Walking Aegyo

5.5K 900 7
                                    

Barisan air dari langit sore itu tampak tidak akan berhenti menjatuhkan diri mereka ke bumi, menyebarkan aroma lembab dan hawa dingin. Murid-murid lain yang tadinya menunggu di gedung sekolah, kini satu persatu memilih pulang dengan menerobos hujan, membiarkan tubuh mereka diserbu air, seiring dengan warna langit yang mulai menggelap. Dan juga meninggalkan Yerim yang terlalu enggan untuk tiba di rumah dengan keadaan basah.

"Ia membawanya," kata Yerim kesal, masih dengan ponselnya. "Demi Tuhan, jangan suruh aku memintanya kembali, Shin Mirae. Aku akan mencarikan buku yang lain untukmu,"

Ia mendengus. "Kesempatan? Kesempatan apa? Sudah kubilang aku tak menyukainya bagaimanapun tampannya sunbae itu!" serunya.

Tiba-tiba sebuah kilatan cahaya memecah langit dengan cepat, menyilaukan pandangan Yerim sesaat, dan "CTARRR!" suara guntur yang menggelegar hampir saja memecah gendang telinganya.

Hanya sedetik setelah jantung Yerim terasa akan lepas dari rongganya dan tiba-tiba Blam!, semua menjadi gelap gulita! Lampu gedung sekolah, di lapangan, di pinggir jalan, semua mendadak mati!

Yerim menelan ludah. "Mirae, kau masih di sana?" desisnya pada ponselnya, setelah menyadari bahwa seseorang di seberang jaringan itu tiba-tiba membisu.

"Shin Mirae?" panggilnya lagi.

Yerim menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat layarnya. Ia mendecakkan lidah begitu menyadari bahwa sambungan teleponnya dengan Mirae terputus dan ikon jaringan di layar ponselnya menghilang, berganti dengan tanda silang. Ia mencoba menghubungi sahabatnya itu lagi. Dan tentu saja tidak berhasil.

Gadis itu terdiam ditemani suara hujan yang semakin deras. Gelap dan sendirian. Suasana yang hening itu mencekamnya. Pikiran-pikiran horror mulai memenuhi kepalanya. Entah mengapa, tiba-tiba ia mengingat segala cerita seram yang pernah Shin Mirae ceritakan padanya –cerita tentang murid yang bunuh diri di sekolah, tentang petugas kebersihan yang menghilang di sekolah dan tak berhasil ditemukan hingga sekarang, dan tentang jin penunggu sekolah. Yerim tahu semua cerita itu tidak benar. Namun tetap saja, itu semua berhasil membuatnya takut dalam keadaan seperti ini.

"Kim Yerim...," terdengar suara lirih dari belakang.

Yerim membulatkan matanya. Jantungnya berpacu lebih cepat. Keringat dingin menetes melewati pelipisnya. Seluruh persendian di tubuhnya terasa kaku saat itu juga. Ia ingin lari tapi tidak bisa. Ia ingin menoleh ke belakang dan memastikan bahwa itu bukan mahluk halus atau semacamnya, namun juga ia terlalu takut untuk itu.

"Kim Yerim," suara itu memanggilnya lagi, seraya sebuah tangan menyentuh pundaknya dengan lembut.

"AAAAAAAA!!!" Yerim berteriak sangat kencang sambil melempar ranselnya ke arah suara itu.

Pluk!

"Aww!" suara itu terdengar mengerang.

Yerim mendengarnya lalu mengerutkan dahi. Tentu saja hantu tidak akan mengerang hanya karena dilempar sebuah ransel. Ia mengerjap-kerjapkan matanya, berusaha melihat siapa sebenarnya si pemilik suara itu di dalam kegelapan.

"Kau kejam, Kim Yerim," protesnya.

Yerim mengenal suara itu. Yerim membencinya, namun entah kenapa, ada sedikit perasaan lega dalam hatinya setelah mendengar suara itu saat ini. Mungkin karena ia tahu bahwa itu bukanlah hantu.

"Sehun sunbae? Kaukah itu?" tanya Yeri.

Laki-laki itu muncul dalam kegelapan. Cahaya ponselnya ia gunakan sebagai penerangan, memperlihatkan wajah dinginnya. Ia berjalan mendekati Yerim lalu memberikan ransel yang barusan Yerim lempar kepada pemiliknya.

"Kau pikir aku apa? Hantu?" tanya Sehun kesal.

Yerim menerima ranselnya. "Umm, yeah," jawabnya pelan.

Sehun berdiri di sebelahnya. "Kenapa kau belum pulang? Sebentar lagi sekolah akan ditutup," ujarnya.

"Hujan," jawab Yerim seadanya.

Sehun menghela napas. "Jadi kau lebih memilih berada di sekolah dalam keadaan mati listrik semalaman dibanding berhujan-hujanan?"

Yerim tidak menjawab. Bagaimanapun, yang Sehun katakan memang benar. Jika saja ia tadi memilih pulang dengan menerobos hujan, ia tidak akan berada di sini dalam keadaan gelap gulita, ditambah lagi bersama seseorang yang dibencinya.

Sehun tampak membuka payung besar yang entah ia dapat darimana. "Ayo, aku antar pulang," katanya kemudian.

Yerim menatap seniornya itu dalam-dalam. Dan laki-laki itu menatapnya balik dengan tajam, seperti biasa. "Kau benar-benar mau berada semalaman di sekolah, eoh? Hujan ini tidak akan segera reda," ujar Sehun.

Yerim terdiam. Pandangannya ia alihkan ke arah hujan, yang agaknya tak ada niat sedikitpun untuk mereda. Pulang berhujan-hujanan; menunggu hujan yang entah kapan mereda dengan keadaan sekolah yang gelap gulita; atau pulang bersama Sehun. Ia harus segera memilih.

Sehun mendecakkan lidah dengan tidak sabar. Tangan kirinya lalu meraih jemari Yeri. Ditariknya gadis itu agar mendekat ke arahnya. Dengan tangan yang masih terpaut satu sama lain, Sehun berjalan menerabas hujan sambil menarik gadis itu, tentu saja sambil berusaha melindungi tubuhnya dan gadis itu dengan payung.

Mata Yerim terbelalak. Mau tak mau ia segera menyejajarkan langkahnya dengan laki-laki itu, di bawah payung. Genggaman tangan Sehun menciptakan sensasi aneh dalam dirinya. Hawa dingin dari hujan menyapu tubuhnya, namun ia merasakan wajahnya memanas saat itu juga.

"Sun-sunbae," kata Yeri, entah mengapa rasa gugup ikut berbaur dalam benaknya.

"Kau terlalu lama berpikir. Sudah kukatakan sekolah akan ditutup," jawab Sehun cepat.

Sehun lalu melepas pegangan tangannya dan memasukkan tangan kirinya ke dalam kantong celananya, sedangkan tangan kanannya masih tetap memegangi payung. Kedua insan itu berjalan keluar dari sekolah dalam diam untuk sesaat. Suara rintik hujan berpadu dengan langkah kaki di antara genangan air mengiringi mereka berdua.

"Sunbae, kenapa baru pulang?" tanya Yerim akhirnya.

"Oh, ya," kata Sehun. Ia lalu merogoh ranselnya. Dikeluarkannya sebuah buku tebal yang tidak asing di mata Yeri. "Aku mencarimu," jawabnya. "Aku berniat mengembalikan bukumu,"

Yerim terkejut. Ia menerima buku itu, yang Mirae pinta, dengan perasaan yang bercampur aduk. Oh Sehun, yang ia kenal sebagai laki-laki menyebalkan yang memiliki hobi mem-bully-nya, rela pulang lebih lama untuk mencari dan mengembalikan bukunya?

"Aku minta maaf karena telah mengatakanmu pendek. Seharusnya aku tidak berkata seperti itu. Aku juga tidak bersungguh-sungguh soal tuntutan terima kasih itu," kata Sehun kemudian, pelan namun terdengar tulus.

Yerim menatap laki-laki yang berjalan di sebelahnya itu. Dijelajahinya ekspresi wajah Sehun saat itu. Laki-laki itu bersungguh-sungguh, ia tampak menyesal. Entah mengapa hal itu menggelitik hati Yerim. Siapa sangka laki-laki yang menurutnya menyebalkan itu bisa merasa bersalah dan meminta maaf dengan tulus?

Sehun menyeringai. "Apa aku sebegitu tampannya sehingga membuatmu tidak berkedip begitu, Kim Yerim?" tanyanya tiba-tiba.

Yerim tersentak. Ia sontak mengalihkan perhatiannya dari Sehun. Wajahnya kembali terasa panas, menahan malu. "A-aku juga seharusnya mengatakan terima kasih. T-terima kasih, Sunbae," katanya terbata-bata.

Sehun terkekeh. "Ya, wajahmu memerah, Kim Yerim," godanya.

Pernyataan itu sontak membuat Yerim memegang wajahnya dengan kedua tangannya. "Ti-tidak! Ini karena cuacanya panas. Aigo, hujan begini deras tapi masih saja panas," elak Yerim sambil mengipas-kipaskan tangannya.

Sehun tersenyum geli melihat Yerim yang tiba-tiba salah tingkah itu. Gadis itu terlihat semakin menggemaskan di matanya. "Kau tahu, Kim Yerim, apapun yang kau lakukan terlihat seperti aegyo di mataku,"

***

under spellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang