Chapter 2

142 10 4
                                    


MAHENDRA, seorang pengusaha garmen yang telah menjadi usaha keluarga turun temurun akhirnya mengalami kebangkrutan. Penyakit stroke yang dideritanya menjadi pemicu utama yang membuat bisnisnya berantakan. Keluarganya terbelit hutang dimana-mana, sementara istrinya, Calista, tak bisa mengubah gaya hidupnya yang glamor meski keadaan ekonomi mereka benar-benar hancur.

Mahendra akhirnya meninggal setelah dua tahun mengidap penyakit tersebut. Perusahaannya telah dijual untuk menutup seluruh hutangnya. Begitu pula rumah mewahnya. Tak ada sepeserpun warisan, untuk anak dan istrinya, kecuali hutang-hutang yang bisa dibilang masih selangit.

"Aku sudah tak ingin lagi berdiam di tempat bobrok seperti ini!" Ujar sang ibu sambil mengembuskan asap rokok di sela bibirya yang bergincu merah menyala.

"Lalu apa yang akan kau lakukan dengan semua itu, bu?" Rosa menunjuk tiga buah koper yang telah disiapkan ibunya di samping meja ruang tamu.

"Aku tak bisa terus-terusan begini. Lalu apa kata teman-temanku jika menemukan seorang Calista tinggal dalam rumah reyot seperti ini?" Mata hijaunya berkilat penuh kemarahan.

"Lalu apa bagimu harta lebih penting dari pada kami?" Rosa meradang mendengar jawaban ibunya.

Hening. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut Calista. Tanpa banyak bicara lagi Calista segera menyeret koper-kopernya keluar dari rumah kecil yang mereka sewa beberapa bulan yang lalu. Tangisan sang adik, Trisia pun tak mampu menghentikan langkah ibunya. Mereka berdua hanya mampu memandang punggung ibunya yang semakin menjauh.

Mau tidak mau, Rosa yang masih berusia enam belas tahun itu akhirnya menjadi tulang punggung untuk Trisia. Mencoba mencukupi kebutuhan mereka berdua yang jauh dari kata cukup. Namun semua itu tak berlangsung lama. Rosa yang masih terbiasa dengan gaya hidupnya yang lama akhirnya mengambil jalan pintas dan membuat sebuah rencana.

"Ayo, sebaiknya kita pergi dari kota ini. Biaya hidup di sini terlalu besar Tris, aku benar-benar tidak sanggup." Wajah pucat Rosa membuat hati Trisia terenyuh. Bagi Trisia, Rosa adalah segalanya, Rosa yang telah membanting tulang untuk menghidupi mereka berdua hingga Rosa harus putus sekolah dan sebagai gantinya, Trisia akan selalu menuruti apapun yang akan dikatakan oleh kakaknya.

"Kemana kak?" Tanya Trisia penasaran.

"Ikut saja denganku. Sebaiknya segera kemasi barang-barangmu." Rosa mengusap kepala adiknya sayang. Trisia yang dibekali jiwa penurut yang didapatkannya dari sang ayah membuat Rosa merasa sangat beruntung memiliki adik seperti Trisia.

Tiga puluh menit mereka habiskan untuk berjalan kaki menuju stasiun terdekat. Suara kereta yang terngiang di telinga Trisia membuatnya bergitu senang meski ia tak dapat melihat wujud kereta yang berada di lantai atas stasiun secara langsung.

"Kita mau kemana kak? Kita akan naik kereta?" Tanya Trisia berbinar penuh harap.

"Tentu saja. Kita akan ke suatu tempat yang bagus, sayang. Duduklah di situ. Kakak akan membeli tiket sebentar." Ujar Rosa menunjuk tempat duduk yang berada beberapa meter di depan loket yang penuh sesak.

Trisia mengangguk, menarik tasnya menuju kursi yang ditunjuk oleh kakaknya. Hatinya begitu senang membayangkan ia akan naik kereta untuk pertama kalinya. Ia tak sabar menantikan kakaknya untuk kembali dengan membawa selembar tiket agar ia bisa segera menaiki kereta seperti yang dulu sering diceritakan oleh ayahnya.

Mata Trisia mengamati sekeliling ruangan tempatnya menunggu. Ruangan yang didominasi warna hijau itu penuh dengan aktivitas sibuk orang-orang dengan tas-tas yang cukup besar berjalan kesana kemari. Beberapa orang berseragam, berdiri membawa daftar menu di depan masing-masing restoran yang berderet di sepanjang koridor untuk menarik pengunjung menuju restoran mereka. Makanan itu terlihat menggiurkan, membuat perut Trisia bergemuruh.

Red Lie (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang