Chapter 9

94 6 4
                                    

Malam itu cerah, dan bulan purnama bersinar terang ditemani bintang-bintang yang bertaburan pada langit yang telah menghitam pada jam sepuluh malam.

Seorang lelaki kecil duduk di ayunan besar, menengadahkan kepalanya dan berkali-kali mengembuskan napas besarnya. Matanya secara bergantian menatap foto yang ada di genggaman tangan mungilnya.

Sejak ibunya melihat foto itu, keluarganya tak lagi seharmonis sebelumnya. Kedua orang tuanya lebih sering bertengkar, bahkan ibunya tak lagi mengurus kedua anaknya dan melimpahkan tanggung jawabnya pada baby sitter hingga jam sembilan malam.

Ibunya selalu mengurung diri. Dan beberapa hari ini, ibunya tak lagi mengajaknya bicara. Hanya sesekali memberikan susu untuk adiknya ketika baby sitter telah usai bertugas.

Dari dalam rumahnya, kembali terdengar suara-suara bernada tinggi yang ia hafal betul itu adalah suara kedua orang tuanya. Lagi... Perang mulut terjadi di antara keduanya. Di sela itu, suara tangisan seorang lelaki kecil yang agaknya terganggu dengan suara gaduh terdengar nyaring tanpa henti.

Keegoisan muncul dalam hatinya. Ia membiarkan tangisan adik kecilnya itu, meski dalam hati kecilnya perasaan tak tega menggelayutinya.

Sesaat kemudian suara perang mulut itu berhenti, begitu juga dengan suara tangisan adik kecilnya. Lalu ia melihat mobil ayahnya berjalan mundur, keluar dari garasi dan berputar dengan kecepatan tinggi hingga decitan bannya terdengar jelas di telinga lelaki kecil itu. Tiba-tiba hidungnya terasa sakit, air mata mulai menggenangi matanya.

Ini tidak adil. Mengapa ibunya tak pernah mengajaknya bicara? Sedangkan sesekali ia melihat ibunya memberikan susu pada adiknya ketika adiknya menangis.

Apa salahku? Batinnya dalam hati sambil menangis sesegukan.

Bahkan ibunya tak pernah lagi memeluknya ketika ia menangis.
Ia mengusap air matanya dengan lengan kaos hijau yang dikenakannya, kemudian berjalan menuju ke dalam rumah karena ia merasakan udara di luar yang mulai dingin.

Ia mengintip di balik pintu kamar yang terbuka setengahnya. Yang bisa lelaki kecil itu lihat di menit berikutnya dari tempatnya berdiri di balik pintu kamar, ibunya meraih sebuah guling kecil yang kemudian digunakan untuk membekap wajah adiknya yang telah tertidur.

"Apa yang ibu lakukan?" tanya lelaki kecil itu. Ibunya terperanjat hingga guling di tangannya terjatuh menimpa adiknya. Tangisan adik kecilnya kembali menguar.

Ibunya berdecak, menatap lelaki kecil itu dengan amarah yang membabi buta. Sang ibu pun mendatangi lelaki kecil itu mencengkeram lengannya kuat-kuat hingga membuat lelaki kecil itu kesakitan. Ia terus meronta, mencoba melepaskan diri dari wanita yang tak lagi dikenalnya itu.

Butuh waktu lama bagi lelaki kecil itu untuk melepaskan diri, keputusannya untuk menendang perut ibunya membuahkan hasil, hingga ia segera berlari untuk bersembunyi di bawah meja ruang makan. Langkah ibunya berhenti beberapa meter di dekat meja.

Dengan jantung yang berdegup kencang, lelaki kecil itu memberanikan diri untuk mengintip. Sebilah pisau telah berada dalam genggaman ibunya. Darah mulai merembes dari pakaiannya, tubuhnya tumbang tepat di hadapan lelaki kecil itu.

Harry terduduk tegak di ranjangnya. Keringat yang lembap dan dingin membanjiri tubuhnya. Mimpi itu terasa begitu nyata, sama persis dengan kejadian saat itu. Masa lalunya masih saja menghantui mimpi-mimpinya. Ia tak akan pernah lupa malam itu ketika ibunya bunuh diri tepat di depan matanya.

Harry bangkit dan memercikkan air dingin ke wajahnya, dan saat itu rasa bersalah kembali menggelayuti hatinya. Seandainya saja waktu itu ia tak menunjukkan foto itu.

Red Lie (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang