0.4 : The Truth

101 17 1
                                    

Bandara merupakan satu dari banyak hal yang tidak Sarah sukai waktu kecil. Menurut pandangannya, bandara adalah tempat perpisahan. Persepsi itu ia temukan saat melepaskan kepergian Angkasa dan keluarganya ke Inggris.

Sarah menghela napas berat, ia masih mengingat detik-detik itu, saat ia menahan Angkasa yang akan masuk ke pintu keberangkatan.

"Lo beneran harus pergi, Sa?" tanya Sarah.

"Iya lah, Sar, kalo aku gak jadi pergi, sayang tiketnya, mahal." jawab Angkasa sambil tertawa mencoba menghibur Sarah.

Sarah mengerutkan dahi. "Jangan bercanda. Gue serius."

Angkasa mengubah raut mukanya yang santai menjadi serius, "gue harus pergi, Sar," ia memegang bahu Sarah dengan kedua tangannya, "but don't worry, gue bakal balik kesini buat lo, Sar. Gue udah janji kan?"

Sarah mengangguk. "Yaudah, sana pergi." Cewek itu menoleh kearah Papa Angkasa yang menunggu di pintu keberangkatan. "Kasian papa lo udah nungguin."

"Gitu dong, jangan sedih lagi, okay. Gue cuma pergi sebentar, lo tau kan?" ujar Angkasa seraya mengangkat tangannya dari bahu Sarah.

"Gue selalu tau, Sa." Sarah tersenyum.

"Good girl." Balasnya sambil menepuk bahu Sarah.

Angkasa lalu berjalan menuju pintu masuk keberangkatan. Begitu sampai di pintu, ia berbalik dan melambaikan tangan kepada Sarah, "bye" ucapnya tanpa suara. Sarah balik melambaikan tangan kepada Angkasa, melihat itu, Angkasa tersenyum. Ia melangkah masuk dengan ringan, beban yang menghalanginya untuk pergi sudah hilang. Kini ia bebas melangkah tanpa harus merasa bersalah kepada Sarah.

Sejak perpisahannya dengan Angkasa, ia memiliki sedikit ketakutan denhan bandara, terdengar berlebihan namun memang begitu adanya.
Sarah jarang mau ikut ke bandara untuk menjemput sanak saudara apabila datang. Namun, seiring bertambah umur, persepsi Sarah tentang bandara adalah tempat perpisahan berubah. Ia berpikir bahwa bandara bukan hanya tempat perpisahan, melainkan juga tempat untuk pertemuan yang sudah dinanti-nantikan.

"Ailsa mendarat jam berapa, Ma?" tanya Sarah kepada Sanya-mamanya.

"Yang kemarin mama baca di sms sih, jam enam."

"Oke."

Sarah melirik arlojinya, waktu menunjukkan pukul 06.07.

Berarti Ailsa udah sampe.

Sarah bangkit dari kursi, matanya memandang kearah pintu keluar, jeli mencari sosok Ailsa diantara penumpang jurusan Surabaya-Jakarta yang mulai berdatangan. Begitu melihat Ailsa yang melangkah keluar dengan koper ditangannya, Sarah memanggilnya. "Ailsa!"

Yang dipanggil sontak mencari sumber suara, begitu menemukannya, ia tersenyum lalu berlari kearah si pemanggil dan memeluknya erat. Sarah tertawa. "Miss me?"

"Of course."

Ailsa melepas pelukannya dan menyalimi Alex dan Sanya. "Aku kangen banget sama om dan tante."

"Kita juga, Sa." Sanya tersenyum tulus seraya mengelus rambut Ailsa.

Ailsa menoleh kepada Sarah. "Udah gak trauma lagi sama bandara?"

"Gak dong." Sarah tertawa.

"Ailsa mau langsung pulang atau mau makan dulu disana?" Tanya Alex sambil menunjuk kafe di dekat mereka.

"Langsung pulang aja om, sekalian mau istirahat."

"Yaudah," jawab Alex sambil menarik pegangan koper Ailsa, "kita langsung pulang."

CelestialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang