33

1.4K 121 6
                                    

Kepingan 33

TANGANNYA TERANGKAT SEBELUM dia merasakan detak jantungku.

Kurasakan dia bangkit berdiri, berjalan menjauhiku. Pasir beterbangan menuju wajahku akibat ditendang oleh Verciel. Ada yang masuk ke hidungku. Ingin sekali aku bersin, namun kutahu aku tidak boleh. Atau ..., mereka akan benar-benar membunuhku.

"Percuma saja," katanya kesal. "Dia sudah mati."

Yang kudengar hanya hembusan angin. Tidak ada yang berani berbicara. Langkah Verciel terdengar semakin menjauh, namun tangannya yang dingin tadi masih terasa di dadaku. Perlahan, dingin itu mulai sirna dan hilang.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya salah seorang anak buahnya.

Verciel terdiam sebentar. "Istirahatlah dibawah pohon kering ini. Kita akan melanjutkan sampai keluar dari kota terkutuk ini."

Lalu dia berbicara kepada Raph dan Helen, "Kalian berdua! Angkat mayat teman kalian itu!" Aku tahu itu tanpa melihatnya, karena siapa lagi yang disuruh mengangkatku, kalau bukan mereka berdua? Aku tahu itu.

Aku mendengar empat kaki melangkah pelan kepadaku. Aku mengendus ketika pasir-pasir ini masuk ke dalam pasirku. Lalu mereka berlutut di sebelahku. Aku merasakan tangan yang cukup hangat menyentuh lenganku.

"Alice?" bisik Raph ragu-ragu. "Apa kau di sana?"

Benar, kan. Raph dan Helen pasti yang di suruh mengangkatku. Aku mengangguk kecil, sambil mengintip. Astaga ... debu menutupi wajahnya, ada goresan luka yang cukup panjang yang melintang dari kantong mata kirinya sampai ke bagian rahang atasnya. Aku yakin salah seorang Magisterium atau bahkan Verciel menyayat wajahnya dengan belati.

"Akan kuangkat kau," katanya padaku. "Helen, kau tidak perlu."

Helen mundur selangkah. "Jaga dirimu, Alice," bisiknya.

"Hm," aku berdeham kecil.

Raph meletakkan tangannya pada punggungku dan pada bagian bawah pahaku, lalu aku merasakan diriku terangkat. Badanku tidak merasakan adanya pasir lagi. Panasnya membuat peluhku bercucuran saja bagaikan air hujan yang mengalir pada jendela. Peluh ini terus mengalur dari dahi. Aku rasakan tangan kekar Raph kebasahan, mungkin karena keringatku yang sangat banyak.

Raph hanya berdiri di tempatnya, sambil membawaku.

"Mengapa kau tidak tinggalkan Alice di sini?" tanyanya dengan nada agak kesal. "Tidak kau lihat, dia tidak berguna lagi! Aku tak kuat harus melihat temanku mati setiap saat!"

Aku merasakan seperti ada orang yang berjalan menuju kami bertiga. Raph membenarkan posisi tangannya yang mengangkatku, sehingga membuat leherku yang lemas memutar menghadap tanah pasir. Inilah kesempatanku untuk mengintip.

Dua kaki tertutupi celana panjang dengan jubah hitam yang berkibar akibat aliran angin, dan sepatu bot hitam mengkilap berjalan kepada kami.

"Aku ingin Ratu melihat, bahwa tak ada yang bisa melawannya. Kalau kau melawan sekali lagi ...," Verciel mengambil jeda sebentar. "Kau akan seperti teman konyolmu ini."

Lalu dia berjalan menjauhi kami. "Kalian, ambil cermin itu dari tas yang dibawa oleh mayat malang ini."

Selanjutnya, para Magisterium itu datang dan mengacak-acak isi tasku, dan mengambil cerminku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Aku tahu Raph ingin berbuat sesuatu, agar cerminku tidak dirampas, namun, dia juga hanya bisa diam bergeming. Kalau dia melawan, dia pasti mati. Dia pasti menuruti kata-kata Verciel.

Raph berjalan sambil membopongku setelah Verciel memerintahkan untuk berjalan kembali. Kami berjalan cukup lama. Aku masih menatap tanah. Rupanya kami bertiga—Raph, aku, dan Helen berada di barisan paling belakang. Jauh di depan kami, sekitar dua puluh orang Magisterium berjalan rapih, sambil mengangkat tongkat mereka untuk berjaga-jaga. Sudah pasti, di barisan depan ada Verciel.

Namun, tiba-tiba Raph berhenti, Helen juga. Barisan Magisterium juga. Pastilah Verciel yang menyuruhnya. Padahal, hanya beberapa puluh langkah, kami telah meninggalkan tempat ini.

"Oh ... oh ...," kata Raph ngeri. "Gawat ...."

"Ada apa, Raph?" tanyaku tanpa memutar kepalaku.

"Kita ditahan, sepertinya," jawabnya singkat.

Aku melihat Magisterium itu mengangkat tongkatnya untuk siaga. Aku tak bisa melihat siapa yang ada di depan Magisterium. Mereka menghalangi pandanganku. Namun, aku dapat mendengar Verciel yang berkata nyaring melawan suara yang ditimbulkan oleh angin yang berlari.

"Menjauhlah, kalau kalian ingin selamat."

Aku mendengar keheningan sejenak. Tak ada balasan dari gertakan Verciel.

"Apa yang mereka mau?" Aku tidak menggeser posisi kepalaku yang menghadap tanah pasir sekarang.

"Entah. Mungkin para perampok itu ingin emas Verciel," bisik Raph.

Sebelum Raph benar-benar menyelesaikan perkataannya, aku mendengar suara balasan Verciel.

"Kami takkan biarkan kalian menyentuh Elber lagi!"

Suaranya agak berat, tidak kalah keras suaranya dibandingkan Verciel, malahan lebih keras. Verciel pasti tidak terima dengan balasan perampok itu.

"Beraninya, kau?!" teriaknya.

Tak lama setelah teriakannya, aku mendengar sebuah ledakan. Ledakannya tak jauh dariku. Aku bisa mendengarnya, dan merasakannya. Dentuman yang berat itu membuatku ngeri sendiri, apalagi pasir-pasir yang terbang dan melekat di badanku membuatku bertanya-tanya apakah yang terjadi saat ini, karena aku hanya bisa menutup mata sekarang.

Setelah suara ledakan itu, aku merasakan diriku terlepas dari bopongan Raph, tak lama kemudian, kepalaku membentur tanah. Rasa pusing menghantui kepalaku, seolah-olah dunia bergoncang sekarang. Aku masih menutup mata, aku menautkan kedua alisku, dan menenangkan kepalaku agar tidak pening lagi. Aku menarasakan denyutan sakit yang ada di kepalaku bagian belakang, setiap denyutnya membuatku ingin berteriak karena kepalaku menabrak tanah kelewat keras. Aku sampai-sampai mengira kalau aku akan pingsan lagi.

Kubuka mataku, melihat dunia sekitar. Hanya ada Magisterium yang berserakan, seperti habis terjatuh, ada di sana dan di sini. Kami jauh dari mereka. Sementara itu, Verciel terlihat masih berdiri di depan perampok-perampok itu dan mengepalkan tangan.

"Apa yang terjadi?"

"Mereka membuat beberapa ledakan di sana dan sini. Ada ledakkan yang terjadi di dekat kita, sehingga kita terpental." Raph merapikan bajunya yang ternodai oleh pasir.

Darah mengalir dari kepalanya.

-------------------------------------------------------------

Author's Note:

Hi! Selamat hari Jumat Agung bagi yang merayakan! (Sebenernya author jg ngerayain sih hahahahaha 😅)

Maaf ya, telat update THC nya.

Gimana? Seru ga si? Vomments bisa kalee 😅 saran dlm bentuk komen selalu diterima asalkan disampaikan dgn sopan😆😊☺

Thank you, for 4,2K reader! Love u so much! 😊💕

The Hidden CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang