"Apa yang kau lakukan dengan asistenku?"
Suara itu terdengar berat di telinga Leo. Suara parau yang mendesis melalui gigi yang terkatup. Ciri khas emosi yang tertahan yang selalu ditunjukkan oleh kakaknya yang cenderung menahan perasaannya.
"Aku ingin bicara dengannya," ujar Leo tanpa memandang kakaknya yang bersandar pada kusen pintu. Lelaki itu sibuk mengamati adiknya yang tangannya masih terhubung dengan tangan asistennya.
"Dimana sopan santunmu? Dia bekerja untukku. Kenapa kau membawanya tanpa meminta izin padaku?"
Leo berbalik untuk memandang pemilik suara yang semakin terdengar sinis. "Pak Harry, saya mohon izin untuk berbicara dengan Trisia." Leo merendahkan suaranya, menahan amarah yang mulai bergejolak dalam hatinya.
"Tidak bisa. Ini masih jam kerja." Harry melangkah menuju meja Liana yang terletak tak jauh dari tempatnya bersandar, kemudian mengambil sebendel kertas di atas meja Liana. "Trisia, aku ingin kau mengopi ini," Harry mengangkat kertas itu di udara untuk menunjukkannya pada Trisia, "tiga kali dan tolong kaubelikan sebuah klip kertas berukuran besar."
"Baik pak." Trisia segera menarik tangannya dari genggaman Leo.
Kekecewaan terlihat jelas pada wajah Leo, "Aku akan mengantarmu."
"Tidak," sergah Harry. "Kau masuklah, aku ingin bicara denganmu." Tanpa mendengar jawaban Leo, Harry memasuki ruangannya dan membiarkan pintu ruangannya terbuka untuk Leo.
Dalam hati, Leo menggerutu. Ini benar-benar bukan saat yang tepat. Sejak kejadian semalam Trisia sangat berbeda, Trisia mulai mengabaikannya. Ia harus memastikan apakah kejadian itu yang membuat gadis itu terganggu.
"Apa yang ingin kaubicarakan?" Tanya Leo begitu memasuki ruangan Harry dan menutup pintu di belakangnya.
"Ada urusan apa kau dengan asistenku?" Harry merentangkan tangan dan menopangkan sikunya di meja.
"Kau hanya bosnya, kau tidak perlu tahu segala urusan asistenmu." Leo memandangi kakaknya dan suaranya terdengar jengkel.
"Kusarankan jangan terlalu dekat dengan gadis itu," ujar Harry dengan suara datar. "sebelum kau menyesal nantinya. Kau tidak tahu siapa dia."
"Kenapa?"
"Aku tidak menyukainya," jawab Harry. "Dia bukan gadis baik-baik."
"Tidak," kata Leo. "Aku tak mengerti mengapa kau mempekerjakannya jika kau tak menyukainya. Tetapi apa yang kau maksud dengan bukan gadis baik-baik, kurasa itu bukanlah Trisia."
Harry menghela napas, "Aku hanya berusaha memperingatkan padamu sebelumnya. Kau tak akan menyukai kenyataan siapa dia sebenarnya jika kau tahu bahwa dia mungkin adalah..."
"Anak dari wanita selingkuhan ayah?" Leo memotong kalimat Harry.
Harry membelalakkan matanya seolah bola matanya nyaris keluar. "Kau tahu? Sejak kapan kau tahu tentang itu?" Harry bergerak gelisah. Ia pikir rahasia yang ia simpan dari Leo selama ini masih tersimpan rapat.
"Tentu, aku membaca buku harian ibu. Ibu tidak meninggal karena penyakit. Ibu menulis rencana bunuh dirinya dalam buku harian itu."
"Tetapi tetap saja Calista penyebab utamanya."
"Tapi bukankah kita sedang membicarakan Trisia, kak?"
"Dia adalah anak dari wanita itu."
"Lalu kenapa? Trisia bukanlah pelakunya." Leo semakin geram. Terkadang ia bingung dengan jalan pikiran kakaknya yang selalu jauh dari cara pikirnya. "Sekarang coba kaupikir, saat itu dia sama seperti kita, dia hanya anak kecil yang tak tahu apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Lie (TAMAT)
RomanceKenyataan memang tak selalu seindah apa yang telah dibayangkan. Perjalanan hidup yang cukup sulit menghadapkan seorang gadis pada sebuah pilihan. Pilihan yang seharusnya tak pernah ia pilih demi kebaikan semuanya. Pilihan yang merubah hidupnya...