0.8 : As A Friend

101 13 0
                                    

Sarah menatap layar laptopnya dengan gamang . Sudah berjam-jam cewek itu berkomunikasi via skype dengan Angkasa. Tentunya tidak terus berlangsung selama itu. Ada beberapa jeda pada pembicaraan mereka karena keduanya perlu mengerjakan kegiatan masing-masing, lalu kembali berbicara satu sama lain dan berbagi cerita.

"Hey," sapa Angkasa.

Sarah membalas sapaan itu dengan senyuman kecil. Ia lalu menatap dinding kamar Angkasa yang berwarna abu-abu, cukup banyak poster band dan piagam penghargaan yang terpasang disana.

Angkasa mengerutkan dahi, tidak biasanya Sarah terlihat lesu seperti ini, "Lo kenapa?"

"Nggak apa-apa." Tanpa sadar Sarah menyentuh ujung hidung dengan tangannya. Merasa telah melakukan hal yang salah, Sarah menarik kembali tangannya. Entah kapan kebiasaan ini hilang.

Cowok itu menaikkan satu alisnya, "Jangan bohong. Lo kenapa? Dari raut muka aja keliatan kalo lo lagi ada masalah."

Sarah menghela napas berat, selama beberapa saat ia terdiam. Kepalanya kini dipenuhi berbagai macam pikiran, salah satunya; apakah ia harus menceritakan masalah dan perdebatannya tadi dengan Sanya dan Alex pada Angkasa.

Bukannya tidak percaya pada sahabatnya itu, tapi, Sarah tidak ingin menjadi beban pikiran Angkasa, mengingat tadi sore Angkasa bercerita tentang padatnya aktivitas dan jadwal latihan menjelang pertandingan basket minggu depan.

"Cerita aja lah. Santai aja sama gue."

Sarah menggigit bibir bawahnya, "Gue abis berantem sama Mama dan Papa."

Angkasa terdiam, raut wajahnya tidak terbaca. Cowok itu lalu memberi isyarat pada Sarah untuk melanjutkan kalimatnya.

"Masalah kuliah. Gue bilang ke mereka kalo gue mau masuk jurusan seni, lo tau cita-cita gue," Sarah menundukkan kepalanya, seolah hal itu menjadi beban berat bagi dirinya, "Dari awal mereka nggak tahu tentang ini dan gue mengutarakan keinginan itu tanpa pikir panjang. Cuma menyurakan apa yang selama ini ada di pikiran gue. Keinginan gue yang sebenernya.

"Dan gue yakin lo bisa tebak gimana reaksi mereka. Ditolak mentah-mentah."

"Ya, di bikin matang lah, Sar,"

Sarah memutar bola mata malas, "Ha, terima kasih atas usaha lo buat gue ketawa, tapi itu belum berhasil. Kayaknya lo harus berusaha lebih keras," ucapnya, tidak peduli Angkasa akan mengerti maksud ucapannya atau tidak.

"Sama-sama. Gue akan berusaha" Angkasa mengangguk cepat. Sepertinya ia memang tidak mengerti.

Tidak mau ambil pusing dengan Angkasa, Sarah kembali melanjutkan ceritanya, "Jadi ... Papa masih tetap keukeuh sama pendiriannya. Dia punya harapan besar ke gue, sangat nggak mungkin kalo gue menghancurkannya. Dari dulu Papa udah nentuin kalo gue harus masuk kedokteran, jadi dokter, nerusin klinik mereka, dan kemudian gue hidup bahagia selamanya. Happily ever after."

"Wow. Kedengarannya menarik." Entah itu ucapan sarkas atau bukan. Tapi jika benar-benar dipikirkan, memang asyik ketika membayangkan masa depan sudah tertata dengan jelas.

Sarah membuang muka, "Semua orang bakal bilang begitu, karena mereka nggak tau rasanya di posisi gue. Kayak dikasih beban yang nggak bisa gue tanggung—tunggu, kok kata-kata gue drama banget ya?"

"Baru sadar, ya?" Angkasa menirukan nada bicara Sarah.

Sarah cemberut. "Ih, nyebelin banget sih. Lo tau 'kan kalo sahabat lo ini lagi sedih. Bukannya menghibur malah menghina," cewek itu melemparkan tatapan tajam.

Angkasa menarik napas panjang. Tentunya sudah menjadi hal biasa bila suasana hati Sarah yang sedang buruk menjadi semakin buruk jika mendengar candaan Angkasa. "Hey Sarah, sekarang lihat gue dan jawab pertanyaan yang gue kasih."

CelestialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang