Chapter 4

105 9 3
                                    

Pria itu menjelma menjadi seorang tiran yang tak memiliki hati. Perlakuan kasarnya pada sang istri yang tak pernah sekalipun ia lakukan sebelumnya, membuat lelaki kecil yang berdiri dibalik pintu yang sedikit terbuka itu ketakutan dan menutup mulutnya rapat-rapat agar tak menimbulkan suara saat menyaksikan pertengkaran hebat kedua orang tuanya.

Ia tahu betul alasan pertengkaran kedua orang tuanya, tak lain karena sebuah foto yang sempat ia temukan tadi pagi di garasi mobil.
Seorang wanita berpostur tinggi, langsing dan berparas cantik. Iris matanya yang bagai zamrud menambah kecantikannya. Wajahnya yang jelas bukan wajah pribumi, membuat kecantikannya tampak berbeda. Foto yang berlatarkan sebuah kebun bunga yang cantik itu memperlihatkan senyum bahagia wanita yang tengah menggendong seorang bayi mungil. Sedang di samping kanannya berdiri seorang pria dengan kaca mata yang membingkai matanya dan tangan kirinya merangkul pundak wanita itu.

Ayah.

Wajah yang sangat ia kenal. Pria yang sangat ia hormati. Pria yang selama ini begitu menyayangi keluarganya mengapa berfoto dengan orang lain? Pertanyaan sederhana yang mampu dipikirkan oleh lelaki kecil itu.

"Ada apa sayang?" Suara lembut seseorang membuat lelaki kecil itu terperanjat dan buru-buru menyembunyikan foto tersebut.

"Tidak ibu, tidak ada apa-apa." Jawab lelaki kecil itu tergagap.

"Tapi itu apa yang di belakangmu? Coba sini ibu lihat." Sang ibu yang memaksa, merampas foto yang berusaha disembunyikan lelaki kecil itu di balik punggungnya. Raut riang wanita itu luntur seketika begitu melihat pria yang berada dalam foto tersebut.

Itu terakhir kalinya ia berbicara pada ibunya. Kenyataan pahit yang dilontarkan oleh ayahnya telah mengantarkan ibunya ke surga. Di depan matanya, sebilah pisau ditancapkan oleh tangan sang ibu pada bagian dadanya hingga wanita itu tergeletak di lantai dengan darah yang mengalir membasahi lantai yang seputih salju itu.

"Kak... Bangun. Kak... Cepatlah." Sebuah suara yang cukup keras samar-samar terdengar di telinga Harry.

"Leo." Harry memicingkan matanya menatap adik laki-lakinya yang telah berpakaian rapi tengah menarik-narik selimut yang masih membalut hangat tubuh Harry. "Kenapa kau ini?" Tanya Harry heran. Tidak biasanya adiknya itu akan begitu perhatian untuk membangunkannya setiap pagi.

"Kau mengigau. Suaramu begitu keras dan terdengar sampai di luar."

Harry menghela nafas berat melalui mulutnya. Mimpi itu lagi. Mimpi buruk yang selalu menghantui hampir setiap malamnya. Ia bangun dan meraih ponselnya yang berada di samping bantalnya, mengecek alarm yang seharusnya menyala pukul enam pagi yang berarti satu jam yang lalu. Ternyata ponselnya telah kehabisan daya sebelum mampu menjalankan tugasnya.

"Kau mimpi tentang ibu lagi?" Leo tahu betul, kakaknya sering mengigau dan memanggil ibunya. Tapi Harry tak pernah bercerita tentang detailnya. Yang Leo tahu, ibunya meninggal karena sakit. Sakit yang dideritanya akibat tekanan batin yang didapat dari ayahnya karena perselingkuhan.

"Begitulah."

Sejak kematian ibunya, Harry mulai menarik diri. Wajahnya selalu murung. Kebencian telah mengakar dalam hatinya. Terlebih ketika ia memandang selembar foto kusut yang ia temukan dua puluh dua tahun yang lalu. Foto yang akhirnya mampu membawa ibunya pergi meninggalkannya. Rahasia itu masih ia simpan dengan rapat. Bahkan Harry tak pernah menceritakan pada Leo kenyataan bahwa ibunya bunuh diri tepat di depan matanya.

***

Langit tampak muram dengan gerimis yang cukup teratur ketika seorang gadis menerobos masuk ke dalam ruangan yang berada di ujung koridor. Ruangan yang cukup besar, didominasi warna krem dengan barang-barang mewah bertebaran di setiap sisi.

Sepatu bertumit tinggi milik gadis itu tampak meninggalkan jejak basah pada lantai yang bersih yang berwarna senada dengan warna dinding ruangan.

"Oh... Seperti biasa kau tampak suram, Harry." Nada mengejek terdengar dalam suara manja gadis itu.

Di hadapan jendela ruangan tersebut, terlihat Harry memandang jalanan basah yang digenangi air hujan dengan tatapan kosong. Harry kemudian melirik ke balik bahu ke arah gadis itu.

"Rina, kau tak perlu mengkritikku. Bagaimana dengan pekerjaanmu?"

"Tentu saja berhasil, Harry. Jangan lupa dengan siapa kau bekerja sama." Tawa renyah keluar melalui bibir pink gadis yang dipanggil dengan nama Rina tersebut.

"Aku mendapatkan info akurat. Bagaimana jika dimulai dengan seratus ribu untuk selembar fotonya?"

Harry berbalik menatap jendela kemudian mendengus tak setuju dengan penawaran Rina.

"Bawa kembali semua info yang kau dapatkan. Ini tidak sesuai kesepakatan. Aku bisa menggaji orang lain untuk mencari info."

"Tenang Harry, aku hanya bercanda." Rina menghela nafas, kemudian melangkah menuju kursi yang disediakan di depan meja kerja Harry.

"Jadi, katankan apa yang telah kau dapatkan."

"Trisia Arissandy. Hanya dia satu-satunya yang masih berada di Indonesia. Setelah ayahmu meninggal, wanita itu kembali ke negaranya. Aku belum bisa menemukan kakak perempuannya. Selebihnya bisa kau baca di sini." Ujar gadis itu setelah meletakkan berkas penyelidikan yang telah ia lakukan selama beberapa bulan terakhir di atas meja.

Harry berbalik menuju meja kerjanya, merasa tertarik pada berkas yang diberikan Rina padanya.

"Dia sebatang kara?" Tanya Harry meyakinkan sambil membuka berkas yang telah ia terima. Beberapa foto hasil penguntitan Trisia membuahkan potret yang cukup menyedihkan. Seulas senyum puas menghiasi bibir Harry.

"Dia tinggal di panti asuhan. Beberapa bulan yang lalu, dia pergi dari panti dan tinggal bersama kekasihnya." Gadis itu menjelaskan. "Nama lelaki itu Tomi. Jika saja kau tahu, hidupnya benar-benar menyedihkan, Harry." Rina menggeleng pelan, membayangkan kehidupan Trisia yang telah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

"Memang sudah sepantasnya dia mendapatkan itu, Rin."

"Apa kau yakin masih ingin membalas dendam? Kau tahu itu salah ibunya, bukan salah Trisia."

Lelaki itu menatap beberapa foto yang ada di dalam berkas tersebut. Rambut ikalnya tergerai hitam dan panjang. Mata hijaunya yang cantik diwarisi dari ibunya, membuat Harry semakin geram. Tubuhnya mungil dan terlihat kurus. Simbol dari kehidupannya yang sama sekali tidak bahagia.

"Dia, pantas mendapatkannya. Lihat wajahnya sangat mirip dengan pelacur itu. "

"Tapi tetap saja..." Rina memutuskan untuk menghentikan ucapannya sebelum ia ditendang keluar tanpa bayaran oleh rekannya yang ketus itu. "Oh ya, ada lagi, sepertinya kekasihnya melakukan kekerasan pada gadis itu."

"Lalu apa kau sudah menyelidiki masalah keuangannya secara detail?" Tanya Harry lagi.

"Untuk apa? Bukankah sudah kubilang, hidup gadis itu menyedihkan. Sebaiknya urungkan niatmu. Kau tak akan tega jika melihatnya sendiri secara langsung."

"Tidak. Jangan mencoba menghalangiku. Keputusanku sudah bulat. Akan kubuat hidupnya makin menyedihkan."

"Tapi... Sayang sekali kau membuang-buang uangmu untuk pembalasan yang tidak seharusnya diterima oleh gadis itu."

"Kenapa hanya ada uang di otakmu? Aku tak peduli, uang tak bisa mengembalikan segalanya. Uang tak akan bisa mengembalikan ibuku. Tapi setidaknya, uangku bisa kugunakan untuk membalas air mata dan luka hati ibuku. Aku sudah lama menantikan ini."

Cukup lama penantian itu hingga Harry akhirnya menemukan jejak. Mencari seseorang diantara jutaan manusia bukanlah perkara yang mudah. Butuh waktu tiga tahun untuk menemukan keturunan dari wanita itu. Terlebih hanya bermodalkan sebuah foto yang diambil beberapa tahun yang lalu.

Diam-diam, seulas senyum penuh arti tersungging di bibir Harry. Diraihnya gagang telepon berwarna abu-abu yang tersusun rapi di atas meja kerjanya. Ia menekan beberapa angka yang tersambung pada sekretaris pribadinya.

"Liana, suruh Denis menghadap sekarang. Aku punya pekerjaan penting untuknya."

Bersambung

Red Lie (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang