Belanda...
Negara kincir angin yang sering disebut-sebut ibunya sebagai tanah kelahiran.
Ibu...
Trisia sudah lupa bagaimana wajah ibunya. Hanya sebuah kenangan samar yang terbesit dalam ingatannya tentang wanita itu, bahkan bisa dibilang Trisia hampir melupakannya. Mungkin wanita itu memang tak sepantasnya ada dalam pikiran Trisia.
Mata Trisia nyalang menatap langit-langit kamarnya yang bermotif abstrak. Matanya mengikuti setiap garis yang melengkung, saling berkaitan satu sama lain. Sejauh sejarah mimpi buruknya, mungkin ini bisa disejajarkan dengan mimpi
buruk lainnya.Untuk apa aku pergi? Setelah memutuskan untuk terbang ke Belanda, sesuatu yang jauh lebih buruk dari mimpi burukku selama ini akan menantikan kedatanganku kembali.
Tapi apa aku harus mendatangi pertunangan itu sendirian dan mendengarkan kembali berbagai penghinaan dari orang tua Tomi?
Atau aku tak perlu datang ke pesta itu?Ya. Tentu saja. Untuk apa aku datang? Hal itu justru akan membuatku sakit hati.
Tidak! Betapa memalukannya jika kau tidak datang Tris. Mereka akan menertawakan dirimu, dan berkata, 'Mana berani gadis miskin itu menampakkan muka setelah Tomi lebih memilih meninggalkannya?' Angkat dagumu dan injakkan kakimu di rumah orang-orang sombong itu! Ego Trisia tampaknya memiliki pendapat lain.
Benar. Bagaimanapun juga ia harus datang. Ia harus menyelesaikan semuanya dengan tuntas. Mungkin ia perlu merundingkan kembali tentang Belanda.
Trisia bangun dari tempat tidurnya, kemudian beranjak untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia harus menghubungi Leo.
Sebuah pesan singkat sampai sebelum Trisia menyentuh ponselnya.Leo.
Apa kau sudah tidur?
Seulas senyum tertahan membuat bibirnya sedikit berkerut. Dengan cepat Trisia membalas pesan tersebut.
Belum... Ada yang ingin kubicarakan.
Setelah pesan tersebut terkirim, ponsel Trisia berdering. Leo membalas pesannya dengan sebuah panggilan.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya Leo begitu telponnya tersambung.
"Aku... aku hanya ingin..." Trisia menelan ludah.
"Apa yang membuatmu gugup?"
"Em... Begini, tidak bisakah kau berubah pikiran tentang... Belanda?"
"Tidak." Sahut Leo dengan tegas. "Ada yang lain?"
Lelaki keras kepala , batin Trisia. "Kalau begitu kau tak perlu mengantarku. Aku bisa pergi sendiri atau bersama seorang teman."
"Tidak. Kau tak bisa. Kau akan dipermalukan di depan umum, Tris. Kau harus datang bersamaku."
"Apa bedanya? Bersamamu atau tidak, mereka akan tetap mempermalukanku. Kau tak ada hubungannya."
"Ada. Ayah Tomi pemilik industri kontruksi dan mereka sedang bekerja sama dengan perusahaan kita. Aku bahkan bisa saja berhenti mendanai bisnis mereka jika aku mau. Mereka akan menutup mulut mereka jika kau datang bersamaku."
"Oh, ini tentang kekuasaan kalau begitu," ucap Trisia diikuti tawa kecil.
Dalam hatinya ia bersyukur mengenal lelaki itu. Ia mulai merasa santai dan mendapati perasaan nyaman itu mengguyur dirinya sekali lagi, melupakan sejenak mimpi buruk yang sedari tadi memenuhi pikirannya.
"Sudahlah. Jadi apa kau setuju?"
"Bisakah kau memberiku waktu untuk memikirkannya?"
"Tidak. Besok malam aku akan menjemputmu. Kita butuh persiapan." Suara lelaki itu terdengar menyenangkan. Membuat Trisia terhanyut dan melupakan perbedaan kasta antara mereka. "Ini sudah malam. Tidurlah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Lie (TAMAT)
RomanceKenyataan memang tak selalu seindah apa yang telah dibayangkan. Perjalanan hidup yang cukup sulit menghadapkan seorang gadis pada sebuah pilihan. Pilihan yang seharusnya tak pernah ia pilih demi kebaikan semuanya. Pilihan yang merubah hidupnya...