Chapter 15

60 5 0
                                    

Sayup-sayup terdengar suara kicauan burung yang bertengger pada pagar balkon kamar. Trisia memicingkan matanya, mencoba menyesuaikan pengelihatannya dengan cahaya matahari yang menerobos sela-sela tirai tebal berwarna hijau yang menutup kaca besar yang terletak tak jauh dari ranjang. Trisia menguap, merentangkan kedua tangannya untuk merenggangkan tulang-tulangnya, seluruh tubuhnya terasa sangat pegal.

"Aduh..." Suara parau seorang lelaki membuat mata Trisia terbelalak lebar dan segera menarik tangannya kembali. Leo. Ia benar-benar lupa bahwa lelaki itu berada di sampingnya sejak semalam. Trisia memiringkan tubuhnya, menahan kepala dengan sikunya yang bertumpu pada bantal. Ia memandang lekat-lekat lelaki di sampingnya yang masih teertidur pulas. Bulu matanya begitu lentik membuat Trisia memainkan jari telunjuknya pada bulu mata Leo.

"Hentikan. Apa yang kau lakukan?" Gumam Leo dengan matanya yang masih terpejam.

Trisia mendekatkan wajahnya dan mengecup pipi Leo, "Selamat pagi, pak Leo." Goda Trisia, membuat Leo tersenyum dan menarik Trisia dalam pelukannya.

"Apa kau pikir kita sedang berada di kantor, bu Trisia?" Leo mengeratkan pelukannya. "Selamat pagi juga sayang."

"Ah, sudahlah. Ayo bangun. Kita sedang di Belanda sekarang."

"Lalu?"

"Tentu saja aku ingin jalan-jalan, Leo. Ini Belanda, tempat ibuku di besarkan." Nada suara Trisia merendah. "Sudahlah, aku mau mandi. Kau harus bangun sebelum aku keluar dari kamar mandi.

***

Pagi ini begitu berbeda. Tak ada rasa bahagia yang melebihi perasaan bahagianya pagi ini—menatap gadis yang dicintaina saat ia terbangun. Senymnya tak berhenti berkembang ketika arah matanya terus mengikuti gadis yang sedang bersenandung riang hinga ia menghilang dibalik pintu kamar mandi. Entah mengapa perasaannya begitu baik namun ketakutan segera menyelimuti hatinya. Apa yang harus ia lakukan ketika kenyataan tak berpihak pada kisah cinta mereka?

Suara ponsel yang begitu nyaring membuyarkan lamunan Leo. Getarannya yang begitu kuat membuat ponsel di atas nakas itu hampir terjatuh dan membuat Leo harus bangun untuk menyelamatkan ponsel tersebut. Harry? Rasa ingin tahu Leo membuatnya penasaran. Sejenak Leo melirik pintu kamar mandi kemudian membuka isi pesan tersebut.

Bagaimana bulan madumu nona manis? Apa menurutmu adikku juga semanis aku? Jangan lupa siapa dirimu. Kau dan keluargamu adalah biang keladi atas hancurnya keluargaku! Aku tak akan tinggal diam dan aku akan membuat hidupmu sengsara, jauh lebih dari ini!

Leo mendesah. Ia tak mungkin membiarkan Trisia membaca pesan itu, sehingga Leo memilih untuk menghapus pesan tersebut.

"Leo, aku sudah hampir selesai. Cepat bangun." Teriak Trisia dari dalam kamar mandi.

"Iya sayang, aku sudah bangun."

***

"Wow... aku benar-benar menginjakkan kakiku di Belanda." Kata Trisia setelah menghirup udara sejuk Belanda. "Leo, berapa kali kau ke Belanda sebelumnya?"

"Aku ke Belanda?" Leo mengulangi pertanyaan Trisia. "Tak banyak, mungkin hanya tujuh atau delapan kali.

"Wow... fantastis." Trisia bergumam dengan semangat. "Kau sungguh beruntung."

"Begitulah. Pertama kali aku ke Belanda bersama ayah dan kakakku. Beberapa bulan setelah ibu meninggal."

"Lalu?"

"Selebihnya masalah bisnis dan jalan-jalan bersama temanku." Senyum khas Leo menghiasi wajahnya yang tampak segar pagi ini.

"Sungguh beruntung gadis itu." Seulas senyum masam tersungging di bibir Trisia, kecemburuan melanda hatinya, namun Trisia berusaha untuk memendamnya.

Red Lie (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang