REVAN
"Re." Suara lembut yang kurindukan itu terdengar memanggilku sejak tadi. Suara yang perlahan membangunkanku dari tidur. Memanggilku dari alam bawah sadar.
"Re."
Jam berapa sekarang? Siapa yang terus memanggilku?
Perlahan, aku membuka kedua mataku yang terasa sangat berat. Saat aku membuka mata, samar aku melihat bayangan seseorang di hadapanku.
Demi?
"Bangun!" suaranya perlahan semakin jelas.
"Demi?" panggilku dengan suara serak.
"Papa, bangun!" Papa? "Papa, bangun!"
Saat aku sepenuhnya terbangun, barulah kusadari bahwa yang kudengar sejak tadi adalah suara Dee yang berusaha membangunkanku. Dia duduk di sebelahku dan mengguncang-guncang tubuhku agar aku terbangun. Ternyata, aku hanya berhalusinasi mendengar suara Demi tadi.
"Pa, udah jam 5," seru Dee tidak sabar. "Papa bangun dong!"
"Iya, sayang. Ini Papa mau bangun," kataku sambil mengusap puncak kepala mungilnya.
"Jangan tidur lagi ya, Pa!" kata Dee sambil menyengir lebar dan kemudian mengecup pipiku sebelum beranjak meninggalkan kamar. "Kak, Papa udah bangun!" teriaknya di luar dengan lantang.
Aku menoleh ke sampingku dan melihat bagian ranjang tempat Demi biasa berada kemudian menghela napas karena lagi-lagi menemukan kekosongan di sana.
Sudah dua bulan berlalu, namun Demi belum juga sadar. Dokter menyatakan Demi mengalami koma walaupun setelah pemeriksaan lebih lanjut, tidak ditemukan sama sekali keanehan dalam tubuhnya. Semuanya normal. Tapi entah kenapa dia tidak juga sadarkan diri.
Dua minggu pertama aku habiskan menunggu Demi di rumah sakit, tidak ke kantor dan hanya pulang ke rumah untuk mengganti baju. Namun melihat tidak ada tanda-tanda Demi akan sadar dalam waktu dekat, aku pun memutuskan untuk melanjutkan hidup seperti biasa setelah itu.
Aku tidak bisa terus melalaikan tanggung jawabku karena ada keempat anakku yang juga butuh perhatian. Dibandingkan aku, mereka jauh lebih terpukul dengan kondisi Demi saat ini. Karena itu, hingga Demi kembali membuka matanya, maka aku yang akan menggantikan tugasnya.
Aku sesekali masih ke kantor dan bekerja seperti biasa tapi hanya untuk hal-hal penting saja. Selebihnya, aku mempercayakan kepada wakil-wakilku di perusahaan untuk menanganinya. Aku lebih fokus pada anak-anak saat ini. Mereka sudah kehilangan Mamanya, aku tidak ingin mereka pun merasa kehilangan Papanya karena terlalu sibuk bekerja.
"Kalian mau sarapan apa?" tanyaku pada anak-anak yang sedang mondar mandir bersiap ke sekolah, rutinitas yang tidak pernah berubah sejak dulu.
"Pancake!" teriak Rion lari ke kamar mandi terburu-buru, hanya memakai celana pendeknya. Dia pasti baru bangun. Padahal saudaranya yang lain sudah selesai dari tadi.
"Iya, Dee juga mau," sambung Dee yang duduk di kursinya, menemaniku memasak, sedangkan Livie membuat teh dan susu.
"Oke, pancake," gumamku sambil mengambil bahan-bahan di lemari.
Meskipun tidak mahir seperti Demi, tapi setidaknya aku bisa sedikit memasak karena saat kuliah dulu aku tinggal sendiri sehingga sesekali memasak. Walaupun ada asisten rumah tangga, tapi aku harus menyiapkan makanan untuk mereka sendiri karena anak-anak protes kalau yang memasak asisten rumah tangga. Mereka kangen masakan Mamanya sehingga mereka memintaku yang memasak.
"Liv, tolong Papa ambilkan telur di kulkas!" pintaku pada Livie yang sudah menyelesaikan tugasnya. "Ambil dua aja."
Livie kemudian mengambil dua butir telur di kulkas dan meletakkannya di meja tempatku mengaduk adonan. Livie diam sejenak sambil menatapku yang sibuk mengaduk di dalam mangkuk besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Baby, Dont Cry [SUDAH DITERBITKAN]
Romance[CERITA AKAN DITERBITKAN SECARA SELF PUBLISH SEHINGGA SEBAGIAN BESAR BAB SUDAH DIHAPUS] "Aku akan membahagiakanmu seumur hidupmu, Sayang. Jadi tetaplah bersamaku, hingga ajal menjemput" Janji Revan pada sang istri, Demi. Namun, di saat usia pernik...