BAB 10

67.5K 4.6K 103
                                    

REVAN

Flashback

Entah kenapa perasaanku tidak enak sejak tadi. Seharusnya aku berada di rumah sakit, berada di sisi Demi saat ini. Tapi karena ada dokumen penting yang harus kuperiksa dan tanda tangani, aku terpaksa mampir ke kantor dulu pagi ini. Baru sejam di sini, aku merasakan sesuatu yang tidak baik akan terjadi. Aku gelisah dan tidak sabar ingin menyelesaikan pekerjaanku secepatnya. Apakah terjadi sesuatu pada Demi?

Kutepis pikiran buruk itu jauh-jauh. Mungkin hanya perasaanku saja.

Dua jam kemudian akhirnya aku menyelesaikan semua pekerjaan. Sedangkan sisanya keserahkan pada wakilku. Tanpa menunggu lebih lama aku pun langsung melajukan mobilku ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan jantungku berdebar tidak karuan. Tapi aku meyakinkan diriku bahwa ini semua hanya perasaanku saja. Ketakutanku, karena harus meninggalkan Demi, yang masih belum stabil, sementara waktu.

Ponsel yang berdering menyentakku dari lamunan. Aku menjawab tanpa melihat lagi siapa peneleponnya. Setelah menyebutkan kata pertama, penelepon di sebrang langsung memborbardirku dengan rentetan kalimat yang membuatku hampir saja menabrakkan mobilku pada kendaraan di depan.

Aku bahkan tidak mampu berkata-kata mendengar penjelasan seorang wanita yang begitu mengejutkanku. Jantungku yang tadinya berpacu kencang, seakan berhenti mendadak saat ini.

Setelah seluruh kesadaranku kembali, aku pun melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi. Tidak memedulikan lagi suara klakson mobil-mobil yang terganggu dengan caraku menyetir. Aku harus cepat sampai! Hanya itu yang ada dalam pikiranku.

"Pak Revan, syukurlah Bapak sudah datang!" kata Perawat Dina, yang bertugas merawat Demi, saat melihatku berlari menuju kamar rawat Demi. Beberapa perawat berkumpul di depan kamar Demi dengan wajah pucat dan cemas. Bahkan ada dua security yang sedang berusaha membuka pintu kamar dengan susah payah.

"Apa yang terjadi?" tanyaku dengan napas memburu karena berlari dari parkiran hingga ke sini.

"Ibu Demi mengunci kamar dan mengamuk di dalam sejak tadi. Kami sudah membujuk untuk membuka pintu kamar tapi Bu Demi tidak mau," jelas suster Dina melihatku panik. "Kami mendengar barang-barang pecah belah yang jatuh di dalam."

"Memangnya tidak ada kunci cadangan?"

"Sudah kami coba, tapi Bu Demi menghalangi pintu dengan meja," jawabnya lagi.

Tiba-tiba kudengar suara kaca pecah di dalam kamar Demi. Aku pun berjalan mendekati pintu kamar dan mendorong security, yang sedang mengintip melalui kaca, dengan kasar karena sudah terlalu panik. Kulihat keadaan kamar yang sudah berantakan. Meja dan kursi berjatuhan, gelas-gelas pecah di lantai, bahkan infus yang seharusnya menempel pada tubuh Demi, tergeletak di lantai begitu saja.

Aku tidak bisa melihat Demi. Kemungkinan dia berada di balik dinding yang membatasi kamar dengan kamar mandi. Aku menggedor pintu kamar dengan kencang sambil berteriak memanggilnya.

"Demi, buka pintunya!" Tidak ada balasan dari dalam. "Demi! Buka pintunya, aku mohon!"

Aku terus memanggilnya dan mencoba mendorong pintu yang terganjal meja besar dan berat. Tapi tetap tidak ada jawaban dari Demi. Lambat laun, kesabaranku pun semakin menipis.

Akhirnya, aku dan kedua security tadi memutuskan untuk mendobrak pintu dengan kekuatan kami. Butuh beberapa kali gebrakan hingga akhirnya pintu pun terbuka saat meja, yang menghalangi, terdorong. Kami bertiga mendorong dengan sekuat tenaga pintu yang sudah terbuka sedikit. Saat celah sudah dapat kulalui, aku pun melewatinya dengan cepat.

[2] Baby, Dont Cry [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang