30

1.5K 139 18
                                    

Kepingan 30

"LEPASKAN AKU!!" aku menjerit.

Aku menggeliat untuk melepaskan diriku dari seretan salah seorang pria berjubah hitam ini. Dia menggenggam kedua tanganku hanya dengan satu tangannya, dia menyeretku tanpa menoleh ke belakang. Verciel berada di barisan paling depan. Aku tak bisa melihatnya, karena tertutupi oleh para Magisterium ini.

Salah satu flatshoes-ku tertinggal di belakang, namun aku tak bisa mengambilnya. Aku menendang kakiku, berharap mereka mengalihkan perhatiannya padaku. Aku menjerit, namun mereka tetap bergeming. Aku harus apa lagi?

Aku menghela napas. "Kemana kau akan membawaku pergi?" tanyaku kepada Magisterium yang membawaku. Aku memaksa agar diriku tetap tenang. Karena, kalau aku tenang, aku dapat b erpikir jernih.

Dia menoleh ke arah kiri. "Ikuti saja kami," jawabnya ketus.

"Apa kau akan membawaku sendiri? Kepada Ratu?" tanyaku.

Sepersekian detik, Magisterium itu diam. Lalu, dia menjawab, "Mungkin."

"Tolonglah," mohonku. "Aku harus melihat adikku, dan temanku." Aku memasang muka memelas, berharap aku bisa kabur ketika mereka lengah.

Tiba-tiba, mereka berhenti. Mereka semua. Lalu, seorang pria Magisterium datang dan menghampiriku. Semua anak buahnya menyingkir untuk memberi jalan darinya kepadaku.

Mukanya yang putih, bibirnya yang pucat, mata merahnya menatapku lekat-lekat. Aku merasa ngeri ketika dia berlutut dan mendekatkan wajahnya kepada wajahku. Napasnya bau, dia hanya memandangiku sepersekian detik. Aku melihat kepulan uap setiap kali dia mengendus.

Aku hampir mengira dia akan mengecupku.

Aku bergetar. Dingin dan ketakutan sudah cukup sukses membuat jantungku bergetar. Mungkin bibirku menjadi sepucat bibir Verciel sekarang. Mataku juga bergetar, jantungku berpacu layaknya kuda yang berlari sejauh beratus-ratus mil. Tanganku berkeringat, kedua tanganku sudah dirantai, namun salah seorang anak buah Verciel masih memegang erat tanganku selayaknya dia menggengam erat kantung emas yang dia dapat dari Ratu.

"Apa yang kau mau sebelum kau mati, Alice?" dia berbisik padaku. Jarak antar batang hidung kami tidak ada satu jengkal. Nada yang terdengar lembut dan mematikan itu membuatku diam seribu bahasa. Suaranya berat, matanya membelalak kepadaku, dan ekspresi datarnya membuat aku seperti melihat sebuah monster, yang siap memakanku sekarang juga.

"Aku sudah memberimu kebebasan." Dia menaikkan volume suaranya.

"Namun ...." Dia mengulurkan tangannya, lalu meraba pipiku. Tangannya tertutupi oleh sarung tangan hitam, berbahan halus, membuatku geli.

"Hentikan," jawabku datar.

"Namun ...," dia melanjutkan kata-katanya. "Kau membangkang."

Kini, tangannya mencengkram erat leherku. Jempolnya menekan erat leherku. Mataku membelalak, jempolnya telah menahan oksigen masuk kedalam ruang paru-paruku. Aku menendang-nendang, namun dia tidak memedulikanku.

Ingin aku berkata, hentikan! Hentikan! Aku akan lakukan apa yang kau mau! Namun, paru-paruku sudah miskin oksigen, aku membuka mulutku untuk mencuri banyak oksigen di sini, namun apalah gunanya, itu sia-sia.

Mata Verciel membelalak padaku, salah satu sisi bibirnya terangkat, menunjukkan gigi putih yang berbaris rapih. Kedua tangannya makin erat menekan leherku.

"Kau ...." Dia mengencangkan cengkramannya.

Aku menggerakkan tanganku, namun anak buahnya menahannya. Aku kalah kuat. Magisterium mengelilingi kami berdua, dengan satu anak buahnya yang memegang tanganku. Jadinya mereka mengelilingi kami bertiga.

"Akan ...," dia melanjutkan kata-kataku. Dia mengangkat leherku, yang juga mengangkat kepalaku. Kata-katanya terdengar jelas di telingaku walau aku dalam keadaan sekarat sekarang. Aku mendengar suaranya yang halus namun mematikan ... bagai kegelapan datang untuk menjemputku menuju ke dalam maut selamanya.

Hentikan! Aku berteriak dalam hati.

"Membunuhmu!" Dia membenturkan kepalaku ke tanah bersalju ini.

Mataku yang tadinya membelalak, kini kelopak mataku mulai menutupi mata. Pandangan menjadi kabur, Verciel tersenyum, lalu tertawa. Tawanya makin keras seiring dengan kaburnya pandanganku.

Tubuhku melemas, bagaikan sebuah selembar kertas yang tipis yang jatuh dari ketinggian. Seperti daun coklat yang jatuh, terlepas dari pohon kehidupan, dan akhirnya jatuh menuju kematian abadi. Aku merasakan bola mataku berputar, dan bibirku berhenti bergetar. Namun, anehnya bola mataku kembali ke posisi semua, hanya saja, semuanya menjadi lebih kabur. Seperti melihat sesuatu di balik kabut pekat.

Magisterium itu melepaskan cengkramannya kepada tanganku, yang menyebabkan tanganku jatuh ke tanah dalam keadaan terantai. Kedua tangan Verciel masih menekan leherku. Semuanya menjadi lemas.

Lalu, pandanganku menjadi gelap.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Author's Note:

Happy 3,3K readers! Semoga ceritaku yang abal ini gak akan mengecewakan kalian yah! Terus aja baca, dan temukan jawaban dari setiap misteri yang bermunculan di setiap kepingannya. :D :) ☺☺☺☺

Hayoloh, Alice kenapa itu? Matikah? Aku matiin aja ya, tokoh utamaku ini? :p ☺😏😛😜😜😜😜😛

The Hidden CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang