32

1.5K 135 18
                                    

Kepingan 33

MEREKA BERHENTI setelah beberapa jam. Aku sempat tertidur di jalan, kuharap mereka tidak mencurigaiku. Mereka menurunkanku di tanah bersalju ini. Aku bisa merasakan kedinginan, aku ini seperti dimasukkan kedalam lemari pendingin saja.

"Kita sudah sampai di perbatasan," seru Verciel. "Lihat, Elber menanti kita!" Magisterium bersorak. Aku mencari-cari dimana Raph dan Helen ... dan ternyata mereka di seret seperti aku di hutan pagi ini.

Sinar mentari menghangatkan tubuhku. Aku tidak lagi bergetar. Aku juga melihat pepohonan yang lebat dan hijau jauh di depan sana. Kurasa setengah jam berjalan, kita akan sampai. Namun aku harus menjaga sikapku, jangan sampai mereka curiga.

Namun ada sesuatu yang terjadi ....

Suhunya mulai naik. Aku merasakan ada yang berbeda. Seperti mencelupkan air yang sedang direbus. Akan ada kenaikan suhu. Bukan hanya itu saja, aku dapat merasakan salju yang selembut kain, kini mulai menjadi kasar. Aku merasakan butiran pasir mulai menempel pada badanku yang lengket karena keringat. Keringat mulai berjatuhan, membentuk jalur berkelok-kelok dari dahi sampai ke leher. Walau aku memakai gaun tidak berlengan, tetap saja masih kepanasan.

Tiupan angin datang dan mencuri keringatku yang bercucuran seperti air terjun. Mulai kencang, hingga aku merasakan rambutku berdansa mengikuti arah angin. Gaunku juga ikut berkibar, namun aku menahannya dengan jari telunjukku agar kemaluanku tidak terlihat.

Butiran pasir yang ikut terbang mengikuti angin menabrak pipiku tanganku, dan kakiku. Ini lebih seperti badai pasir. Sinar mentari kini mulai menyengat kulit, aku merasakan sumber dari cahaya itu ada tepat di atasku. Dan mataku tepat tertutup di bawahnya.

Aku sudah tidak kuat lagi. Aku ingin sekali bangkit, lalu mencari tempat yang teduh, namun aku tidak bisa. Mereka akan benar-benar membunuhku.

Aku berusaha melupakan niatanku itu.

Untung saja aku memainkan peran seperti orang mati cukup baik tadi malam. Kalau tidak, mereka pasti akan membawaku pada Ratu. Paman bilang untuk kabur dari Ratu sangat sulit sekali. Mungkin Verciel bisa menekan leherku, menutup jalanan oksigen untuk mencapai paru-paruku. Namun, sebelum aku tercekik olehnya, aku telah mengambil napas yang sangat panjang. Hanya rasa nyeri yang kurasakan di leherku sekarang. Mungkin akan ada sedikit memar di sana.

Semua orang yang dekat denganku tahu kalau aku masih menahan napas. Aku sering pergi berenang di laut. Untung saja Kota Salazen berada di dekat pantai. Aku bisa menahan napasku untuk empat puluh lima menit. Jika kuhitung-hitung. Mungkin Verciel mencekikku hanya lima belas menit.

Verciel mungkin licik, namun kalah cerdasnya dengan aku.

Aku memutar perlahan leherku ke arah kanan. Nyeri sekali. Verciel tidak mengira-ngira kalau sakitnya seperti ini, karena dia kira aku sudah mati. Aku mengintip, dan menemukan Raph dan Helen menunduk. Mereka berlutut tepat dibelakang Magisterium-Magisterium itu. Mereka berusaha melindung matanya dari tipuan debu.

Ah ...! Debu masuk ke mataku. Mataku perih. Rasanya seperti mengoleskan matamu dengan irisan bawang merah, itu hal terbodoh yang pernah kulakukan waktu masih kecil. Paman mengambilkanku air dingin, lalu membasuh mataku dengan air dingin itu. Aku sempai mengira kalau aku akan buta selamanya.

Aku berkedip-kedip, dan akhirnya mataku kembali normal. Aku bernapas lega. Kini aku mengintip lagi, dan melihat kumpulan Magsiterium itu, aku tidak menemukan Verciel, dia pasti ada di barisan paling depan, sedang menyusun rencana.

Namun salah seorang Magisterium, dia berambut pendek hitam, matanya biru, mukanya tidak lebih pucat dari Verciel, dia menoleh ke belakang—tepatnya ke arahku. Aku langsung memutar leherku kembali, lalu menutup mata.

Gawat, pasti Magisterium itu melaporkan ini pada Verciel. Kalau ketahuan, bisa mati aku. Aku tidak boleh ketahuan. Aku harus yakinkan mereka kalau aku mati.

"Tuan Verciel," seru Magisterium yang melihatku. "Aku rasa ada yang salah dengan ...," dia mengambil jeda sepersekian detik. "Dengan mayat itu."

Aku mengintip sedikit saja.

Verciel berjalan ke belakang, untuk melihat Magisterium yang melaporkanku padanya. Dia berdiri tepat di depan anak buahnya itu. Muka ketakutan dipasang oleh pria itu.

"A ... Aku melihatnya, tuan," katanya sambil menundukkan kepala.

Aku kembali memutar kepala, menutup mata ketika Verciel berjalan pelan ke arahku.

"Dia sudahg mati!" bentak Raph. "Kau ingin memastikannya?"

Verciel tidak membalas perkataan Raph. Aku tahu Raph berusaha memperlambat langkah Verciel padaku. Sayang sekali, yang kulihat hanya kegelapan sekarang.

"Bajingan kau!" jerit Raph. Suaranya tampak keras sekali sehingga mengagetkanku. Padahal angin kencang sedang menampar kami. "Kau sudah membunuhnya! Kau tidak lebih dari seorang pembunuh!"

"Diam kau!" teriak Verciel. Suaranya melengking jauh lebih keras dari suara Raph. Aku mendengar suara tendangan dan jeritan Raph. Aku yakin Raph ditendang oleh Verciel.

"Hentikan!" jerit Helen. Dia menangis kencang.

"Jaga perkataanmu," kata Verciel datar. "Aku akan memastikan apakah mayat gadis ini adalah mayat sungguhan atau bukan."

Dia berjalan kepadaku, aku dapat mendengar setiap hentakan kakinya yang membuat jantungku berdebar-debar.

Dia menempelkan hidungnya pada hidungku. Napasnya yang bau merambat masuk ke dalam hidungku, aku ingin muntah sekarang juga. "Selamat tinggal, keponakan Aron," bisiknya.

Namun, dia melakukan sesuatu yang fatal, bukan menempelkan telunjuknya pada kedua lubang hidungku untuk memastikan apa aku bernapas atau tidak, namun sesuatu yang tidak bisa ku kontrol.

Dia menempelkan telapak tangannya pada dadaku. Tepat dimana jantung kecilku berdetak.

------------------------------------------------------

Author's Note:

Hmmm ..., Alice ketahuan gak ya, kalau dia itu cuma boongan mati?

Jangan cuma vote dong, saran dlm bentuk komen juga diterima dengan senang hati!

The Hidden CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang