Last chapter for today
---
DEMETRA
Aku menatap piring makan dihadapanku dengan tatapan kosong. Tanganku bergerak-gerak menyendokkan makanan di atasnya dengan asal karena pikiranku melayang ke suatu tempat saat ini.
"Ma, ga enak ya makanannya?" Pertanyaan Devan membuatku tersadar. Aku tersenyum kecil dan meletakkan sendokku di piring. "Padahal menurut aku enak kok."
"Enak. Cuma Mama lagi ga nafsu makan," jawabku sambil tersenyum tipis.
"Mama sakit lagi?" tanya Livie cemas.
"Mama belakangan ini sering melamun. Apa yang sakit? Kasih tahu Devan kalau Mama ngerasain sakit. Kata Papa, Devan harus jagain Mama selama Papa ga ada," ucapnya yang membuat dadaku semakin nyeri.
"Nggak kok, Sayang. Mama ga sakit. Cuma lagi banyak pikiran aja," jujurku.
"Mikilin Papa ya?" tanya Dee dengan cengiran lebar di wajahnya.
Aku tersenyum masam mendengar ucapan putri bungsuku. Sepertinya semua anakku punya bakat menjadi cenayang. Mereka semua seperti selalu bisa melihat jauh ke dalam pikiranku. Bahkan di saat aku tidak sadar sama sekali akan apa yang alam bawah sadarku pikirkan.
"Papa tadi telepon, katanya lagi di Cina. Papa janji mau bawain oleh-oleh buat kita," ucap Dee sambil tersenyum lebar memperlihatkan gigi susunya yang sudah banyak.
"Pasti kamu maksa Papa beli mainan?" tebak Devan yang sudah tahu kebiasaan Dee yang tidak bisa ditolak ketika menginginkan mainan baru. "Iya kan?"
"Ga kok! Papa yang mau beliin. Kakak silik aja!" sungut Dee sambil menjulurkan lidahnya ke Devan. Aku tertawa kecil melihat tingkah lucu Dee. Walaupun yang termuda, tapi entah kenapa dia suka berantem dengan Devan, anak yang paling tua. Di saat Livie dan Rion takut dengan Devan karena kegalakan dan ketegasannya, Dee tidak peduli dengan semua itu. Selalu saja ada masalah yang dibuatnya untuk membuat Devan marah.
"Dasar anak manja!" seru Devan tidak terima.
"Kakak yang manja. Udah gede tapi masih suka bobo sama Mama. Takut ya?" ejek Dee.
"Enak aja. Kakak bukan takut tapi nemenin Mama. Kasihan Mama tidur sendiri tiap malam."
Sejak Revan pergi dari rumah ini, setiap malam ketika aku merasa kesepian, Devan pasti akan datang dan mengatakan ingin tidur bersamaku. Dia selalu muncul saat aku hampir menangis mengingat Revan. Makanya aku bilang, anak-anakku seperti cenayang yang bisa membaca pikiranku.
"Ma, Papa kan ulang tahun minggu depan," kata Dee yang membuatku terdiam. "Kita ga layain kaya biasanya, Ma?"
"Memangnya Papa ada di sini? Bukannya Papa di luar negri mulu?" sahut Rion yang sedari tadi fokus dengan makanannya.
Walaupun sudah seminggu berlalu sejak dagunya terluka tapi hingga kini masih sulit bagi Rion untuk menggerakkan rahangnya. Dia harus makan perlahan agar tidak merasa sakit.
"Ada kok! Aku udah tanya, katanya Papa ga kemana-mana," jawab Dee begitu yakin.
"Tapi Papa kamu kan sibuk, Sayang," kataku menjelaskan.
Aku tahu Revan akan berulang tahun minggu depan, aku bahkan sudah mengingatnya sejak minggu lalu. Tapi dengan kondisi kami saat ini, aku bingung bagaimana cara kami merayakan ulang tahunnya. Tidak mungkin di rumah karena Revan pasti akan sungkan. Kalau di luar lebih tidak wajar lagi. Kami berdua akan tampak sangat aneh dan kaku di depan anak-anak.
"Tapi aku mau layain ulang tahun Papa!" rengek Dee dengan mata berkaca. "Papa kan kasihan, Ma. Capek kelja. Kalau dikasih hadiah pasti Papa ga capek lagi. Kaya aku!" serunya girang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Baby, Dont Cry [SUDAH DITERBITKAN]
Romance[CERITA AKAN DITERBITKAN SECARA SELF PUBLISH SEHINGGA SEBAGIAN BESAR BAB SUDAH DIHAPUS] "Aku akan membahagiakanmu seumur hidupmu, Sayang. Jadi tetaplah bersamaku, hingga ajal menjemput" Janji Revan pada sang istri, Demi. Namun, di saat usia pernik...