Chapter 7

87 5 0
                                    


Pikiran Leo tampaknya masih tertinggal di kantor meski tubuhnya tak lagi berada di sana. Bukan karena pekerjaannya yang menggunung, melainkan karena peluang emas untuk mengenal gadis itu telah menghilang begitu saja. Ia masih mempermainkan sedotan dengan mengaduk-aduk isi gelasnya sambil sesekali mendengus kecewa.

Adam, sahabat Leo yang menjadi tersangka utama atas kegalauan hatinya masih sibuk memerhatikan Leo yang berwajah kusut masai. Sudah sekitar lima menit mereka saling diam. Pandangan Leo terfokus pada buah ceri yang disematkan pada bibir gelas yang berbentuk ramping.

"Hei... Kau ini kenapa?" Tanya Adam mencairkan suasana kaku yang menyelimuti mereka. Tidak seperti biasanya Leo yang ceria justru berdiam diri dan melamun seperti ini.

"Tidak, hanya saja pekerjaanku di kantor terlalu banyak." Jawab Leo sekenanya.

Mendengar jawaban Leo, Adam mengerutkan keningnya. Kemudian ia terkekeh, takjub pada jawaban yang dilontarkan Leo. "Pekerjaan?" Tanya Adam di sela tawanya. "Sejak kapan kau jadi seperti Harry? Kau bahkan tidak terlalu peduli dengan pekerjaanmu."

Tentu saja, Leo sepertinya baru menyadari dengan siapa dia berbicara. Adam adalah sahabatnya sejak SMP dan ia paham betul bagaimana sifat Leo. Sangat bertolak belakang dengan Harry, yang cenderung pendiam dan gila kerja. Yang ia tahu, Leo tak begitu menikmati pekerjaannya karena ia memiliki sebuah impian. Impian yang harus dipatahkan demi kelangsungan perusahaan warisan ayahnya.

"Begitulah, pekerjaanku begitu banyak, dan kau malah menyuruhku kemari." Gerutu Leo. "Aku jadi harus kehilangan dia." Leo bergumam samar sebelum meneguk minumannya yang sejak tadi hanya diaduk-aduk olehnya.

"Dia?" Adam merasa janggal dengan kalimat Leo.

"Apa?" Leo balik bertanya. Sesaat Leo terkejut karena tanpa ia duga Adam mendengar gumamannya.

"Jadi katakan, apa dia perempuan yang membuatmu kalah taruhan semalam?" Tukas Adam dengan pandangan menyelidik. Bagi Adam, Leo memang orang yang mudah ditebak. Ketika Leo merasa tertarik pada seseorang, ia selalu memiliki ciri khusus yang kerap diperhatikan oleh Adam.

Untuk beberapa detik, Leo sempat ragu untuk mengatakan kebenarannya. Namun, akhirnya ia memilih untuk menceritakan semuanya. Bagaimana ia bertemu dengan gadis itu di club tempo hari, alasan mengapa ia melarang Adam yang memang sempat tertarik pada gadis itu ketika melihatnya di café, dan pagi ini, Leo akhirnya melihatnya dengan jelas, "Lalu kau buru-buru menyuruhku kemari. Padahal mungkin saja aku akan berkenalan dengannya pagi ini." Leo mendengus, kemudian meraih sebatang rokok dan menyulutnya sebagai tanda ceritanya telah usai.

"Oh... Jadi ini salahku? Maafkan aku Leo. Aku hanya berniat menyampaikan kerja sama padamu." Ujar Adam menyesal.

Leo mengangkat alisnya, menatap Adam setengah penasaran, "Kerja sama? Sepertinya bisnis temanku ini semakin sukses." Kemudian terdengar lagi suara tawa terkekeh-kekeh setelah Leo mengakhiri kalimatnya.

"Jangan mengejekku, Leo," Adam tertawa. "Aku perlu sponsor untuk peragaan busana di Belanda bulan depan."

"Tentu saja," Leo menyandarkan tubuhnya ke kursi dan tersenyum tenang. "Kau buat saja proposalnya dan tunjukkan padaku secepatnya."

Adam menatap Leo. Ia tahu, Leo memang orang yang selalu bisa diandalkan. Mungkin sebaiknya Adam perlu lebih bersyukur karena bertemu orang sebaik Leo. Jika tidak, entah apakah Adam bisa memulai karirnya menjadi desainer. Semua ini berkat dorongan Leo.

Berawal dari ketidak percayaan dirinya pada bakatnya, Adam selalu mendapatkan dukungan penuh dari Leo, mental maupun materi. Bahkan Leo pula yang membukakan jalan, hingga Adam mampu memulai bisnis yang dirintisnya sejak empat tahun yang lalu dan membawanya menjadi desainer ternama skala nasional.

Red Lie (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang