dekat dengan tanganku, di situlah aku merobek jantungnya."

"Namun sungguh, aku masih tidak menyangka akan apa yang terjadi." Aku melayangkan pandanganku ke mayat Verciel. "Maksudku, lihatlah dia. Tangan kanan Ratu. Dan untuk itu ..., aku harus berurusan dengan Ratu untuk ini."

"Tidak setelah kita sampai di Order," tukas Raph.

Aku menoleh dan memandang mata hitamnya itu. Benar juga. Order akan membantuku dan aku tahu akan hal itu. Aku yakin di sana akan ada seseorang-mungkin lebih kuat dari Ratu yang akan membantuku dalam hal ini. Aku yakin dia akan memberiku semacam perisai sihir yang melindungiku dari serangannya. Apapun itu, aku yakin paman benar. Di Order aku akan mendapat perlindungan dan akan mendapat semua jawaban dari pertanyaanku itu.

"Kau benar."

Aku memandang ke belakang. Jauh di belakang Raph dan Helen, Magisterium dan perampok itu bergeming dan menatap kami. Entah apa yang akan tentara Verciel itu lakukan, membunuhku, atau mengajak perang denganku. Namun aku tidak peduli.

Aku ini seorang pembunuh.

"Namun, apa yang akan kita hadapi sekarang?" tanyaku pada Raph. Aku melayangkan pandanganku darinya, melihat lagi jauh di belakangnya. Magisterium itu berdiri di belakang para p erampok. Seolah-olah mereka lupa kalau mereka tidak berperang.

"Entahlah." Raph menggaruk-garuk kepala, menghindari bagian kepalanya yang luka. "Apapun yang akan terjadi di sini, kita harus pergi!"

Sekali lagi aku melihat mayat ini yang berada di sebelahku. Darah berlumuran di tanah salju di sekitar mayat ini, darahnya seolah-olah merambat masuk ke dalam butiran salju. "Aku merasa ngeri," kataku cepat-cepat.

Aku merasakan ada yang bergerak. Bukan, bukan dari mayat ini, namun kali ini dari belakang Raph. Aku menoleh, dan salah seorang Magisterium-dia berjubah hitam, mengeluarkan tongkatnya dan menunjuk kami dengan tongkatnya.

"Raph!" Desisku. "Bagaimana ini? Lihat itu?" Aku memberi kode pada Raph agar dia menoleh ke belakang juga.

Magisterium itu melangkah maju cepat-cepat, sampai akhirnya berhenti beberapa langkah di belakang kami. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, membungkukkan badanku, dan siap menerima ledakan sihir dari Magisterium itu ....

Namun, aku tidak merasakan apapun.

Aku mengintip, dan ternyata dia tidak menyihir kami. Lalu siapa? Mayat itu? Aku membalikkan badan kembali, dan melihat Verciel terangkat di tanah beberapa senti. Lalu dia terangkat sangat tinggi, dan akhirnya di ditarik mengikuti arah gerakan tongkat Magisterium yang maju tadi, menuju perkumpulan Magisterium yang di belakang perampok itu.

Magisterium yang mengangkat Verciel dengan sihirnya, menatap sinis padaku. "Kau pikir kau akan baik-baik saja? Kau salah gadis muda!" Dia mendesis. "Tunggu sampai Ratu mengetahui hal ini ... dan pamanmu itu akan melihat kepalamu yang terputus dari badanmu!" Dia membuang napas, dan dia berbalik badan, kembali pada perkumpulan Magisteriumnya.

Angin membawa butiran salju, datang dan memutari Magisterium itu, membuat perampok itu menyingkir dari depan mereka. Angin itu berputar-putar sangat kencang seolah-olah mereka adalah pusat dari perputaran angin itu. Aku melihat Verciel melayang-layang di udara, di barisan depan.

Kemudian, mereka menghilang ketika angin itu mereda.

Perampok itu yang sekarang menghampiri kami. Aku tetap memasang posisiku yang berlutut, seolah-olah aku masih tidak menyangka akan apa yang terjadi. Aku baru saja membunuh satu orang?

Dalam waktu beberapa menit, mereka tiba di depan kami. Hanya beberapa langkah jarak antara kami. Pria itu-pemimpin perampk itu, sepertinya-menatap sinis terhadap kami.

"Siapa kau?" tanya pemimpin perampok itu-yang menarikku dengan sulur-sulur sihir tadi itu padaku. "Dan kekuatan apa yang kau miliki sampai-sampai kau bisa membunuhnya?"

"Tidak ada," jawabku singkat.

"Tidak mungkin." Dia menyerngit. "Jenis apa kau ini? Penyihirkah atau Elementor?"

"Apa maksudmu? Kami tidak tahu." Alis Raph terangkat ke atas.

"Lupakan. Kemana tujuan kalian?" Dia melipat tangannya, memutar bola matanya ke atas, serta memandang kami sama seperti cara pandang orang kepada muntahan yang ada di tanah. Jijik.

"Mungkin Elber," sahurku.

"Tidak bisa!" tukas pria itu. "Kau takkan menyentuh Elber."

"Apa maksudmu?" tanya Raph dengan alis yang menyerngit.

"Kalian pasti orang jahat," tuduh si pria itu. "Orang jahat tidak bisa menyentuh gerbang Kota Elber sekalipun."

"Kau yang jahat, perampok!" Tukasku. "Tinggalkan kami di sini, atau Ratu akan menemukan kami, dan kami akan dibunuhnya!"

"Jadi kau buronan Ratu ya?" Dia mengusap pipinya dengan tangannya. "Kau yang penjahat. Tidak mungkin Ratu akan menangkap orang yang taat pada peraturannya."

"Dan kau ... akan menerima hukumannya di Elber nanti."

---------------------------

Author's Note:

Hei! Maaf ya lama updatenya, soalnya sibuk wuakakaka.

Btw thanks for 6K reads, and 1K votes!

Like? Vomments! :D

The Hidden CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang