Chapter 3

105 9 0
                                    

Cuaca pagi ini sangat cerah—ketika sinar matahari masuk melalui celah tirai kamar Trisia, Trisia beringsut dari tempat tidurnya, meraih sandal merahnya dan bergegas menuju dapur untuk menyeduh secangkir kopi untuk menyambut pagi yang menyenangkan.

Sambil melantunkan syair lagu kesukaannya, Trisia menyiapkan kopi untuk Tomi sebelum lelaki itu bangun. Sejak dua hari yang lalu tampaknya Tomi telah kembali menjadi lelaki yang dicintainya dahulu. Lelaki itu tak lagi menyakitinya. Justru semalam Tomi telah meminta maaf pada Trisia.

Setelah secangkir kopi panas selesai disiapkan, Trisia segera menuju kamar Tomi untuk membangunkannya. Tapi ia tak menemukan Tomi di kamarnya dan suara-suara berisik justru terdengar jelas di kamar sebelah. Setelah itulah segala sesuatu tampak tidak beres. Sambil membawa secangkir kopi di tangannya, Trisia bergegas menuju asal suara yang berasal dari kamarnya.

"Kenapa bisa tak ada makanan disini?" Teriak Tomi sambil menendang salah satu kursi di kamar Trisia.

"Persediaan kita habis, Tom. Aku akan membelinya sepulang aku kerja nanti."

"Lalu aku sarapan apa? Aku harus kuliah Tris. Kau pikir aku tak perlu makan?" Tomi meradang karena tak puas pada jawaban Trisia.

"Aku sudah bilang, bukan? Aku akan membelinya nanti, Tom. Kau bisa membeli sesuatu sebelum kau ke kampus. Minumlah ini." Trisia menyodorkan secangkir kopi yang dibuatnya dengan penuh cinta untuk Tomi.

"Aku tak butuh kopi Trisia." Tomi menampik kopi tersebut hingga terjatuh dan berceceran ke lantai. "Aku lapar! Aku butuh makan, bukan kopi!"

"Sudahlah Tom, ada apa sih denganmu? Kupikir kau sudah benar-benar berubah. Ternyata kau masih sama saja!" Nada Trisia sedikit meninggi. Rasa kecewa menjalar dalam hatinya, membuat matanya berair.

Plak.

Sebuah tamparan menjadi sarapan Trisia pagi ini. Meski ini bukan kali pertama Tomi menamparnya, tapi pagi ini Tomi benar-benar telah menyakiti hatinya. Air matanya tak mampu lagi terbendung ketika dengan kasar Tomi membanting pintu kamar Trisia dan meninggalkannya sendiri di kamarnya.

***

Paginya benar-benar menjadi buruk dalam sekejap. Dengan mata yang sembap dan suasana hati yang buruk, Trisia memaksakan diri untuk pergi ke kantin. Ia hanya perlu berharap untuk tidak bertemu Tomi sepanjang jam kerjanya di kantin atau suasana hatinya akan bertambah lebih buruk lagi.

"Katakan padaku mengapa kulihat Tomi asyik bermain-main dengan gadis-gadis itu sedangkan kau menekuk wajahmu sepanjang hari?" Tanya Vany yang berdiri tepat di samping Trisia yang sedang mencuci piring.

"Tidak apa-apa. Seperti biasa, Van." Ujar Trisia singkat. Baginya, bercerita sama seperti mengungkit kemarahan yang telah berusaha ia pendam. Ia masih perlu waktu untuk bercerita.

"Kupikir aku akan mendapatkan berita bagus pagi ini," Gerutu Vany cemberut.

"Memangnya kau mau berita apa?"

"Em... Mungkin, 'Van, aku sudah putus dengan Tomi' atau sejenisnya." Vany menirukan gaya bicara Trisia, membuat gadis itu sedikit tersenyum mendengar celotehan sahabatnya itu. "Kapan kau putus? Dia tidak baik untukmu Tris."

"Van, kau tahu alasanku. Gara-gara aku, dia diusir orang tuanya. Aku merasa bertanggung jawab untuk itu."

"Dia laki-laki, kau boleh saja meninggalkannya. Perbuatannya tak bisa dimaafkan, dia..."

"Van..." Trisia memotong ucapan sahabatnya. "Cukup. Aku tak ingin melanjutkan itu." Ia tahu apa yang dikatakan sahabatnya itu benar, tapi bagaimanapun juga rasa bersalah masih menghantui Trisia.

Red Lie (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang