Sudah beberapa hari terakhir Leo tampak muram. Malaikat tampaknya sengaja membuat membuat aura di sekitar Leo menghitam. Pekerjaannya menumpuk, bahkan ia sama sekali tak berminat untuk menyentuhnya. Leo meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak hening di meja kerjanya. Sesekali ia melirik dengan penuh harap agar beberapa pesan yang telah ia kirimkan mendapatkan balasan.
Ditengah keheningan yang menyelimuti ruangan Leo, Leo memukul meja kerjanya dengan kesal. Kemudian ia beranjak menuju jendela besar yang membingkai pemandangan gedung abu-abu terang yang dihiasi dengan pot-pot bunga yang diletakkan berjajar di setiap balkon. Leo melipat tangannya di luar kemeja hitam yang senada dengan perasaannya, menyandarkan kepalanya pada salah satu sisi dinding menonjol yang mengapit jendela.
Tepat setelah ia mengembuskan napas beratnya, ponselnya berdering. Membuat lelaki itu berjingkat untuk segera menghampiri benda itu. Adam. Embusan napas kekecewaan mengudara. Bukan ini yang ia nantikan. Dengan berat hati Leo menjawab panggilan Adam agar benda berisik itu berhenti mengganggu telinganya.
"Ada apa?"
"Bagaimana tentang proposal yang ku berikan? Apa aku bisa mendapatkan dananya?"
Tentu saja Leo belum sempat membukanya. Perhatiannya masih sibuk tertuju pada seseorang. Seseorang yang mulai mengabaikannya beberapa hari terakhir, membuatnya gelisah- ralat, sangat gelisah.
"Aku belum membukanya. Tapi kupastikan dana itu akan keluar untuk acaramu."
"Tentu saja harus. Ini Belanda..." Adam menegaskan. "Aku sudah lama menantikan ini. Akhirnya Adam akan go international. " Ujar Adam membanggakan diri.
"Oke. Aku akan membaca proposalmu secepatnya. Maaf, aku sedang sibuk." Leo memutuskan percakapan tanpa menunggu balasan Adam. Ada yang lebih penting yang harus dipikirkan. Seperti misalnya... Belanda.
***Trisia keluar dari ruangan Harry dengan linglung. Ia tidak tidur hampir semalaman, bukan karena pekerjaan membabi buta yang ditugaskan bosnya seperti biasa. Bukan juga karena ia memikirkan Leo yang tanpa henti membanjirinya dengan perhatian. Ini karena Tomi.
Sudah empat hari sejak Tomi meninggalkannya. Trisia tak pernah berhenti mengiriminya pesan singkat setiap hari, bahkan meski ia tahu bahwa pesan itu tak pernah sampai pada Tomi.
Ia sedang dalam perjalanan menuju bagian humas, kedua tangannya terbenam dalam saku blazer beludru hitam yang ia kenakan. Entah mengapa kali ini jarak antara ruangan Harry dan lift terasa begitu jauh. Trisia melangkah dengan malas. Ia tahu ini tidak sopan. Untungnya lantai lima tidak seramai lantai lainnya yang padat dengan aktivitas berbagai kalangan. Ia merunduk, memerhatikan langkahnya yang menyilang mengikuti garis lantai.
"Trisia," Seseorang menyentak lengannya, membuat gadis itu terkejut. "katakan ada apa denganmu?"
Trisia yang sempat mengalami disorientasi, mengerjapkan matanya beberapa kali. Bagai sadar dari sebuah hipnotis, Trisia segera melepaskan tangan besar yang menggenggam lengannya dan dengan cepat menutupi perasaannya.
"Tidak ada apa-apa pak, maafkan atas ketidaksopanan saya." Ia menundukkan kepala menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan malu atas tindakannya.
"Jika tidak ada apa-apa, mengapa kau seperti ini?" Rahang lelaki itu mengeras. Ia menuntut jawaban yang masuk akal.
"Tolong... Ini di kantor."
"Masa bodoh!" Nadanya meninggi, "kenapa kau tidak membalas pesanku? Tidak mengangkat telponku, bahkan kau menghindariku?"
"Saya akan menjelaskannya nanti. Permisi, pak Harry memberi saya tugas." Gadis itu berbalik, kemudian dengan cepat berusaha mencapai lift dengan setengah berlari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Lie (TAMAT)
RomanceKenyataan memang tak selalu seindah apa yang telah dibayangkan. Perjalanan hidup yang cukup sulit menghadapkan seorang gadis pada sebuah pilihan. Pilihan yang seharusnya tak pernah ia pilih demi kebaikan semuanya. Pilihan yang merubah hidupnya...