0.7 : Fight

69 12 0
                                    

"Sarah."

Mendengar namanya dipanggil, Sarah menengok ke sumber suara. Ternyata Ailsa, cewek itu sekarang tengah berdiri di daun pintu kamar Sarah. "Apa?" ucap cewek itu seraya melepas headphone.

"Disuruh turun, buat makan malam."

"Bentar," Sarah kembali menatap layar laptopnya, "Gue mau makan dulu. Nanti lanjut lagi," ujar Sarah pada sosok laki-laki yang selama satu jam menjadi temannya mengobrol.

"Sip," ujar Angaka seraya mengacungkan ibu jarinya, "By the way, yang manggil tadi kayak suara Kak Ailsa."

"Emang dia."

"Hah?" Wajah Angkasa menampakkan keterkejutan. "Bukannya-"

"Dia lagi liburan disini," potong Sarah setelah melihat Ailsa tengah bersedekap di tempatnya berdiri, "Nanti deh gue cerita."

"Ya udah. Bye." Angkasa tersenyum.

Sarah balas tersenyum lalu memutuskan sambungan panggilan video mereka. Cewek itu kemudian berjalan keluar kamar tanpa berbicara apapun pada Ailsa, seperti tidak menganggap kehadirannya .

Melihat itu, Ailsa mengedikkan bahu dan menyusul Sarah. "Lo kenapa?" tanya Ailsa saat mereka saat menuruni tangga.

"Nggak apa-apa," balas Sarah singkat.

Ailsa mengerutkan dahi. Tidak biasanya sepupu yang lebih muda satu tahun darinya itu mengacuhkannya. "Serius?" tanya Ailsa memastikkan.

"Ya." Sarah menuruni anak tangga terakhir dan melangkah ke ruang makan.

"Lo PMS?"

"Udah lewat."

Ailsa mendengus sebal. "Terus kenapa dong? Daritadi lo ngacangin gue."

Sarah menghentikkan langkahnya dan berbalik menatap Ailsa yang penuh kebingungan.

"Lo 'kan yang ambil chitato gue?" ujar Sarah yang lebih menyerupai pernyataan dibandingkan pertanyaan.

Sejenak cewek itu terdiam. "E-eh, itu...." Ailsa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Hem?" gumam Sarah yang bermaksud menuntut lanjutan kalimat dari ucapan Ailsa.

Ailsa menunduk. "Iya ... gue yang ambil. Gue tergoda waktu ngeliat chitato tergeletak di dalam kulkas. Jadi gue pikir nggak ada yang punya. Daripada mubazir, mending gue makan. Sorry."

Setelah Ailsa selesai berbicara, ruangan itu menjadi hening. Tidak ada suara yang berbicara maupun bertanya.

Gila, Ailsa ngira gue beneran marah,
batin Sarah saat mendengar penjelasan panjang Ailsa.

Awalnya, Sarah tidak mempunyai niat untuk mengerjai sepupunya itu. Apalagi dia selalu menerapkan ajaran mamanya untuk tidak mengingat kesalahan orang lain. Namun saat melihat Ailsa muncul di kamar Sarah tadi, niatan jahil itu tiba-tiba muncul di kepalanya.

"Terus?"

"Lo 'kan tau, Sar, kebiasaan gue yang selalu makan kalo lagi nonton. Yaa, jadi gitu deh. Maaf ya, gue janji bakal ganti chitatonya," ujar Ailsa penuh penyesalan.

Di depan Sarah, Ailsa berdiri memainkan jari tangannya--kebiasaan Ailsa jika gugup atau takut. Melihat itu, Sarah berusaha menahan tawa yang akan keluar dari mulutnya.

"Jadi, Sarah mau maafin Ailsa?" tanya Ailsa dengan wajah memelas.

Sontak, Sarah tertawa kencang sampai kulit wajahnya yang putih itu memerah.

"Kenapa ketawa?" Ailsa menatap Sarah dengan penuh kebingungan.

"Lo kira gue marah beneran?"

"Hah?"

"Ailsa, gue nggak se-lebay itu, ya. Apalagi juga cuma makanan. Bisa dibeli lagi 'kan," ujar Sarah setelah tawanya mereda.

"Jadi lo ngerjain gue?"

"Iya, dan dengan begonya lo ngira kalo gue marah beneran." Sarah tersenyum puas lalu berbalik dan melangkah menuju meja makan.

"Sepupu laknat," gumam Ailsa kemudian bergegas menyusul Sarah.

✩✩✩

Makan malam dan sarapan dengan keluarganya adalah hal yang sangat Sarah sukai. Meskipun hanya sebentar, cewek itu merasa senang. Setidaknya Sarah dapat berkumpul bersama--mengingat kesibukan Sanya dan Alex yang selalu menjadi penghalang bagi quality time mereka.

"Gimana kuliahnya Ailsa?" suara berat Alex memecah keheningan di meja makan.

"Baik-baik aja, Om. Sekarang aku udah mulai ...," Cewek berumur delapan belas tahun itu mulai menceritakan pengalamannya.

Sarah mengaduk-aduk sup di mangkuknya. Bosan, satu kata untuk menggambarkan keadaan dirinya saat ini. Bukan karena cerita Ailsa--Sarah mendengarkan cerita sepupunya itu dengan baik, melainkan sikap formal yang harus Sarah lakukan agar tidak mendapat tatapan tajam dari Sanya.

Sekilas, Sarah menatap Papanya. Tampak Alex menganguk-angguk ketika mendengar ucapan Ailsa, pria berumur empat puluh lima tahun itu memperhatikan apa yang dibicarakan Ailsa dan menyetujuinya, "Bagus kalau begitu," ucap Alex.

Sarah menatap Ailsa dan Alex secara bergantian. Cewek itu kemudian menaikkan satu alis ketika melihat pemandangan di depannya. Ailsa dan Alex tampak begitu akrab, bahkan Sarah yang berstatus sebagai anak kandung Alex jarang bisa seakrab ini dengan beliau.

"Iya Om, kayaknya passion aku memang disana," ujar Ailsa yang dibalas gumaman Alex.

Sekilas tentang Ailsa, cewek blasteran Inggris-Indonesia itu tengah menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi di Surabaya dengan mengambil jurusan kedokteran. Kemampuan akademik Ailsa yang melebihi teman-teman seusianya membuat cewek bermata hazel itu mengikuti kelas akselerasi, sehingga di usia yang terbilang muda Ailsa sudah memasuki jenjang perguruan tinggi.

Lupakan tentang Ailsa yang bawel, heboh, dan suka maling chitato. Apabila sudah berhadapan dengan pelajaran, cewek itu bisa berubah 180 derajat--menjadi manusia jenius. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan tingkah lakunya sehari-hari.

"Kalau mau lanjut ke kuliah, kamu harus punya persiapan yang bener-bener matang," ujar Sanya.

"Iya, Tante," sahut Ailsa.

"Kalau Sarah, sudah Om tentukan dia unuk masuk kedokteran. Sama seperti kamu, Ailsa," sambung Alex.

Sarah menarik napas panjang, jujur kalimat Alex tadi adalah kalimat yang paling tidak ingin Sarah dengar. Sarah melirik ke arah kursi kosong disampingnya, ia memantapkan hati untuk mengucapkan kalimat yang mungkin akan membuat Alex marah besar, "Sarah mau masuk jurusan seni, Pa. Bukan kedokteran," Akhirnya, Sarah mengatakan hal yang selama ini ia pendam.

Mendengar ucapan Sarah, Sanya tersedak air yang ia minum, Ailsa mengehentikan kegiatan makannya. Sementara Alex, ia menatap Sarah dengan tatapan tajam.

"Maksud kamu apa?" Suara Alex terdengar. Bahkan dengan mata tertutup, Sarah dapat merasa ada emosi di dalam perkataan pria itu.

"Sarah mau ambil jurusan seni, Pa. Bukan kedokteran. 'Kan Papa udah tau apa cita-cita Sarah yang mau jadi pelukis," mulut Sarah mengucapkan kalimat itu dengan santai, tidak seperti jantungnya yang berdetak kencang karena tatapan tiga orang disekelilingnya.

"Nggak. Papa nggak setuju," suara Alex terdengar final.

"Tapi, Pa...."

"Nggak ada tapi-tapi. Keputusan Papa sudah bulat."

Sarah menatap Sanya, meminta bantuan. Namun, Sanya hanya terdiam, tidak membalas Sarah.

Maka Sarah sadar, keinginannya mungkin tidak akan tercapai. Hilang sudah. Kini, ia butuh waktu untuk sendiri, merenungkan apa yang sudah terjadi. Cewek itu lalu meneguk segelas air didepannya dan berdiri dari kursi, "Aku udah selesai makan, mau ke kamar duluan," Sarah lalu melangkah meninggalkan meja makan.

"Sarah," panggil Ailsa. Hanya suara cewek itu yang terdengar dalam keheningan canggung di meja makan. Sarah tak menggubrisnya, Ia tetap berjalan. Tanpa mendengar, suara Sanya dan Alex yang memintanya kembali.

CelestialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang