Pepohonan berjajar rapi di sepanjang jalan, begitu rindang memayungi jalan setapak yang dilalui Trisia. Langkah kecilnya yang berirama, berasal dari ketukan sepatu hak tinggi berwarna abu-abu yang dikenakannya. Mendung bergelayut manja, seolah dalam hitungan detik ia akan melepas bebannya yang terasa begitu berat.
Trisia mempercepat langkahnya berharap titik-titik air tidak akan menetes sebelum ia sampai di tempat tujuannya. Tapi tidak, rupanya Tuhan tak menghendaki untuk menunggu langkah Trisia sampai pada tujuannya.
"Ah... sial!" Teriak Trisia sambil berlari kecil dan berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya agar tak terjatuh. Ia menutupi kepalanya dengan tas kecil yang sejak tadi berada di tangannya. Baru beberapa langkah, kemudian Trisia berhenti dan berjongkok untuk melepaskan pengait sepatunya. Ia melepaskan sepatunya agar ia dapat berlari dengan lebih cepat.
Hujan yang semula mengguyurnya mendadak berhenti. Dalam hati gadis itu bersyukur, kemudian menatap langit yang seolah mempermainkannya. Trisia mengerutkan dahinya, sebuah payung berwarna merah tua ada di atasnya. Trisia segera berdiri dan menatap seseorang yang tengah berusaha memayunginya.
"Harry..." Wajah yang tak asing bagi Trisia. Wajah itu membuat Trisia kesal, tak peduli hujan mengguyurnya, Trisia berlari untuk menjauh dari lelaki itu.
"Trisia, tunggu." Harry menyusul di belakang Trisia, berusaha menyamakan langkah dengan gadis itu. Tanpa menghiraukan lelaki yang terus bergumam di samping Trisia, gadis itu semakin mempercepat langkahnya.
"Trisia," akhirnya lelaki itu berhasil membuat Trisia berhenti. "Aku ingin bicara denganmu."
"Rasanya tak ada yang perlu kita bicarakan." Ujar Trisia tak acuh.
"Ada." Suara Harry tegas dan dalam. "Aku ingin meminta maaf padamu." Nada suara itu semakin menurun. "Sejak kalian tiba dari Belanda, Leo sama sekali enggan berbicara padaku."
"Wow... bukankah itu kabar gembira, Pak Harry yang terhormat?" Sindir Trisia seraya melangkah meninggalkan Harry tanpa mendengar jawaban lelaki itu.
"Tris..." Kalimat Harry terpotong.
"Apa bagusnya kau bicara pada anak haram sepertiku?" Senyum sinis tersungging dari bibir merah Trisia. "Sudahlah, aku masih ada urusan penting, permisi."
Senyum di bibir Trisia tersungging, lega setelah keberanian untuk melawan lelaki itu akhirnya muncul. Mungkin menjalin hubungan dengan adik lelaki itu yang membuat keberaniannya muncul. Senyumnya semakin lebar, langkahnya semakin cepat, gadis itu memilih untuk berteduh di sebuah pinggiran toko yang tak jauh di hadapannya.
Hujan turun semakin deras sesaat setelah ia menginjakkan kakinya pada sebuah ubin putih yang mulai basah. Ia memeluk tasnya yang mungil di depan dadanya, bersandar pada dinding kusam yang ditempeli poster-poster lawas. Teringat kejadian beberapa hari yang lalu ketika ia bertemu ibunya, seluruh pertanyaan yang memenuhi kepalanya terjawab sudah. Pikirannya kembali pada saat-saat dimana percakapan penting yang hampir membuatnya gila itu terjadi.
"Ini tak boleh terjadi." Ujar sang ibu menentang.
"Kenapa?"
"Karena..." Kalimat Calista terhenti, seolah tengah memikirkan sesuatu. "Aku tak tahu harus mulai dari mana..." Calista menghela nafas besar. Suasana kembali hening.
"Ibu, apakah aku dan Leo memang bersaudara?" Tanya Trisia langsung. Mata Calista terbelalak, kemudian mengerutkan dahinya.
"Darimana kau bisa berpikiran seperti itu?"
"Aku menemukan sebuah fotomu..." Gumam Leo lemah. "...dan ayah."
"Itu tidak benar. Ayahmu adalah sahabat lamaku. Dialah yang selalu membantuku dalam kondisi terburukku sekalipun. Mungkin ibumu tidak tahu tentang hal ini. Aku melarang ayahmu memberitahu keberadaanku karena ibumu adalah orang yang sangat pencemburu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Lie (TAMAT)
RomanceKenyataan memang tak selalu seindah apa yang telah dibayangkan. Perjalanan hidup yang cukup sulit menghadapkan seorang gadis pada sebuah pilihan. Pilihan yang seharusnya tak pernah ia pilih demi kebaikan semuanya. Pilihan yang merubah hidupnya...