26

1.6K 134 1
                                    

Kepingan 26

VERCIEL MENGANGKAT SALAH SATU sisi bibirnya.

Jarak kami mungkin ada  sepuluh langkah dengan mereka. Setiap kali Verciel dan tentaranya maju selangkah, kami mundur selangkah.

"Suatu fakta yang tak bisa kubantah adalah: bahwa aku sangat rindu dengan muka kalian." Masih mengangkat salah satu sisi bibirnya, dia mengangkat tangan kirinya dan mengibaskan jubahnya.

"Kau tahu," lanjutnya, "Aku telah menghabiskan malamku untuk mencarimu di Kota Korch yang terkutuk ini. Dan ternyata, kalian baru saja masuk ke kota ini." Dia memasang muka memelas dan membuatku mual seketika.

Kota Korch? Tanyaku dalam hati.

"Benar, Alice," jawabnya dengan seringainya itu.

Apa? Apa? Dia bisa tahu apa isi pikiranku? Tidak mungkin, rasanya. Manusia tidak mungkin bisa melihat pikiran orang lain. Bagaimana bisa? Aku melihat Verciel yang menyeringai kepadaku. Sial, pikirku. Aku lupa kalau dia penyihir. Sementara itu, Raph dan Helen menoleh ke arahku dengan tatapan yang meminta penjelasan.

"Kau lupa, huh?" sekarang dia menatap sinis kepadaku. "Aku bukan manusia biasa, kau tahu? Dengan sihir, kau bisa lakukan yang kau mau."

Raph maju selangkah. Bola matanya berputar ke arah atas sementara kepalanya tertunduk. Mata tajamnya menatap pimpinan Magisterium itu. "Tapi dengan sihir, kau tidak bisa membunuh harapan."

"Apa yang kau mau, Verciel?" Aku menanyakan pertanyaan yang sebenarnya aku tahu apa jawabanya.

Dia hanya menyeringai dan mengangkat salah satu sisi bibirnya. Tangannya yang pucat berurat terulur ke arahku. "Berikan," katanya singkat.

Aku menggeleng. Perlahan, aku mundur selangkah demi selangkah, tapi dia maju satu langkah dan selangkah lagi. 

"Berikan," ulangnya. "Kau tak mau?"

"Tidak. Aku tak mau." Suaraku bergetar. Aku hampir saja jatuh, tapi Raph menangkapku, lalu membuatku berdiri tegap kembali.

"Sudah kukatakan kami tidak akan memberikan cermin itu padamu!" kata Raph tegas.

"Baik." Dia mengangkat salah satu sisi alisnya, lalu mengulurkan tongkat ke tanah. Entah apa yang akan dilakukannya kepada pasir-pasir di bawahnya. "Kau akan menyesal," desisnya.

Sebuah sinar hijau ditembakkan ke tanah pasir, lalu pasir-pasir berterbangan, membentuk sesuatu yang tidak jelas menurutku. Terbentuklah beberapa pasir yang berputar di depan Verciel. Seperti angin puting beliung. Lalu, pasir-pasir itu berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan.

Kalajengking itu menatap tajam pada kami.

"Oh, tidak!" bisik Helen.

Kalajengking itu bisa mereplikasikan diri mereka. Awalnya aku melihat ada lima, lalu mereka melipatgandakan diri mereka menjadi sepuluh, lalu lima belas, dan sampai tidak terhitung.

"Ini baru permulaan, sayang!" Seru Verciel yang ada jauh di depan kami. "Katakan saja kalau kalian menyerah, dan semuanya akan berakhir!"

Aku merasa mual.

Aku tidak mempedulikan apa yang dikatakan Verciel. Yang aku takutkan adalah kerumunan kalajengking yang berlari ke arah kami. Kami memutar tubuh kami, lalu berlari menjauhi kalajengking-kalajengking ini.

"Lalukan sesuatu, Raph!" seruku sambil berlari.

"Aku hanya punya belati!" jawabnya.

"Gunakan saja!"

Raph memang punya simpanan belati pada tasnya itu. Itu mengapa aku melihat tasnya terlihat penuh. Aku menoleh kebelakang, sepertinya kalajengking itu terus mengejar kami. Aku melihat Verciel dan Magisterium menghilang di belakang kami. Kami berlari sudah terlalu jauh.

Jantungku berdetak cepat kakiku bergerak selang-seling—kanan dan kiri—dan keringat semakin bercucuran saja. Aku melihat pasir yang berterbangan di depanku yang membuat mataku sakit, namun aku tidak memedulikannya. Kalajengking itu bisa melumpuhkanku dalam waktu tiga detik.

Matahari berada tepat di atas kepalaku. Kurasa aku akan terbakar. Rambut dan gaun hijauku berkibaran diterpa angin. Raph juga. Aku melihat dia, bernapas terengah-engah sambil mencari apa yang dia perlukan.

Sambil berlari, dia memutar tubuhnya ke belakang. Kini dia berlari mundur. Lalu melempar belati kepada kalajengking itu. Matanya mengecil, bibirnya bergetar, tangannya terayun kebelakang sambil memegang belati. Lalu dia mengayunkan tangannya ke depan, dan belatipun melayang.

Belatinya menusuk dua kalajengking sekaligus.

The Hidden CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang