Sarah duduk termangu di depan kanvas dengan tangan kanan memegang kuas, pandangannya lurus menatap lukisan hujan yang hampir selesai.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, Ailsa berdiri di pintu kamar Sarah. "Lo ngapain deh? Kok tadi makan malam di kamar?"
"Melukis," ujar Sarah singkat.
"Udah malem lho," kata Ailsa sambil menutup pintu kamar Sarah. "Nggak tidur?"
"Nanti. Bentar lagi lukisan gue selesai."
"Lagi melukis apa sih?"
"Hujan," ucap Sarah. "Susah tau, Sa."
Ailsa mendekat ke arah Sarah. "Wah, hujan," ujarnya setelah melihat lukisan Sarah. "Terinspirasi dari hujan sore tadi, ya?"
"Ya."
Ailsa berdiri mematung di sebelah Sarah, memerhatikan detail lukisan cewek itu. Rintik hujan dan seorang perempuan berpayung kini terlukis di kanvas depan Sarah. Diam-diam Ailsa selalu mengagumi cara Sarah menyapukan kuas ke kanvas, menciptakan warna di bidang putih itu, membentuk suatu benda dengan beberapa kali goresan kuas, dan menjadikannya sebagai suatu hal yang berseni.
"Itu cat minyak 'kan?"
"Yap."
Ailsa tersenyum. "Sekarang udah pake cat minyak ya, Sar. Padahal tuh, gue masih inget jamannya lo gambar pake pensil terus diwarnain pake krayon atau pensil warna."
"Masih inget lo." Sarah tertawa. "Kalo dulu, gue masih bebas buat minta alat gambar. Sekarang mana boleh, harus nabung dulu."
"Emang Om sama Tante nggak kasih?"
Sarah mengedikkan bahu. "Dikasih, sih. Tapi keperluan gue kan agak banyak. Mau minta lagi juga nggak enak," ucap cewek kuncir satu itu. "Mau nggak mau harus nabung dari uang jajan."
Ailsa manggut-manggut. "Gue jadi pengen belajar melukis."
"Ada sanggar lukis depan komplek. Dulu gue sempet les di situ."
"Gue tau," ujarnya. "Tapi kenapa harus kesana? Lo aja yang ajarin gue."
"Hah?"
"Iya, lo kan jago melukis," ujar Ailsa. "Emang lo belom pernah ngajarin orang ya? Jadi guru atau tutor gitu?"
Sarah tampak berpikir. Kemudian dengan ragu-ragu ia menjawab, "pernah, sih ... cuma ngajarin doang."
"Tuh! Ailsa menjentikkan jari. "By the way siapa?"
"Angkasa."
"Oalah, dia." Ailsa mengangguk-angguk mengerti. "Yang jadi bestfriend-zone lo selama bertahun tahun itu 'kan?" ujar Ailsa dengan penekanan di setiap katanya.
Mendengar itu hampir saja Sarah menjatuhkan kuas di tangannya.
"Ups." Ailsa berlagak keceplosan. Kemudian ia tersenyum jahil dan berkata, "kata-kata gue bener 'kan?"
Sarah diam, kembali menyapukan warna di atas kanvas. Percuma saja jika ia mengelak, Ailsa pasti akan tahu kebohongan Sarah.
"Bener gak?"
"Daripada gangguin gue, mending lo tidur. Biar sepi kamar ini."
Ailsa cekikikan. "Sensi banget. Ya udah, gue balik," ujar Ailsa sambil berjalan ke luar kamar, menuju ke kamar tamu. Namun saat berada di depan pintu Ailsa berhenti dan berkata, "awas, Sarah, jangan kepikiran Angkasa, ya."
Sarah mendengus. "Diem lo."
Ailsa pun menutup pintu kamar Sarah dengan tawa kecil yang masih terdengar. Setelah Ailsa pergi, Sarah kembali melanjutkan kegiatan melukisnya dengan tenang. Suara cempreng Ailsa sekarang sudah tidak terdengar lagi, Sarah sangat bersyukur akan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Celestial
Teen FictionSudah bertahun-tahun Sarah menunggu sahabat kecilnya, Angkasa, kembali ke Indonesia. Selama itu pula hidup Sarah terpusat pada Angkasa dan janji yang dibuatnya. Namun kini, Sarah merasa penantiannya sia-sia karena kenyataan pahit yang baru saja ia k...