01

8.6K 402 59
                                    

Kepingan 01

MATAHARI dari tempat persembunyiannya. Sinarnya tertumpah melewati jendelaku, sehingga aku bisa merasakan kehangatan sinarnya. Tetapi sebenarnya, aku benci pagi hari, karena aku malas untuk bangun di pagi hari.

Paman Aron pasti sudah membuka tirai penutup jendela yang ada tepat di samping tempat tidurku. Pamanku yang satu itu sangat suka dengan suasana pagi. Dia orang yang rajin dan murah hati. Setiap hari, dia bekerja pada sebuah toko buah di rumahku.

Aku membuka mataku, walaupun tubuhku menolaknya. Aku meregangkan tubuhku. Keinginan untuk tidur kembali tentu ada, tetapi kalau aku memutuskan untuk tidur kembali, paman pasti akan menyiramku dengan air panas.

Aku bangkit dari tempat tidur, dan memandang keluar melalui jendela di samping tempat tidurku yang sudah tua. Salju menutupi jendela, namun aku masih bisa melihat pemandangan Kota Salazen melalui bagian jendela yang tidak tertutup salju.

Hari terakhir pada suatu tahun selalu membuatku bahagia. Aku suka salju yang turun setiap kali akhir tahun, suasana dinginnya, dan hari jadiku yang keenam belas. Aku melihat pemandangan kota. Banyak rumah-rumah berjejer seperti sebuah ruko. Kebanyakan rumah di sini berlantai lebih dari satu. Sama dengan rumahku. Rumah-rumah Salazen—kota yang dihuni oleh manusia biasa—pada lantai dasarnya merupakan toko-toko mereka. Lalu pada lantai selanjutnya, barulah rumah mereka yang sebenarnya ada, seperti kamar, ruang keluarga, dan lain-lain.

Rumahku juga seperti itu. Rumah berlantai dua ini sudah berumur lima belas tahun. Pada lantai dasar ada toko buah pamanku, dia menjual berbagai buah segar. Lalu pada lantai dua, ada rumahku yang sebenarnya.

Kemudian, aku berjalan menuju cermin rias yang ada di sebelah pintu kamar yang sederhana ini. Aku melihat sebuah bayangan wanita berambut pirang, bergelombang dan masih acak-acakan. Kemarin, aku menghadiri pesta di kantor walikota Salazen. Aku memakai gaun bekas yang dipakai saat ibuku masih muda.

Aku menyisir rambutku agar rambutku tidak seperti raja hutan yang kusut. Aku melihat sebuah bayangan gadis bermata hijau, dengan kulit putih dan wajah biasa-biasa saja. Padahal, teman dan sekaligus sahabatku—Erie—dia mengatakan kalau aku adalah gadis yang tercantik di sekolah. Aku tahu dia sangat berlebihan.

Salazen hanya punya satu sekolah unggulan. Dan itu sekolahku. Aku bangga masuk ke sana. Pamanku mengatakan kalau aku orang yang berotak cair. Ya, tetapi aku tidak mau menunjukkan kemampuanku dalam hal itu.

Setelah menyisir rambut, aku keluar dari kamar. Ada sebuah koridor dengan empat pintu yang menandakan kamar masing-masing. Kamar paman, kamarku, kamar Helen, dan satu lagi kamar kosong. Kamar itu sudah tidak dipakai lagi semenjak orang tuaku meninggal. Paman bilang kalau kamar kosong itu dulunya adalah kamar tempat ayah dan ibuku berada.

Aku turun melalui tangga kecil dan sudah tua. Tangga yang terbuat dari kayu itu mudah sekali patah. Makanya pamanku selalu melarangku dan Helen untuk berlari sambil menuruni tangga. Itu akan sangat berbahaya untuk kami.

Setelah menuruni tangga, aku menemukan dapur. Tangga di rumahku hanya ada di dapur. Dapur kami berada di belakang toko buah paman. Tetapi aku melihat paman memasak susu di panci. Aku lihat jam, sekarang sudah pukul tujuh. Biasanya, paman sudah buka toko dari jam enam pagi. Dia sungguh rajin dibandingkan toko buah lainnya di Salazen.

Ketika dia melihatku menuruni tangga, dia menyapaku, "Hai Alice! Selamat hari jadi keenam belas!"



The Hidden CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang